17

6 0 0
                                    

Alfa berjalan sedikit supaya melihat wajah gue lebih jelas. Sedangkan gue pura-pura sibuk menyedot teh sisri dengan tangan sedikit gemetar.

Alfa berdecak. "Nggak deh Dar. Mukanya kayak nggak kerawat gitu. Badannya juga kayak triplek. Nggak ada yang menarik."

"Mending Gita aja buat gue."

Ucapan Alfa barusan mengundang gelak tawa terutama dari gerombolan laki-laki yang mana teman Alfa juga Haidar. Tanpa sepatah kata atau sekedar pamit sama Gita gue berjalan meninggalkan mereka. Hati gue rasanya sakit bukan main. Bukan, bukan karena perasaan gue nggak berbalas. Tapi lebih kepada fisik yang mereka jadikan sebagai bahan candaan. Saat itu, hal yang membuat gue sadar adalah penampilan nggak selamanya menentukan perilaku seseorang.

Kalo fisik terlihat sempurna, namun perilakunya justru sebaliknya buat apa?

Selepas kejadian itu, Gita beberapa kali mencoba mendekati gue untuk meminta maaf atas kesalahan dia yang memberitahu Haidar. Gita mendekat, gue bergerak menjauh. Padahal saat itu Gita sempat mewanti-wanti Haidar untuk nggak bilang ke, Alfa. But boys will be boys. Kalo kalian pernah dengar kalimat "Nggak ada rahasia antar lelaki apalagi urusan perempuan." Maka gue termasuk salah satu yang meyakini itu.

Akibat pengakuan Gita ke Haidar membuat gue cukup kesusahan saat berpas-pasan dengan Alfa beserta gerombolannya. Sesekali mereka masih memandang gue dengan tatapan aneh dan menertawakan yang bahkan gue nggak paham bagian lucunya dimana. Sikap mereka yang kelewat terang-terangan cukup mengundang rasa penasaran orang-orang di sekitar apa yang terjadi antara gue sama Alfa. Meski nggak sampai semua orang tahu, namun sepertinya cerita itu akan terus melegenda di antara tongkrongan mereka. Hubungan gue sama Gita nggak lagi sama kayak dulu. Jarak yang tercipta antara gue dan Gita masih ada sampai gue naik kelas 9. 

Kejadian itu cukup memberi efek dalam diri gue. Gue nggak lagi mudah percaya apalagi membagi cerita ke orang. Satu-satunya orang yang bener-bener gue percayai saat ini adalah Jaendra. Temen kecil gue. Walaupun hanya menceritakan sebagian kecil mengenai perasaan suka gue ke Alfa. Gue rasa mungkin ini yang terbaik. Dengan nggak membiarkan Jaendra tau akhir yang gue terima ketika menyukai kakak kelas itu.

Jaendra jelas nggak akan terima kalau dia tahu kejadian sebenarnya. Saat kelas 9 yang mana Alfa lebih dulu lulus, gue pikir semua akan berakhir gitu aja. Gerombolan waktu itu yang ikut menertawakan gue, ternyata bukan hanya teman sekelas Alfa. Dia, Fauzan yang ternyata seangkatan sama gue justru sekarang berada di kelas yang sama dan masih suka meledek gue akan kejadian penolakan terang-terangan. Rasa percaya diri gue cukup terkikis. Gue sadar betul kalo fisik gue tidak cukup mendukung untuk bisa berdiri berdampingan sama Alfa. Tapi lagi, apakah menjadi tidak menarik dimata orang lain adalah kesalahan yang sangat fatal?

Gue kurus? Ceklis. Kulit cukup gelap? Ceklis. Bukan anak unggulan? Ceklis. Jerawatan? Ceklis. Tidak Aktif bahkan di kenal anak kelas lain? Ceklis. Bukan merendahkan diri sendiri, hanya gue sadar kalau gue memang seperti itu. Mungkin gue memang tidak memiliki sesuatu hal yang menarik untuk bisa dilihat. Tapi setidaknya gue punya hati untuk bisa menghargai perbedaan. Tanpa berusaha menjatuhkan apalagi meremehkan orang lain.

Gue menjadi anak yang menutup diri walaupun nggak sepenuhnya. Gue masih berteman meski rasanya lebih susah dari sebelumnya. Hanya beberapa dari sekian anak yang berani gue ajak berteman. Gue merasa di akhir penghujung sekolah menengah pertama, tugas gue cukup fokus belajar supaya lulus dengan nilai yang baik. Sekaligus diimbangi memulihkan rasa percaya diri, seorang diri. Adanya Jaendra tanpa berusaha menuntut gue ini itu cukup membuat gue tidak ikut memandang diri gue jadi rendah. Walaupun kenyataannya sekolah gue sama Jaendra berbeda.

Meraih nilai yang cukup baik saat hari kelulusan membuat gue sedikit lebih percaya diri. Pikiran gue sedikit lebih terbuka. Bahwa setidaknya cantik nggak selamanya tentang fisik. Rasanya terlalu sempit jika hanya memandang dari satu sisi. Saat ini gue lagi berada di lapangan indoor sekolah untuk acara wisuda merayakan kelulusan. Selepas foto bersama anak kelas maupun angkatan, gue memilih melipir sendiri ke ujung belakang ruangan yang terdapat beberapa bangku. Memori dari awal ketika masa putih biru sampai hari lulus seolah beputar sesuai urutan. Bahagia, sedih, jatuh, bangun, kecewa, takut dan mungkin akan bertemu bahagia lain lagi?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[AADC] - Ada Apa dengan CoronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang