Dulu waktu aku belum didewasakan oleh keadaan, waktu semua hal tentang ikhlas dan lepas masih belum kupahami seberat itu, hidupku biasa-biasa saja seperti anak remaja pada umumnya. Tempat mainku ada di mana-mana. Di rumah, jalan pulang, lapangan, angkutan umum, semuanya. Bahkan sekolah-Apalagi sekolah.
"Sumpahhh. Itu tumor asli coy."
"Ah, masa tumor bisa diwadahin di toples gitu sih lu kata ikan cupang."
Perdebatan recehku dengan Farhan itu mengawali langkah kami yang berjalan sambil menenteng buku IPA, melewati lapangan voli yang pantulan cahaya mataharinya membakar wajah siapapun yang melintas sampai kami menyipit saking teriknya. Kami meributkan gosip tentang lab biologi yang katanya menyimpan tiga toples tumor yang diawetkan demi kepentingan pembelajaran. Aku jelas menyela dong, karena tidak mungkin lah. Masa sekolah menyimpan hal seperti itu sih, memangnya itu legal?
Tapi akhirnya aku malah menemukan diriku menganga di depan lemari kaca di dalam lab biologi di mana tiga toples benda mengerikan tertutup di dalam toples kaca yang penuh dengan cairan, yang kata Farhan itu darah putih si pasien-opini ngawurnya yang ke sekian.
Tadinya aku tidak mau percaya kalau itu adalah tumor sungguhan, tapi waktu kubaca keterangan nama pemilik, tahun tumor diangkat, dan penjelasan jenis tumornya yang tertulis di depan toples tersebut, akhirnya aku membenarkan. Meskipun masih sedikit ngeri juga karena harus belajar di lab biologi yang menyimpan tumor dan bermacam-macam torso manusia yang kata Farhan dibuat dari tulang sungguhan.
Aku iya-iya saja mendengarnya, padahal aku tidak sebodoh itu untuk percaya pada Farhan yang banyak mengibulnya. Meskipun begitu, Farhan masih setia mendongeng tentang semua asal usul dan gosip sekolah karena katanya biar aku tidak kudet, konon aku memang tidak bisa masuk sekolah di masa-masa awal kelas 7. Ya, begitu deh, beberapa lomba yang ku ikuti mengharuskan aku karantina, jadi aku baru bisa benar-benar mengikuti jadwal KBM setelah hampir 2 minggu setelah masa orientasi berakhir.
Sebenarnya lelah sekali harus langsung kembali sekolah setelah lomba begini-begitu ke sana-sini. Tapi bapak bilang, kesempatan itu tidak akan datang dua kali. Selama kamu mampu, kenapa tidak?
Gara-gara kalimat bapak yang itu, jadinya aku selalu mengikuti intuisi untuk mendaftar dalam setiap program sekolah yang menurutku mampu diikuti. Seperti seleksi lomba DAI kemarin yang kata orang sudah dipajang hasilnya di mading sekolah, membuatku berjalan lurus di koridor utama, berdua dengan Farhan yang padahal sejak tadi sudah kusuruh ke kantin lebih dulu.
Area mading sekolah tidak ramai di jam istirahat kedua itu, hanya ada beberapa anak laki-laki yang melirik sebentar lalu pergi lagi, disusul dua orang siswi berjalan cepat lalu yang satunya mendongak tajam pada deretan nama calon peserta lomba akbar tahunan.
Dari ujung koridor aku bisa melihat kalau perempuan dengan kerudung putih bersih itu mematung dan dalam hitungan detik berbalik pada temannya sambil mengepalkan tangan antusias, yang kemudian dibalas pelukan tak kalah heboh oleh si siswi berambut sepinggang.
•••
"Ini Nara belum keluar kelas juga? Udah dikasih tau ada dispen belum dia?"
"Lu samper deh."
"Yaelah, gua masih harus setoran Al-Qalam. Lu aja dah kan elu kaligrafi, gak ada hafalan."
"Kaga ada hubungannye. Bilang aje lu takut sama Bu Fatimah."
Ajay langsung memasang wajah ngeri dan tak terima. "Nanti kalo dipelototin terus hafalan gue luntur semua lu mau tanggung jawab?"
Aku menghela napas. Menurunkan lembaran-lembaran kertas HVS dari wajahku yang sejak tadi masih berusaha kutempelkan teksnya pada ingatan, lalu bangun dari rebah, duduk sila dengan sempurna.
Ramalku, kalau obrolan ini diteruskan maka tidak akan selesai-selesai alias kita harus rela menambah jam evaluasi lagi nantinya karena Nara terlambat. Jadi daripada nanti harus pulang terlalu sore, lebih baik aku saja deh yang berkorban menjemput Nara di kandang singa-maksudnya, di kelasnya Bu Fatimah.
Jadi kusela saja langsung percakapan Dodit dan Ajay demi mendapat jalan tengah. "Udah gue aja dah."
Dan berangkatlah aku dengan langkah ringan ke meja piket, meminta surat dispensasi yang kutuliskan dua lembar. Satu untuk Nara beri ke Bu Fatimah, satu lagi untuk disimpan di meja piket. Tapi waktu kertasnya mau kuberi ke guru piket yang berjaga, beliau malah bilang "satu aja dek, langsung diserahin ke guru kelas."
Yah...
Telat bu, telat.
Tapi ya sudah mau bagaimana lagi, akhirnya sisa selembar kertas dispensasi yang terlanjur kuisi itu kusisipkan ke dalam saku celana-yang keesokan harinya hampir tercuci oleh ibu, begitu juga dengan kertas bertuliskan nomor pin BBM.
"Kalo masukin baju kotor ke keranjang tuh diperiksa dulu mas, takutnya nanti ada tisu lagi kayak waktu itu, putih-putih semua jadinya cucian ibu."
Lalu aku mengangguk-angguk saja, menurut pada ibu sambil membawa kertas-kertas yang terselamatkan dari gulungan mesin cuci itu ke kamar, untuk kemudian malamnya kumasukan nomor 7A956131 yang tertulis di sobekan kertas itu ke dalam kolom tambah kontak.
-
'I'd like to invite you over BBM'
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuginara [END]
RomanceSembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpan memori tentang seseorang. Aku punya mantan, aku pernah hampir bertunangan, aku pernah di-pdkt oleh berbagai macam orang. Perasaanku diisi oleh satu-dua hati silih berganti, yang kukira semua i...