"Sayang," Samuel merangkul Haba dari belakang, ia ikut terpaku mendapati Haba yang sejak tadi terdiam. "Kok diem?"
Haba berbalik dan mengisyaratkan Sam untuk diam, ia menunjukkan Elora yang masih terlelap di sofa ruang tamu.
"Sejak kapan dia tidur di sini ya, Sammy?"
Sam menggidikkan bahu. Ia mengikuti arah tatapan Haba.
"Jangan jangan dia ngga bisa tidur ya, Sammy?" Haba terdengar khawatir.
"Mungkin masih adaptasi, sayang," Sam mengusap bahu Haba, menenangkan.
Haba mengangguk. "Kenapa rasanya aneh ya, Sammy?"
Sam menoleh, mendapati Haba sudah melamun. "Aneh gimana?"
"Aku kebingungan cara paling tepat untuk rawat Elora. Padahal kan aku juga punya anak."
"Sayang," Sam mengusap kedua pundak Haba dengan pelan.
"Apa ini sebabnya Allah pisahkan aku sama anak-anak ya, Sam? Karena Allah tahu aku belum cukup ilmu, aku belum siap buat jadi ibu."
Haba menunduk, tiba-tiba saja matanya berair.
"Hey." Sam mengangkat dagu Haba, lalu menatap matanya lekat. "Berhenti. Nyalahin. Diri. Kamu."
"It's not your fault, okay?" (Ini bukan salah kamu, oke?) Sam melanjutkan. "Lagi pula, ini belum sehari. Pasti dong kamu bingung."
"Are you sure?" (Apa kamu yakin?)
Sam mengangguk. "Gimana kalau aku buatin sarapan? Hari ini giliran aku kan?"
"Oh, iya!" Raut wajah Haba seketika berubah. "Sarapan apa hari ini?"
"Telur ceplok, ya?"
Bibir Haba cemberut.
"Telur dadar?"
"Okay!" Kata Haba akhirnya setuju. Ia harus banyak memaklumi karena Sam belum terlalu ahli memasak. Semenjak berhasil memasak telur, lelaki itu jadi tidak bosan membuat olahan telur.
"Hm, Sam," panggil Haba membuat langkah kaki Sam terhenti, lelaki itu menoleh. "Tolong bawa Elora ke kamar ya," pintanya meringis.
"Digendong?"
"Masa diseret?" Haba balik bertanya dengan tatapan tajam, membuat Sam menghela nafas lalu akhirnya mengangguk.
"Okay," Sam menurut. "Oh iya, hari ini kamu berangkat?"
"Ngga, hari ini ngga ada jadwal."
Sam terlihat berpikir. "Sayang, kalau sementara Elora di rumah mamah gimana? Sore kita jemput."
"Jangan, Sammy. Kasian mamah, nanti kecapean. Apa lagi mamah masih berduka. Aku ngga mau nambah kerjaan mamah," Haba menjelaskan. "Lagian Sandy titipin Elora kan sama kita."
Sam menatap Elora. "Elora, mamah kamu nyusahin, tau!" bisik Sam.
"Sssttt!! Nanti dia bangun, loh!"
"Yaudah, kita bagi tugas ya. Gantian, biar ngga kamu terus yang jagain Elora."
"Bener?" tanya Haba bersemangat.
Sam mengangguk.
"Makasih ya Sammy!" Haba spontan memeluk Samuel.
"Nah gitu dong, dipeluk."
Haba tersenyum sumringah. Ia melepaskan pelukannya malu malu, lalu membiarkan Sam menyiapkan sarapan di dapur.
****
"Hati-hati ya Sammy," ucap Haba setelah mencium punggung tangan Sam, begitu pula Samuel yang mencium tangan Haba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Syahadat 2 : Untaian Rasa
SpiritualBagi Haba, pernikahan adalah bagaimana berbagi kehidupan dengan lelaki pilihannya dalam ikatan agama. Ada yang bilang, "satu untuk selamanya". Namun Haba lupa, kehidupan bukan hanya tentang bahagia. Ada banyak rasa yang bahkan tidak pernah Haba duga...