Rasa kikuk dan malu-malu itu sedikit terkikis waktu kami bertemu kembali di kelas 8. Kami masih menjadi kandidat untuk setiap lomba sekolah di cabang keagamaan, tapi kali ini Nugi tidak 'menyamper' ke kelasku lagi karena kebetulan kami satu kelas.
•
"Gi! Kantin gak?!"
Punggung Nugi yang menunduk memasukan bukunya ke kolong meja, memperhatikan guru, berguyon, memotong-motong penghapus, semua itu sekarang jadi pemandangan sehari-hariku, karena di tahun ini aku sekelas dengannya dan kebetulan tempat duduknya persis depan-belakang denganku.
Dan karena itu pula aku jadi sering satu kelompok dengannya, seperti hari ini.
"Bentar!" Sahutnya sambil membalik badan dan melipat tangan di mejaku.
"Jadi fix-nya di rumah gua atau Farhan?"
Keysha merapihkan tempat pensil lonjongnya sebelum bergumam di sebelah, "kata aku mending di rumah masing-masing aja gak sih?"
Gerutuannya itu ditanggapi Tamara dengan jentikan jari dari meja di belakangku. Dia tentu saja setuju, karena rumah mereka berbeda arah dari rumah Nugi. "Iya gitu aja, Gi."
Tapi Nugi dengan enteng bilang, "ya udah, jadi cuma Nara sama Farhan nih?"
Buru-buru aku menyanggah, "eh engga ah, gak mau kalau gak ada temennya."
"Oh iya ... pasti gak mau ya."
Nugi akhirnya mengedikkan bahu, "ya udah gak apa-apa deh yang penting jangan lupa aja bawa bagiannya masing-masing."
"Woi Jeje Junior! Buruan ih kaburu dijajal ku si metal kurupukna." Lengkingan suara Farhan di jendela kelas akhirnya menjadi tanda kesepakatan kami, karena setelah itu Nugi ikut melesat ke kantin berburu nasi goreng Bu Ipah.
*Takut keburu dihabisin sama si metal kerupuknya.
Sepulang dari sekolah, waktu aku baru sampai di perempatan jalan, tiba-tiba notifikasi chat bersuara di tengah gerah dan sumpeknya angkutan umum. Waktu itu masih jaman-jamannya aplikasi Line baru tren di Indonesia, jadi notifikasinya yang nyentrik otomatis membuat semua perhatian penumpang tertuju pada ponselku.
Nugi ◛
| ra, tolong kirimin catetan kelompok tadi, maaf
Sekilas aku menoleh kanan kiri bingung. Duh, gimana mau membalas pesannya kalau ambil ongkos di saku baju saja sulit kan? Aku menunduk memperhatikan gantungan kunci Buttercup yang menyembul di depan tas untuk berpikir.
Dan ujungnya aku tetap nekat juga. Kupaksakan menjawab pesannya dengan mengetik satu tangan, meski jadinya lama karena harus tulis hapus berulang kali.
Bentar masih di jln |
Beberapa detik kemudian kulihat namanya muncul lagi di notifikasi. 'Ooh, oke.' Katanya.
Yang disusul gelembung chat baru bertuliskan 'hati-hati'.
Hati-hati.
Aku tidak bereaksi heboh seperti berguling-guling atau menggaruk tembok, atau berteriak sekuat tenaga sampai urat-urat leherku keluar semua, karena bisa-bisa aku diseret keluar dari angkutan umum. Untungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuginara [END]
RomanceSembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpan memori tentang seseorang. Aku punya mantan, aku pernah hampir bertunangan, aku pernah di-pdkt oleh berbagai macam orang. Perasaanku diisi oleh satu-dua hati silih berganti, yang kukira semua i...