Veel: Bagian 2.

31 11 4
                                    

Setelah perjalanan yang cukup lama, aku tiba di rumahku. Rumahku tidak besar, hanya seperti rumah ukuran normal dengan garasi di bagian depan. Aku melepas sepatuku dan masuk ke dalam. Ruang tamu adalah tempat pertama dari pintu masuk depan.

Aku melanjutkan jalanku, menuju ruang makan. Ruang makan adalah bagian tengah rumahku. Di sisi barat nya terdapat kamar orang tuaku dan di sisi timur adalah kamarku. Lurus berhadapan dengan ruang tamu adalah dapur, kamar mandi dan kamar kosong yang tidak kami gunakan.

Di ruang makan, aku lihat ayahku duduk di salah satu kursi sembari konsentrasi membaca koran. "Nichole!" panggil ayah.

Aku menoleh padanya. Ayah menurunkan koran dari pandangannya. Menatapku tajam. Aku menghela napas pelan. Tatapan itu lagi, dia selalu memasang tatapan itu saat aku pulang dari sekolah. "Masih kamu temenan sama si anak itu?" hardiknya.

Aku balas menganggukkan kepalaku. Ekspresi kesal terlihat di wajahnya saat melihat anggukkan kepalaku. "Ayah udh peringatin kamu, dia itu anak napi! Gak baik!"

Sudah kuduga, hal ini lagi. Apa dia tidak bosan memikirkan masalah kecil seperti ini?

"Emangnya kenapa? Dia kan temenku. Lagian dia ga kayak ayahnya." balasku.

Wajah ayah berubah merah padam. "Pasti! Dia pasti bawa pengaruh buruk ke kamu! Udahlah, dengerin aja kata ayah." tampiknya.

"Loh, temen-temennya kakak gak terpengaruh tuh? Padahal ayahnya sebrengsek ayah." balasku dengan sarkas.

Hening. Ayah terdiam, masih dengan wajahnya yang memerah karena rasa kesal. Melihat tidak ada lagi jawaban darinya, aku segera berbalik dan pergi ke kamarku. Tak kubiarkan waktuku terbuang sia-sia di ruang makan. Setelah aku pergi ke kamarku, lekas aku menguncinya.

Aku memperhatikan kamarku. Aku ingat dulu ayah yang merancang kamarku. Terdapat jendela tepat sejajar dengan pintu dan kasurku di bawah jendela. Di sisi sebelah kanan terdapat meja belajarku yang diatasnya terdapat sebuah jam yang menunjukan pukul lima sore dan di sisi kirinya adalah lemari dan sebuah cermin besar.

Ayahku. Dia adalah seorang mantan tentara. Sampai sekarang pun penampilannya tetap seperti tentara, bertubuh kekar, memiliki garis wajah yang tegas dan suara yang kuat. Dia selalu berbicara seolah dia yang benar, bahkan tentang temanku dia tetap bicara sok tahu. Dia selalu membicarakan tentang ayahnya Sheila saat aku pulang ke rumah.

Dan ayah Sheila, yang kutahu dia adalah seorang mantan nara pidana yang ditangkap karena menjadi pengedar narkoba. Sheila sendiri tidak banyak bercerita tentang dirinya atau ayahnya. Mungkin dia hanya menutup aib keluarganya. Itu adalah hal normal untuk dilakukan.

Mengingat tentang Sheila, aku sekarang khawatir apa yang terjadi padanya saat aku pulang tadi. Aku harap dia benar baik baik saja dan jika Sheila diapa-apakan, si Gionna brengsek itu akan kuhabisi.

Aku menghela napas panjang. Memperhatikan diriku di cermin. Terlihat diriku di dalamnya. Aku masih mengenakan baju sekolah. Lekas aku mengganti bajuku dan merapihkan barang-barang sekolahku. Membuka lembaran buku pelajaran dan mempelajari ulang materi di sekolah.

Apakah aku adalah seseorang yang sangat mengincar nilai bagus di sekolah? Tentu tidak. Aku hanya berusaha untuk cepat menghasilkan uang sendiri, mengumpulkan uangku sendiri dan hidup dengan uangku sendiri. Walau diucapkannya mudah, tapi aku tahu itu akan sulit.

Saat aku baru memulai belajarku, terdengar suara mobil di depan rumah. Ibuku dia selalu sibuk berkerja. Dia sudah seperti robot, selalu pulang pergi hanya untuk berkerja. Ibuku sama tegasnya seperti ayah, tetapi ibu lebih cuek dibandingkan ayah yang lebih pemarah dan aku bahkan jarang bertemu dengan ibu, jika aku bertemu dengannya dia pasti hanya akan bertanya nilaiku.

Little DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang