Perisai yang melindungi rumah Riana rupanya sudah lenyap. Memang dukun sekarang cuma bisa nyari untung saja, mantranya nggak berlaku sampai jangka panjang. Namun, hal itu tentu saja menguntungkan Amerta. Ia bebas berkeliaran di rumah Riana tanpa takut tubuhnya terbakar.
Banyak sekali ruangan dalam rumah ini. Amerta harus mengeceknya satu persatu supaya bisa menemukan kamar Kiani. Tujuannya ke kamar Kiani tentu saja untuk memastikan apakah cewek itu menyimpan jejak pembunuhan Amerta di dalam sana. Lalu, utnuk memata-matai apakah Kiani memiliki hubungan special dengan Johan.
Amerta mengekori salah satu pelayan paruh baya yang masuk ke kamar bercat biru. Saat pintu dibuka, terlihat Kiani sedang tertidur di ranjangnya.
"Non, bangun, pestanya akan dimulai," ucap wanita itu halus.
Kiani menggeliat dan membuka matanya perlahan. "Kenapa?" tanya Kiani.
"Pesta Non Riana sudah mau dimulai."
"Oh. Gue lagi males. Suruh dia atur sendirilah pestanya, gue nggak ikutan." Usai mengatakan itu, Kiani menarik selimut sampai ke atas kepala.
Amerta geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Kiani yang nggak pernah berubah; suka ngatur dan seenaknya sama orang. Dulu, Amerta sering melihat Kiani memaki-maki sopirnya karena terlambat datang untuk menjemputnya. Kiani juga pernah mem-bully teman sekelasnya sampai orang itu trauma dan tidak masuk sekolah selama satu minggu. Karakter Kiani ini sebelas dua belas sama karakter Riana. Sama-sama kayak setan.
"Non, tapi ada teman Non datang."
Kiani menggeram marah. "Siapa, sih?"
"Nak Johan. Dia diundang sama Non Riana dan sudah datang. Dia nunggu Non di samping kolam renang."
"Ck, sialan Riana. Dia nggak bilang apa-apa ke gue." Sambil mendumel, Kiani bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Tak lupa ia menyuruh wanita paruh baya itu memanggil pelayan yang lain agar mempersiapkan gaunnya.
Selama Kiani di kamar mandi, Amerta mengelilingi seluruh sudut kamarnya yang luas. Tidak ada yang aneh. Segala perabotan terlihat baru dan jumlahnya sedikit. Banyak laci yang masih kosong dan rak buku yang belum diisi oleh satu buku pun. Mungkin karena keluarga mereka baru pindah rumah, sehingga seluruh perabot yang di rumah lamanya tidak dibawa ke sini. Amerta merasa percuma saja datang ke sini, tidak ada yang bisa ia temukan.
"Woy, kuntilanak sinting," teriak seseorang dari balik pintu. Amerta menoleh dan menemukan sosok Frisca dengan tampang kesalnya.
"Nama gue Amerta," ralatnya. Amerta menunjukkan ekspresi jengkel. "Lo kenapa muncul dalam wujud kayak gini, sih? Katanya lo mau mukbang makanan enak di sini?"
"Udah nggak usah banyak nanya, deh. Yang penting gue bisa mausuk itu udah alhamdulillah."
Amerta tertawa. "Pesta orang kaya memang dirancang teliti. Gembel nggak diperbolehkan masuk, ya?"
"Sialan."
Tawa Amerta semakin kencang dan untungnya tidak ada manusia yang bisa mendengarnya.
"Udah buruan lo turun, itu si Candra udah berdiri di sisi Tala. Dan Tala malah ketakutan."
"Bangke, kenapa lo nggk bilang dari tadi?"
Amerta langsung lenyap dari pandangan Frisca membuat cewek itu semakin geram. Kalau bisa ia ingin segera menghempas hantu itu ke akhirat supaya nggak menyusahkan Tala dan dirinya. "Dasar setan!" Frisca hanya bisa mengumpat karena saat ini suasasana hatinya benar-benar kacau.
***
Usai acara tiup lilin dan pemotongan kue, kini saatnya acara yang ditunggu-tunggu oleh para tamu, yaitu berdansa. Para tamu tidak menentukan sendiri bersama siapa ia akan berdansa, tetapi diacak berdasarkan nomor urut. Asisten Riana membagikan nomor kepada cewek-cowok. Kemudian, mereka akan mencocokkan nomor masing-masing. Tala mengambil satu nomor dan ia mendapakan angka sebelas. Harap-harap cemas ia mencari siapa yang mendapatkan angka serupa.
"Candra dapet nomor satu, sial!" Tala menoleh. Rupanya Amerta sudah berada di belakangnya.
"Pasangannya siapa?" tanya Tala penasaran.
"Sudah pasti si tuan rumah."
"Rencana kita gagal berarti?"
"Siapa bilang?"
Amerta menyelinap di antara ratusan tamu. Hebatnya menjadi hantu adalah mampu menembus tubuh orang-orang, jadi kalau antre di mana pun dia bisa melaju ke barisan pertama. Amerta mengambil nomor dalam saku Candra, kemudian dia menukar nomor itu dengan milik temannya.
"Halo, Guys. Sudah siap untuk berdansa?" teriak pemandu acara di microphone. Semua serempak menjawab siap. "Oke, para cewek silakan tunjukkan nomor kalian, lalu para cowok jemputlah pasangan kalian ke lingkaran dansa ini!"
Teman Candra kaget saat nomor yang disimpan di sakunya berubah. Kemudian dia melirik Candra. "Lo nuker nomor di saku gue?" tanyanya. Candra melihat sekilas nomor itu, lalu melihat ke barisan cewek dan menemukan Tala sedang memegang nomor yang sama dengannya. Sebenarnya ia juga merasa heran karena nomor dalam sakunya bisa berubah padahal ia tahu tak ada siapa pun yang merogoh sakunya. Namun, ia merasa keberuntungan sedang berada di pihaknya.
"Gue nggak merasa menukar nomor ini, but thanks." Candra menepuk bahu teman sekelasnya itu dan menjemput Tala. Kali ini ia harus berhasil mengajak ngobrol Tala.
Tak jauh dari tempat Tala berdiri, Riana menunjukkan ekspresi bingung. Ia sangat yakin Candra mendapatkan nomor satu, karena nomor itu sudah dipersiapkannya untuk Candra. Ia mau berdansa dengan Candra, meski harus berlaku curang. Namun, entah kenapa nomor Candra malah cocok dengan milik Tala. Riana geram, tetapi ia tidak bisa mengubah nomor Candra sekarang.
Musik mengalun indah. Pianis terkenal yang diundang Riana begitu pandai membuat suasana menjadi penuh kebahagiaan. Satu per satu pasangan dansa mulai memasuki lingkaran.
"Lo bisa dansa?" tanya Candra kepada Tala.
Tala bingung harus menjawab apa. Sejujurnya dia tidak nyaman karena tatapan Riana yang tajam bak pisau siap menghunusnya. Tadi juga saat Candra menghampirinya sebelum acara tiup lilin, Tala tak mengeluarkan sepatah kata pun. Pertama karena canggung dan kedua karena tidak ada Amerta. Saat ini, Amerta sudah ada di sampingnya. Namun, ia malah lebih takut karena Riana seperti sedang mengincarnya.
"Gue bisa masuk sekarang, 'kan?" Tala mengalihkan pandangan kepada Amerta. Lalu, ia mengangguk. Sudah saatnya Tala keluar dari kebingungannya.
Secepat kilat Amerta menubruk tubuh Tala hingga membuat gadis itu terhuyung. Beruntung tangan Candra sigap menahannya. "Lo kenapa?" tanya Candra khawatir.
Tubuh Tala kaku sejenak karena Amerta masih melakukan penyesuaian. Beberapa saat kemudian barulah hantu itu bisa mengendalikan tubuh Tala sepenuhnya.
"Iya, gue nggak pa-pa."
Amerta berdiri sempurna dan tangannya langsung ditarik Candra menuju lantai dansa. Tala memperhatikan mereka dari jauh. Kemudian, dia menghilang menuju tempat paling sunyi.
"Gue nggak tahu lo bisa berdansa dengan sangat baik. Lo dilatih Ardi?" tanya Candra di sela-sela gerakannya.
"Gue sering nonton pertunjukan dansa. Lo sendiri belajar dansa dengan siapa?"
"Gue? Cuma mengikuti feeling aja, sih."
"Gimana ceritanya dansa mengikuti feeling?"
Candra hanya tersenyum menanggapi ucapan gadis di hadapannya. Sejujurnya, Candra merasa ada perubahan pada Tala. Namun, karena ia merasa nyaman jadi ia tak begitu peduli.
Musik terhenti. Bersamaan dengan itu, sudut mata Candra menangkap sosok Ardi di pintu masuk, sedang menatapnya tajam.
"La, lo suka Ardi?" tanya Candra tanpa menatap lawan bicaranya. Matanya masih tertuju pada Ardi.
"Kenapa tanya itu?"
"Karena gue suka lo."
Barulah saat Candra sudah mengatakan itu, ia menatap gadis di hadapannya. Amerta tentu saja kaget. Tanpa berusaha, tanpa menggunakan taktik apapun, Candra bisa langsung masuk dalam perangkapnya. Seandainya jantung Amerta masih bisa berdetak sama seperti milik Tala, mungkin sekarang kecepatan detaknya sudah melebihi batas normal.
Amerta hendak berbicara, tapi sebuah kecupan di bibirnya membuat ia bungkam.
Damn!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Mission
ParanormalAmerta tak percaya bahwa dirinya sudah mati dan menjadi hantu. Apalagi yang memberitahukan hal itu adalah kuntilanak penunggu atap gedung IPS. Untuk menuntaskan rasa penasarannya, ia mengajak bicara semua siswa yang sedang berbaris di lapangan upaca...