"Mba Haba, hari ini semangat sekali,"
Haba menoleh ke sumber suara, ia tersenyum cerah menyambut Usman di kamarnya. "Hari ini kan Haba pulang, jadi harus semangat."
Usman mengangguk, ia mendekati Haba dan duduk di pinggir kasur. "Seperti baru kemarin ya mba,"
"Kenapa abi?" kata Haba memberhentikan aktivitasnya, ia ikut duduk di samping lelaki paruh baya itu.
Usman menghela nafas pelan. "Sepertinya bohong besar kalau abi bilang ngga kehilangan anak-anak abi, sudah besar besar sekali kalian ini, sudah punya keluarga sendiri."
Haba tersenyum, ia menyandarkan kepalanya pada Usman. Sekelebat kenangan masa lalu tiba-tiba muncul, ia teringat masa-masa kecilnya.
"Mba Haba, ngga berubah."
"Abi," lalu Haba terdiam. "Ngga berubah itu, berarti baik atau ngga ya?"
"Keduanya mba."
"Hm, begitu ya abi?"
"Baik, karena berarti mba Haba bisa mempertahankan yang baik, yang sudah ada sejak dulu. Buruk, berarti mba Haba belum bisa memperbaiki apa yang kurang sesuai, yang masih ada sampai sekarang," jawab Usman dengan tenang. Ia tidak mau menyinggung perasaan Haba.
Kali ini, Haba yang menghela nafas pelan, ia berusaha menerima apa yang Usman katakan padanya.
"Mba, menikah itu ibadah. Bukan karena apa yang mba Haba dan nak Sam lakukan itu pahala, tapi karena apa yang kalian jalani saat ini, ngga mudah, banyak tantangannya, dan besar juga ganjarannya," Usman menjeda. "Sejak mba Haba datang, sampai sudah mau pulang kembali, abi ingin sekali menyampaikan ini, tapi abi rasa belum waktunya, sampai kemarin di rumah nak Sam, lalu mba memutuskan untuk menemani Sam, abi rasa ini waktunya."
Haba menegakkan tubuhnya, menyimak lebih serius.
"Rumah abi, selalu terbuka untuk anak-anak abi, untuk mba Haba, untuk mas Umar. Abi, akan tetap jadi orang pertama yang melindungi kalian. Tapi abi harap, apapun itu yang terjadi dalam rumah tangga mba Haba, mba Haba mau terus belajar dan memahami, ya?"
Haba menganggukan kepalanya pelan. "Maaf ya abi,"
Usman menggeleng. "Ini justru bagian dari belajar dan memahami itu."
"Kalau umi masih di sini, pasti bisa lebih leluasa ya ceritanya?" Usman berkata lagi. "Maaf abi belum sempurna buat jadi seperti umi, ternyata susah yo jadi ibu."
Haba tertawa pelan, matanya sedikit basah, teringat uminya yang sudah tiada. "Abi, abi itu udah lebih dari cukup."
"Oh ya?" tanya Usman penasaran, yang dijawab Haba dengan anggukan semangat.
"Semenjak umi ngga ada, abi banyak sekali berubah. Abi jadi ngga sekaku dulu, nih buktinya kita bisa ngobrol seperti ini. Dulu mana bisa bi?" Haba menjelaskan dengan tersenyum, ia tahu betul bagaimana Usman banyak berusaha untuk memenuhi berbagai peran dalam keluarganya sebagai orangtua tunggal. "Tapi cuma satu yang Haba sayangkan," Haba menjeda.
"Kenapa baru setelah umi ngga ada," kata Haba berhati-hati. Lama sekali ia merasakan hal itu, namun baru hari ini bisa ia ungkapkan.
Usman mengangguk mendengarnya. "Itu juga, yang abi sesali sampai saat ini. Kenapa baru setelah umimu ngga ada. Maafkan abi ya, dan makasih mba mau menyampaikan ini."
Haba mengangguk. "Maaf ya abi, kalau menyinggung abi."
"Justru abi senang, mba Haba mau terbuka, abi yakin ngga mudah bisa mengungkapkan itu ke abi, iya kan?"
Benar. Kadang menyampaikan sesuatu hal justru paling sulit ketika itu harus disampaikan kepada orang tua sendiri. Kekhawatiran menyinggung perasaan dan dianggap tidak sopan sering kali membuat anak merasa takut mengungkapkan apa yang ada di hati, sehingga entah sudah berapa lama dan sejak kapan menyembunyikannya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/60705190-288-k230052.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Syahadat 2 : Untaian Rasa
EspiritualBagi Haba, pernikahan adalah bagaimana berbagi kehidupan dengan lelaki pilihannya dalam ikatan agama. Ada yang bilang, "satu untuk selamanya". Namun Haba lupa, kehidupan bukan hanya tentang bahagia. Ada banyak rasa yang bahkan tidak pernah Haba duga...