Kelemahan Awan adalah apapun akan dilakukan demi putrinya. Keadaaan Queen sangat lemah dan satu-satunya orang yang dipanggil sang putri adalah tante Anne. Dua jam bersama wanita itu di kamar, sekalipun anak itu tidak memanggil papanya.
Ditemani umi, Annela merawat Queen. Kemungkinan gadis itu akan menginap. Sejak gadis itu datang, Awan belum masuk ke kamar. Sebagai lelaki ia malu, dan akan meminta maaf jika putri Naraya keluar nanti. Karena sang anak, Annela mau datang bukankah hatinya begitu baik?
"Kamu tidak menyapanya?" umi menepuk bahu Awan.
"Nanti saja, Umi." pintu kamar selalu dilihat, khawatir keadaan Queen.
"Anakmu sudah tidur, Annela bilang akan pulang."
Oh. Awan mengangguk, melirik jam sudah pukul sebelas malam. Umi akan masuk ke kamarnya sebentar. Tinggallah laki-laki itu dengan hati yang linglung. Mudah meminta maaf, tapi bisakah meminta Annela menetap untuk beberapa hari sampai anaknya sembuh?
Matanya tertuju ke pintu kamar, hingga sosok Annela keluar dari sana. Awan berdeham dan menyuruh gadis itu duduk.
"Dia sudah tidur, sebelum berangkat besok aku akan datang."
Awan tersenyum kaku. "Terimakasih." ada yang ingin dikatakan. "Kamu pergi karena kecewa padaku, tidak bisakah kau tunda dulu?" egois, sulungnya Alfian tahu. "Jika tidak keberatan, tinggallah beberapa hari lagi."
"Aku tidak ingin Mas memikirkan aku memanfaatkan kesempatan." karena ia tulus menyayangi Queen. "Sebaik apapun hubunganku dengannya, tidak akan merubah keadaan." Annela menatap laki-laki itu. "Mas masih menunggu seseorang dan nyaman dengan penantian itu, tanpa memberiku sedikit ruang."
Yang dikatakan Annela kebenaran.
"Mas pasti bisa membayar dengan mahal, tapi aku tidak butuh uang." harta dan tahta sudah ada sejak lama. Cinta, ia belum melihat itu dari seorang Awan.
"Entah kapan dia datang, aku tetap akan jadi pajangan."
"Tidak bisakah kita berteman?"
"Tidak. Karena aku mau Mas menjadi kekasih."
Awan menarik napas dalam.
"Aku pulang." Annela punya cara sendiri membuat Queen mengerti, selebihnya biar Awan yang mengurus. Ia punya hati, dan saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Salah, tapi Awan lupa jika Annela wanita dengan respons aktif. Gaun ditarik tidak terlalu kuat, maksud Awan untuk mengatakan satu hal namun reaksi gadis itu di luar jangkauan. Tak perlu mendekap untuk mengecup bibir merah papa Queen. Sekali kecup tidak cukup, karena begitu seksi.
Tatapan Awan tak berkedip pada sang gadis, setelah ciuman itu lerai, saking aktif Annela tidak berpikir di mana mereka saat ini. Papa Queen tidak bingung, hanya kesal pada sikap putri Naraya.
"Pukul sebelas, mode on." Annela tersenyum sangat manis sambil menyeka bibirnya. Bagaimana ia tidak jatuh cinta pada laki-laki itu? Lihatlah tatapan dinginnya, seolah tidak terjadi apa-apa padahal jantung Annela berdetak hebat.
******
Kali ini Awan tidak bisa mengelak, setelah melewatkan pertemuan keluarga maka acara pernikahan adik abi-nya harus dihadiri.
Disaat Awan sedang digalaukan oleh sang putri, pamannya malah memaksa bergembira.
"Papa jemput di butik, aku sama tante Anne."
"Kita akan datang berdua, Queen."
"Aku sudah buat janji." dering telepon menyela percakapan mereka. Annela yang menghubungi.
"Kamu menyuruhnya datang?"
Queen mengangguk. "Tante Anne?"
Awan membuka pintu apartemen karena gadis itu sudah menunggu di luar.
"Kamu susah siap?"
"Sudah." senyum Queen begitu bahagia.
"Katanya kamu mau berangkat." Awan menegur Annela. Satu minggu berada di sisi Queen dan putrinya sudah sembuh, bukankah sudah cukup?
"Entahlah, aku merasa Mas tidak ingin aku pergi."
"Aku tidak mengatakannya," bantah Awan.
Annela tak mau kalah. "Aku tahu dari wajah Mas."
Apa? Awan meraba wajahnya, saat Annela mendekat dengan sigap papa Queen mengelak dan ciuman gadis itu gagal.
"Ish!" Annela berdecak gemas. "Pipi diang loh!"
"Haram." Awan mundur dua langkah. "Hati-hati."
"Astaga, aku diusir." bergenggaman dengan Queen Annela keluar dari apartemen.
Senyum Awan terbit, Annela memang lucu. Sikapnya memang mengkhawatirkan tapi laki-laki itu mengakui jika semua itu alami tanpa dibuat-buat. Istilah mode on bisa ditangkis kali ini, tidak tahu ke depannya.
Apakah harus dia atau memang dia? Laki-laki itu mengusap wajahnya. Ini bukan kali pertama gadis itu membuatnya tersenyum tapi ini kali pertama Awan memikirkan seorang Annela.
******
Awan, Queen dan Annela tiba setengah jam sebelum akad. Kedua mempelai sudah hadir. Sang paman yang begitu tampan dan calon istri cantik mereka begitu serasi.
Sama-sama berprofesi sebagai pengacara dengan mama Queen, semoga tidak melewati kisah yang sama.
Ijab kabul berlangsung dengan khidmat, bukan hanya Ray--paman Awan--yang menitikkan air mata haru, ia juga. Karena ia pernah merasakan betapa haru detik di mana lelaki melepaskan masa lajang dan mengambil alih tugas orang tua sang istri untuk mendidik dan membimbing hingga ke Syurga. Berat tanggung jawab itu tapi percaya Tuhan akan menuntun langkah baik tersebut.
Istirahat sejenak sambil melaksanakan ibadah sholat Maghrib setelah itu resepsi di lanjutkan di hotel.
"Cari selendang, bajumu terlalu terbuka."
Sebuah perhatian menurut Annela. Saat akad tadi ia mengenakan kebaya, sedangkan reeepsi gaun berwarna ungu senada dengan kemeja Awan.
"Oke." Annela menghubungi sekretarisnya.
Seseorang baru saja memasuki ruangan resepsi, sempat menghentikan langkah melihat dua orang yang berbicara terlihat begitu dekat di sudut sana.
Awan belum melihatnya, hingga suara yang begitu familiar menyapa umi yang berada selang satu meja dengannya.
Suara itu begitu dirindukan olehnya.
"Selamat malam umi, apa kabar?"
"Rumee?!" suara umi parau.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Wife
Romanceawan- Series Sang Mantan Tentang Awan yang tak bisa melupakan mantan istrinya, masih banyak hal yang ingin dilakukan bersama ibu putrinya. Dia pergi dengan alasan pria yang dicintainya telah kembali.