"Sam," panggil Haba menghampiri suaminya yang baru menyelesaikan sholat subuh.
"Gimana tidurnya?" tanya Sam basa basi, dari mata Haba yang bengkak, ia sudah tahu perempuan itu pasti menangis semalaman. Tapi Sam tetap ingin tahu dari Haba, tanpa harus menduga duga.
"Ga bisa tidur," jawabnya jujur. "Sam, bisa bicara sebentar?"
Sam mengangguk, lalu mengikuti Haba ke sofa, duduk berdampingan. Seperti sudah lama mereka tidak seperti ini.
"Aku, aku rasa keadaan kita berdua sama sama ngga baik, sama sama ngga stabil. Tapi aku juga gatau, rasanya kalau kita terus sama sama, selalu bertengkar. Apa ngga lebih baik kita sendiri sendiri dulu?" Haba menjeda, tatapannya bertemu dengan Sam. "Beberapa hari atau minggu? Sampai kita tahu apa yang kita inginkan untuk kedepannya."
Sam menghela nafas panjang. Ingin sekali ia menolak penawaran itu, tapi apa yang dikatakan Haba benar adanya. Dirinya tidak stabil.
"Kamu benar, Ba," kata Sam singkat. "Kita, pernikahan ini, lagi ga baik."
Haba mengangguk, ia menggenggam piyamanya dengan keras.
"Lalu, bagaimana?"
"Semoga setelah ini kita sama-sama menemukan apa yang baik."
"Sam,"
"Ini bukan perpisahahan kan?" tanya Sam berhati-hati.
Haba menunduk, matanya benar-benar berair sekarang.
"Aku mencintaimu, Ba."
Lalu perlahan Sam memeluk Haba dengan erat, membiarkan perempuan itu menangis dalam dekapan dadanya. "Aku mencintaimu."
"Kita bisa lakukan banyak hal untuk diri sendiri, semenjak menikah, aku selalu bergantung padamu dan begitu sebaliknya. Anggap saja ini, liburan peran, ya?" kata Haba setelah melepas pelukannya dari Sam.
Sam mengangguk.
"Aku izin ke rumah abi ya."
"Aku antar ya."
Haba mengangguk.
"Aku siap siap lalu tunggu di mobil, kamu juga."
"Iya."
Sam masuk lebih dulu di mobil. Ia menyalakan mesin dan menatap lurus pada setir mobilnya. Di sana terdapat foto keluarga kecilnya, foto pertama mereka di rumah barunya ini.
Bibir Sam perlahan tersenyum. Rasanya seperti baru kemarin.
"Sudah siap?" tanya Haba yang baru masuk, membuyarkan lamunan Sam.
"Iya. Berangkat sekarang?"
"Iya."
Jalanan yang sepi, membuat perjalanan Sam dan Haba semakin hening. Bisu. Tidak ada suara apapun, tidak ada perbincangan juga.
Di tengah perjalanan, Haba membuka jendela, membiarkan kulitnya disentuh oleh udara pagi yang menyejukkan. Saat yang bersamaan, Sam mematikan AC dan mengikuti apa yang Haba lakukan.
Hari ini, perjalanan menuju rumah Abi lebih cepat dari hari hari biasanya. Bahkan seingat Sam, ia tidak pernah mengantarkan Haba sepagi buta ini.
"Mau aku antar ke dalam?" tanya Sam ketika mobilnya berhenti. Mereka sudah sampai.
Haba menggeleng. "Di sini saja."
Sam mengangguk, lalu memberikan tas belanja yang sudah ia siapkan sejak malam.
"Apa ini?"
"Susu dan selai, sudah sesuai pesanan," kata Sam sambil tersenyum, menularkannya pada Haba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Syahadat 2 : Untaian Rasa
SpiritualBagi Haba, pernikahan adalah bagaimana berbagi kehidupan dengan lelaki pilihannya dalam ikatan agama. Ada yang bilang, "satu untuk selamanya". Namun Haba lupa, kehidupan bukan hanya tentang bahagia. Ada banyak rasa yang bahkan tidak pernah Haba duga...