"Kai, udah lama nunggu ya?"
Mendongakkan kepalanya menatap gadis bernetra coklat muda di hadapannya. Memasukkan benda pipih yang sempat menjadi titik fokusnya ke dalam saku celana. Menurunkan pandangannya ke bawah, di mana tangan gadis itu yang mengangkat tas besar berada. Lantas mengambilnya lalu melangkah menuju bagasi mobil. Meletakkan benda yang cukup berat itu di sana.
Kembali lagi ke tempatnya semula, membukakan pintu untuk sang sahabat, "masuk, di luar dingin." Perintah darinya disambut ucapan terima kasih dari sang gadis. Setelah perempuan itu duduk ia menutup pintunya dan memutari mobil, duduk di kursi pengemudi.
Memasang sabuk pengaman pada tubuhnya, setelah dirasa siap barulah lelaki itu menyalakan mobil lantas mengendarainya.
Sejenak hanya keheningan malam yang menemani mereka, hingga lelaki bernetra merah delima itu memulai percakapan.
"Jadi, apa ada masalah? Urusanmu di sana berjalan dengan baik kan?" tanyanya yang dibalas anggukan dari orang disampingnya.
"Lancar sih, yah, walaupun sempat diceramahi oleh beberapa dosen tapi akhirnya urusan ku selesai juga. Jadi aku sekarang hanya perlu fokus pada situasi di sini." Ada jeda sejenak dari perkataan Oliv, menyenderkan punggungnya lantas menghela nafas berat.
"Dan semua itu akan dimulai dari sekarang."
Nada bicara serius mengalir dari mulut Oliv. Tangannya turun merogoh saku celana, mengambil benda persegi panjang dari sana. Jari lentiknya bergerak sebentar di benda pipih itu lalu mendekatkannya ke arah Kaizo yang sedari tadi diam menatap jalanan lengang.
Rekaman suara itu berputar, memperdengarkan sapaan dari sebuah suara berat. Kaizo mendengarkan dengan baik sampai akhir rekaman, walau atensinya tak lepas dari gelapnya jalan.
Oliv menarik tangannya kembali. Mematikan perangkat canggih itu dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana.
"Apa dia yang membunuh orangtuamu?"
"Ya." jawab Oliv singkat.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau itu adalah dia?" tanya Kaizo lagi, melirik sejenak ke sebelahnya.
"Karena suara dan gaya bicaranya melekat dengan erat di kepalaku walau hanya sekali itu kami bertemu." Desis Oliv, tangannya mulai terkepal erat.
Kaizo menoleh, menghela nafas kecil.
"Kau bahkan tak pernah menceritakan kejadian waktu itu padaku.""Apa harus, aku menceritakannya?"
Kaizo mengangkat bahu sekilas, "kau ingin ini cepat berakhir bukan? Kalau kau tak pernah ingin bercerita bagaimana aku bisa membantumu menyelesaikannya?"
Hah, baiklah, mungkin memang ini saatnya ia menceritakan kejadian yang merenggut nyawa kedua orangtuanya itu. Peristiwa yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa yang akan selalu membuatnya dihantui perasaan bersalah. Peristiwa yang tak pernah ia ceritakan pada siapapun selama 8 tahun lamanya.
°°°•••°°°
Terduduk diam, memandang lekat pada benda yang kini berada di pangkuannya. Mengusap pelan menghilangkan debu yang menempel diatasnya. Dibukanya perlahan, mata sayunya menatap satu persatu foto keluarga yang utuh.
Ya, lelaki itu kini tengah membuka sebuah album. Bertemankan sebuah boneka paus yang selalu dibawanya semenjak mendapatkan benda itu 8 tahun yang lalu. Sudah lama? Memang. Tapi di tangannya boneka itu tak pernah kelihatan seperti sudah tua dan kusam, ia selalu menjaga boneka itu.
Netra biru langit yang biasanya selalu terpejam itu tak hentinya menatap satu persatu gambar yang ada di album tersebut. Tangannya sesekali juga mengusap menandakan betapa ia merindukan momen indah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry (Boboiboy Fanfiction)
FanfictionApa yang kau rasakan ketika kembali lagi pulang ke keluargamu, setelah sekian lama kau menghilang? Senang, gembira, bahagia? Atau malah sebaliknya? _________________________________________ "Aku tak bisa kembali!" "I-ini tidak mungkin kan?" "Maafkan...