Kebiasaan Amerta jika sedang memikirkan sesuatu adalah menggigiti ujung kuku telunjuk kirinya. Sedikit demi sedikit, sampai kuku yang tadinya panjang menjadi pendek. Ia bahkan sering dimarahi oleh ayahnya dan dibilang jorok oleh Derana. Namun, ia sulit sekali menghentikan kebiasaan itu. Saat ini pun, ketika ia sudah bukan lagi manusia kebiasaan itu masih terbawa. Sayangnya, kuku yang ia gigiti sekarang tak menjadi pendek.
Senyum di sudut bibir Candra yang ia lihat saat di koridor menjadi beban pikirannya. Bagaimana bila ia sendiri yang membahayakan Tala? Amerta yakin seratus persen jika Candra memiliki dendam pada Ardi dan pastilah dia menjadikan Tala sebagai pionnya.
"Lagi mikirin apa, sih?" Kepala Amerta berputar seratus delapan puluh derajat dan tentu saja itu membuat seseorang di belakangnya menutup wajah karena takut.
"Tala?" Seketika Amerta mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Tala. "Gue pikir lo marah ke gue, karena tadi abis dorong Candra biar nubruk lo."
"Kurang kerjaan banget, sih, Kak." Perlahan Tala mendekati Amerta. Wajahnya tak lagi ditutupi oleh tangan.
"Rencananya gue, tuh, mau bikin Candra nubruk lo terus buku yang lo bawa jatuh dan dia bantuin rapiin. Abis itu kalian saling natap ala-ala sinetron. Sialan, si Ardi mengacaukan rencana gue."
Tala tertawa mendengarnya. "Kakak tahu sendiri Ardi musuhan sama Candra."
"Kenapa bisa musuhan, sih?"
"Ya ... gitu."
"Lo dulu deket nggak sama Candra?"
"Nggak. Aku malah jarang main sama Candra. Kalo mereka main berdua aku nggak pernah diajak."
"Oh ...."
"Kak Amerta-" ucapan Tala terpotong oleh suara riang dari arah belakang. Ada Frisca di sana masih mengenakan piyama yang sama seperti saat pertama kali Amerta bertemu dengannya.
"Mau ngapain lo ke sini?" tanya Amerta sinis.
"Gue mau ketemu Tala."
"Nggak punya temen lo?"
"Iya, emang nggak punya."
"Kasihan amat hidup lo."
"Hidup lo apalagi lebih miris."
Tala mendesah, kedua temannya ini keras kepalanya hampir sama. Rasanya Tala lebih baik menghadapi sosok menyeramkan daripada mendengar kedua arwah ini berdebat.
"Kalian damai, dong. Aku pusing kalau kalian berantem." Tala menutup kedua kupingnya. Bibirnya mengerucut dan bikin Frisca gemas. Cewek berlesung pipi itu tersenyum lebar dan mengacungkan jari telunjuk. Entah apa artinya jari telunjuk itu. Biasanya orang-orang akan mengacungkan jari telunjuk untuk menunjukkan arah.
"Lo harusnya ngacungin jari telunjuk sama tengah buat tanda peace, bego," ledek Amerta. Meski terkesan galak, tapi Amerta mengucapkan kalimat itu dengan senyum yang ditahan.
"Gue kuper, btw." Frisca langsung mengancungkan lagi jari telunjuk dan tengahnya. Tala tertawa melihat kepolosan Frisca.
"Oh, iya, makasih kamu sudah bersedia datang ke sini," ucap Tala. Mendengar itu, ekspresi Amerta berubah lagi. Entah ada urusan apa sampai Tala harus mengundang arwah yang sedang melakukan astral projection itu ke sini.
"Ngapain lo ngundang dia ke sini, La?"
"Lanjutin pembahasan tadi pagi."
Amerta menatap Frisca. "Bener lo tahu kejadian saat Johan maksa gue naik motornya?"
Frisca mengangguk. "Gue lihat dengan jelas nametag-nya, kok. Alesan gue ngikutin lo juga karena gue familier dengan wajah lo."
"Oke, lo bisa jelasin lebih detail kronologisnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Mission
ParanormalAmerta tak percaya bahwa dirinya sudah mati dan menjadi hantu. Apalagi yang memberitahukan hal itu adalah kuntilanak penunggu atap gedung IPS. Untuk menuntaskan rasa penasarannya, ia mengajak bicara semua siswa yang sedang berbaris di lapangan upaca...