Kedatangan Naraya Balqis ke kantor adalah kejutan besar bagi Awan. Sosok wanita yang memiliki prinsip keras itu datang karena Annela Brawijaya.
"Putri saya tidak pernah melihat rumah sebagai tempat yang nyaman, dan belakangan ini ia punya alasan menghabiskan waktu luangnya di rumah. Apakah anda alasan itu?"
Awan tidak mengerti. "Maaf sebelumnya." to the point kalimat yang disampaikan Naraya dipertimbangkan oleh sulungnya Alfian Prasetya. Tujuh kali bertemu dengan Annela dalam satu bulan ini, bisakah alasan itu ditujukan untuknya terlebih bukan ia yang membuat ide pertemuan mereka. Gadis itu datang semaunya, seolah mereka berkenalan sudah lama.
"Saya hanya memiliki seorang anak perempuan, mungkin anda bisa memahami maksud saya."
Awan mengerti. Dengan kata lain, Naraya tahu jika dia juga memiliki seorang putri.
"Putri saya terlalu jujur, saya meminta anda bersikap tegas."
Masalahnya sudah cukup kenapa Annela ingin menambah beban lagi?
"Saya tidak memiliki hubungan khusus dengannya."
"Kalau begitu tolak ketika putri saya datang."
Benar, hal itu belum dilakukan olehnya.
"Jangan menerima makan siang yang dibawakan olehnya."
Awan terbatuk.
"Putri saya memasaknya dengan sepenuh hati."
"Baik."
Naraya sudah selesai. "Pastikan ini pertama dan terakhir kalinya saya datang."
"Baik."
Kata-kata itu bermakna dalam, lidah Awan kering saking kelu.
Annela bukan dari kalangan biasa, Awan tidak ingin berurusan dengan gadis itu. Tidak ada pilihan untuk orang yang membuat masalah dengan ibunya kecuali darah apalagi ini menyangkut putrinya.
"Jangan datang lagi."
Kebiasaan Annela saat datang adalah langsung menerobos masuk.
"Sudah jam 12, ayo makan."
"Berikan pada kucing di jalanan." Awan menatap dingin wajah gadis itu. Ia bangun ingin keluar dari ruangannya. "Aku tidak tertarik, jadi hentikan kebaikanmu." harus tega, begitu yang diinginkan Naraya. Ia masih ingin selamat dan berumur panjang, Queen membutuhkannya.
Bagaimana perasaan Annela? Awan tidak mau tahu. Sebelum gadis itu mengejarnya, ia sudah melajukan mobil ke luar dari area perusahaan. Butuh ketegasan, karena papa Queen tidak ingin dianggap mempermainkan perasaan anak orang.
******
"Terutama hatiku."
"Lima tahun tidak ada kabar dan Oppa masih menunggu?"
"Bukan soal itu." Awan melihat adik sepupunya. Dia tidak menunggu lagi, tapi saat ini ia tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita. "Rasanya akan lebih jahat jika aku bersikap baik sedang hatiku tidak menginginkannya."
"Kalau begitu katakan padanya, jangan menghindar."
Dia keras kepala, Awan tahu. "Dia tidak akan mendengarkanku."
"Aku jadi penasaran." setiap hari Fiya di kantor tapi tak sekalipun bertemu dengan Annela. "Kalau ketemu, biar aku yang bilang."
Awan tersenyum. Sudah dua hari dia tidak datang ke kantor, ibu Annela benar-benar membuat pria itu takut.
"Jika Oppa menghindar dengan cara ini, apakah akan berhasil?" Fiya pesimis.
"Aku tidak tahu." jika gadis itu datang lagi, maka ia akan menghubungi Naraya.
Tawa Fiya tak mempengaruhi Awan. Ia tahu, semua saudarinya melihatnya berubah selama mama Queen pergi tanpa kabar. Detik awal lima tahun silam, Awan masih sering bercanda setelah itu tak ada lagi senyum yang terpatri laki-laki itu menjadi dingin tak tersentuh.
"Mungkin aku sependapat dengan mas Zed, membuka diri setelah itu silahkan ambil sikap agar Oppa tahu benarkah hati itu telah terkunci?"
Awan menggeleng. Ia tidak akan memulai sesuatu yang tidak diinginkannya.
Jika Awan sedang bersama dengan Shafiya, maka seorang gadis sedang bertamu ke rumah orang tuanya dan bermain dengan Queen.
Semua masih tentang rasa yang sama, move on tak semudah membalikkan telapak tangan ingin sekali Awan memamerkan rindu yang selalu ingin diakhirinya tapi selalu gagal untuk membunuh kerinduan itu.
"Hanya Oppa yang tahu, seberapa besar cinta itu. Aku akan berdoa yang terbaik."
Pertemuan Jumat sore itu telah selesai, Awan mengantar Fiya ke rumah. Laki-laki itu kembali mengenang masa singkat bersama mama Queen yang tidak ada masalah apapun, keluarga juga saling mendukung dan hubungan yang harmonis walaupun dikenang setiap menit tak pernah membuatnya bosan hanya sakit saat tidak menemukan wanita itu di rumah.
Melihat pagar rumah orang tuanya, Awan kembali termenung. Setiap hari Minggu mama mengundang mereka makan siang bersama kadang juga mengagendakan liburan ketika mantan istrinya libur. Sudah lama umi tidak mengundang lagi, pria itu akan pulang tanpa diminta.
"Malam sekali, dari mana saja?"
"Ketemu teman, Umi." Awan mencium tangan umi Afa. "Queen sudah tidur ya?"
"Iya. Kamu juga tidur."
Awan mengangguk, tiga langkah meninggalkan umi, laki-laki itu berhenti saat namanya dipanggil.
"Kamu memiliki seseorang?"
Awan menggeleng, tahu maksud umi adalah wanita.
"Ada yang datang tadi sore."
Pria itu tidak bertanya, karena ia tidak tertarik.
"Dia ramah, Queen juga suka. Dia bermain lama dengan putrimu."
Awan masih diam, entah kenapa dia menebak jika yang datang adalah Annela.
"Dia putri Naraya."
Awan menunduk, bagaimana cara memberitahu umi? "Lain kali usir saja, Umi pasti lebih tahu orang tuanya." setelah mengatakannya, laki-laki itu naik ke kamar tanpa melihat wajah kaget sang ibu.
Sudah diduga, Annela tidak akan mendengarkannya. Mungkin, ia harus menghubungi Naraya.
Senyum Awan terukir kala melihat sang putri tidur, wajah putrinya begitu cantik mirip sekali dengan sang mantan.
"Mimpi ketemu Mama ya sayang?" sebuah kecupan diberikan Awan di kening putrinya. Ia tidak berbohong ketika mengatakan bahagia saat bersama Queen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Wife
Romanceawan- Series Sang Mantan Tentang Awan yang tak bisa melupakan mantan istrinya, masih banyak hal yang ingin dilakukan bersama ibu putrinya. Dia pergi dengan alasan pria yang dicintainya telah kembali.