"Korannya mana koran?"
"Lah? Bukannya bilang tadi pas lewat perpus."
"Jih, justru itu yang pentingnya dodoooll. Udahlah biar gue yang ambil, lu bikinin kopinya."
Di setiap sekolah, mau SD, SMP, SMA, atau SMK sekalipun, pasti ada fakta atau bisa juga omongan simpang-siur orang-orang tentang sifat dan karakter guru-guru yang jadi bahan obrolan dari tahun ke tahun. Seperti misalnya, guru IPS yang bisa membaca pikiran orang kalau kaki kita menapak ke tanah, guru olahraga yang santai abis dan tidak banyak aturan, atau guru IPA yang setiap sesi pembelajarannya pasti ditutup dengan, "Ada yang mau bertanya? Tanya? Tanya?" Sambil menunjuk setiap barisan yang akan dijawab gelengan otomatis para siswa.
Kalau dalam kasusku kali ini, guru yang akan kami hadapi adalah guru kesenian yang idealis abis, misterius, tapi tetap tidak lolos dari perilaku usil murid-muridnya.
Mungkin dibanding usil, kata penasaran mungkin lebih cocok menggambarkan tujuanku, Fadlan, Kemal, dan Sendy saat ini. Aku sudah siap dengan koran baru yang tadi dijemput Kemal di perpustakaan, Fadlan dengan kopi Kapal Api berwadah gelas belimbing di tangan kanannya, dan Sendy berjalan di depan seperti pemimpin gangster yang menyusuri koridor sekolah dengan seragam rapi setengah-setengahnya.
Satu hal yang mau kutegaskan kali ini adalah kami melakukan ini atas dasar penasaran. Kata alumni yang kukenal, Pak Muklis itu kalau di mejanya ada koran dan kopi hitam, beliau bisa tidur nyenyak-nyenyak sampai bel berdenging ke sana-kemari. Aku diceritakan waktu pertemuan anggota KIR kemarin, dan oh ya tentu saja jiwa-jiwa nakal anak kelas 3 yang menghinggapi aku dan teman-temanku akhirnya membawa kami pada situasi ini.
Cobain lah, masa enggak?
"Beneran gak ini?" Bisik Kemal di bangku sebelah.
Aku berdecak. "Kaga yakin sih, tapi gue dikasih taunya begitu. Pantau aja dah."
Awalnya kami ragu, begitu juga aku. Pokoknya waktu itu kami berempat benar-benar melototi meja Pak Muklis untuk melihat seberapa akurat wejangan kakak alumni itu.
Eh tapi benar saja, belum ada 4 halaman kami membahas macam-macam gaya lukisan, Pak Muklis sudah sibuk dengan koran baru di mejanya. Kumisnya yang hitam legam seperti ulat bulu mulai dicubit-cubit kecil dan dipelintir sambil ia menyeruput kopinya sedikit demi sedikit.
Lalu Fadlan yang duduk di meja ujung kiri langsung mencolek bahuku cekikikan. "Berhasil coy kayaknya hahay—"
"Fadlan Abidin! Jelaskan arti lukisan The Starry Night karya Vincent van Gogh, dan beri opini pribadi. 15 menit dari sekarang."
Mampus.
Entah karena tawa Fadlan yang terlalu heboh, atau aku yang memang dibohongi, akhirnya tertangkap basah semuanya. Empat-empatnya langsung diberendel pertanyaan tentang lukisan ini, pelukis itu, arti warnanya, polanya, nama teknik melukisnya, segala-galanya sampai kami kelabakan dan hanya bisa mencawab 2 biji pertanyaan tentang pointilis dan gaya abstrak. Sudah, habis itu kami diberi hukuman membantu Pak Muklis mengecat sudut-sudut sekolah dengan warna dasar yang akan ia lukis tangan atasnya minggu depan.
Habis kami hari itu.
Fadlan apalagi. Dia sepertinya hampir kencing-kencing gara-gara baru pertama kali mendengar Pak Muklis membentak begitu. Nama dia pula yang pertama dipanggil.
Tapi entah kenapa waktu tahu ternyata aku kebagian mengecat area lapangan voli, aku biasa-biasa saja sih mengerjakannya. Dengan sangat amat santai dan dinikmati sampai-sampai Fadlan mengusap wajahku asal.
"Mingkem coy mingkem. Ngeliatin anak PMR latihan sampe sebegitunya."
Buru-buru aku meraba-raba wajah, lalu kubalas meraup muka Fadlan karena ternyata dia bohong, aku kira aku benar-benar menganga seperti ikan ngap-ngapan kekurangan air dan mempermalukan diriku yang sudah kepalang malu kelihatan dihukum mengecat begini.
Dipikir-pikir, mungkin ini ketiga kalinya dalam beberapa hari berturut-turut aku melihat anak-anak PMR latihan sampai sore di lapangan depan UKS. Sepertinya sih mereka sibuk mempersiapkan lomba Kepalangmerahan, soalnya kalau dilihat-lihat sekarang ada beberapa alumni dan murid-murid senior yang ikut memantau adik-adiknya adu ketangkasan tandu, melipat kain mitela sambil komat-kamit menjelaskan penanganan pertolongan pertama, dan lain-lainnya.
Sementara di sudut paling jauh, dekat saung kesenian, berdiri beberapa murid dengan syal biru PMR yang menutup leher serta bahu, berakting layaknya pemain OVJ di atas panggung. Aku tahu kalau mereka sedang latihan lomba drama Kepalangmerahan—Nara pernah menjelaskannya padaku tahun lalu.
Sepertinya dia tidak ada di jajaran anak-anak PMR itu. Terakhir kali kulihat, Nara keluar dari perpustakaan memeluk gitar akustik dan berjalan menuju halte sekolah. Padahal tadinya kukira dia tetap akan menyusul untuk hadir PMR, tapi ternyata tidak. Dengar-dengar sih lusa nanti akan ada lomba FLS2N di salah satu SMK Negeri di pinggir kota, Nara pasti sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan itu sekarang.
Akhir-akhir ini memang kelihatannya sekolah menjadi lebih sibuk, karena selain persiapan penilaian Sekolah Adiwiyata Mandiri, berbagai klub dan instansi juga mengadakan acaranya masing-masing seperti FLS2N yang kusebutkan tadi, OSN, atau bahkan lomba-lomba tahunan yang diadakan SMA Negeri di berbagai sudut kota.
Makanya aku juga agak sibuk.
Sibuk jadi tukang dadakan dan merelakan celana biru tuaku kecipratan cat terang warna biru langit. Biru langit!
•••
"Udahan dulu mas ngecatnya, makan siang dulu. Nanti diberesinnya sama tukang aja."Aku turun dari tangga lipat saat mendengar suara perempuan dewasa itu berujar dari luar kamar yang sedang ku oles cat warna biru pastel. Sebelumnya ruangan ini adalah gudang, diisi penuh dengan barang-barang yang kubawa dari rumah ibu setelah menikah. Tapi mulai hari ini mungkin akan jadi kamar calon manusia-manusia mungil yang nantinya akan meramaikan rumah dengan tangisannya.
"Si kembar udah mam?"
Pertanyaanku itu malah dijawab oleh ibunya dengan tawa, sambil ia refleks meraba pelan perutnya sendiri yang kini berisi 3 nyawa berusia 14 minggu. Aku mengikuti langkahnya keluar dari kamar dan menjaga jarak agak berjauhan karena badanku bau cat—sebelum ia berbalik lagi menghadapku dan merogoh saku kardigannya.
"Oh iya, tadi aku beresin dus yang di sana. Terus nemu ini."
Mataku mengikuti gerak tangannya yang mengangkat gantungan kunci kartun yang warnanya sudah pudar. Boneka mini itu menari-nari di hadapanku dengan kaitan yang tergantung di telunjuk lentik miliknya sambil menyeletuk, "kayak kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuginara [END]
RomanceSembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpan memori tentang seseorang. Aku punya mantan, aku pernah hampir bertunangan, aku pernah di-pdkt oleh berbagai macam orang. Perasaanku diisi oleh satu-dua hati silih berganti, yang kukira semua i...