3. PAPA JAHAT

22 7 18
                                    

3. Papa jahat

 Papa jahat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Nayla mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, rambutnya basah karena keramas tadi. Kemudian ia gerai rambutnya begitu saja yang sudah setengah basah. Menutupi jendela rumahnya, waktu sudah menunjukkan jam 18.00.

Ia berjalan keluar untuk menghampiri Mamanya yang sedang menonton televisi.

"Ma," panggilnya, mendudukkan dirinya di samping Mamanya, kemudian menyenderkan kepalanya ke pundak Diana. Diana tersenyum mengelus surai hitam milik Nayla.

"Kenapa sayang?"

"Papa kok udah dua hari gak pulang ya?" tanyanya.

Diana terdiam, tiba-tiba saja ada nyeri di dadanya yang menjalar. "Papa ada tugas yang gak bisa ditinggal, jadinya harus nginap."

Nayla menenggakkan tubuhnya, menatap Mamanya.

"Mama bohong, sebelum papa pergi Nayla denger kalian berantem, lagi."

Diana tidak tahu mau menjawab apa, mengapa anaknya harus mendengar suara kegaduhannya. Ia kira Nayla tidak mendengar karna sudah tertidur.

Ia menatap mata Nayla dengan dalam, "Maaf, Mama juga gak tau harus gimana," ujarnya dengan lirih, seakan capek dengan semuanya.

Nayla juga tahu, bahwa hubungan Mama dan Papanya sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak suka mendengar suara Papanya yang mengeras, sekaligus membentak Mamanya, belum lagi ada saja barang yang akan Papanya lempar.

"Mama gak di pukul lagi kan?" tanya Nayla, ia pernah melihat dengan kedua matanya saat Diana di pukul oleh lelaki itu yang berstatus Papanya.

Diana menggeleng, entah mengapa air matanya menetes lagi. Mengingat perlakuan Bagas selama ini kepada dirinya. Dengan cepat ia mengusapnya.

Bagas seorang pembisnis yang perusahaannya sangat maju, cabang perusahaan dimana-mana. Membuat dirinya terbuai akan semuanya, tidak ingat rumah. Sekalinya pulang, ia akan melampiaskan masalah yang terjadi di kantornya ke Diana.

Tetapi Diana harus mempertahankan hubungannya, ia harus memikirkan nasib anaknya. Nayla harus membutuhkan seorang papa untuk hidupnya.

Diana tahu, seorang Papa berpengaruh dalam hidup anak perempuannya.

"Mau sampai kapan Mama nahan semuanya?"

"Seorang laki-laki gak akan main kasar sama orang yang dia cinta," sambungnya.

"Kamu belum makan kan? Di meja makan udah mama siapin," ujarnya, kemudian beranjak untuk ke dapur. Ia tak ingin memperpanjang pembahasan.

Nayla menghembuskan nafasnya panjang, menatap Mamanya itu.

***

Tidak ada suara, hanya ada suara dentingan sendok yang saling beradu. Nayla melihat kursi di samping Mamanya yang kosong, biasanya di isi oleh Papanya. Ia tersenyum getir, sebelum melanjutkan makannya.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang