☆» sembilan

189 41 0
                                    

Setelah perbincanganku dengan Hinata tadi sore, aku pun otomatis teringat kembali masa lalu. Ketika ibu masih hidup dan belum divonis kanker. Beliau adalah wanita yang paling aku hormati dan sayangi. Sifatnya periang dan lemah lembut. Ibuku juga yang menemukan bakat menggambarku.

Aku sangat dekat dengan ibuku. Kami seperti sahabat. Ibuku selalu mendengar curhatanku begitu pula sebaliknya. Ibuku selalu menjadi inspirasiku setiap menggambar. Lalu ketika ibu divonis kanker paru-paru, aku merasa tidak terima. Belum siap untuk menghadapi itu semua.

Aku pun tersadar saat itu aku memaksakan kehendakku pada ibuku.

Ibu harus sembuh.

Ibu harus pulang.

Ibu harus menemaniku lagi saat menggambar.

Ibu harus sibuk di dapur lagi saat aku pulang sekolah.

Ibu tak boleh sampai meninggalkanku.

"Nak, sudah, ya? Ibu lelah dengan ini semua. Tolong relakan ibu ..."

Kata-kata terakhirnya dua tahun yang lalu malah baru menyadarkanku sekarang. Malam itu aku pun menangis sambil membenamkan wajah di bantal. Sebisa mungkin tangisanku teredam agar ayah tak bisa mendengarnya. Aku tak ingin mengganggu istirahatnya.

Ayah selama ini sudah bekerja keras. Semenjak merawat ibu hingga sekarang. Aku baru sadar bahwa ayahlah yang seharusnya paling kehilangan akan kepergian ibu. Tetapi, ia tampak begitu merelakan saat ibu memasuki napas terakhirnya.

"Ibumu tak merasakan sakit lagi. Ayah bahagia."

Kenangan-kenangan bahagia masa lalu kembali berputar dalam kepala. Hal itu membuatku sesak. Tangisan semakin pecah.

Malam itu aku menyadari semuanya. Setelah tangisan reda, aku pun bangkit untuk mengambil peralatan lukis. Malam itu, aku melukis potret ibuku dengan hati yang damai tak terkira.

Semua berkat Hinata Shouyou, pemuda matahari yang tanpa sadar telah menuntunku.

Sunshine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang