Veel: Bagian 12.

9 0 0
                                    

Aku merebahkan kepalaku pada meja belajar di salah satu ruangan kelas yang kosong. Dengan kondisi langit yang selalu sama, aku tidak dapat mengidentifikasi waktu dengan jelas. Aku hanya dapat memastikan bahwa telah 5 jam lebih aku berkecimpung di area sekolah. Bagaimana aku dapat memastikannya? Tentu dengan jam. Entah bagaimana jam yang selalu aku kenakan masih berfungsi di dunia mimpi ini. Kini jam itu menunjukan pukul 01.00. Namun, aku tidak dapat memastikan apakah waktu menunjukan pukul 01.00 dini hari atau siang. Jika aku simpulkan dari waktu saat aku kembali ke dunia ini, dapat dikatakan bahwa sekarang adalah pukul 01.00 dini hari. Tetap saja, dengan langit yang tidak pernah berubah, aku tidak dapat mengonfirmasi hal tersebut. 

Selama 5 jam terakhir, aku melatih kemampuanku untuk berubah menjadi tinta ungu. Berkali-kali aku latih di lapangan sekolah. Kini, aku sudah sangat mahir melakukannya. Tidak hanya melatih kemampuan untuk menjadi tinta ungu, aku juga kerap kali berlatih menggunakan belati perak yang saat ini terpajang rapi di sakuku. Seperti dalam game atau film-film action yang pernah aku tonton, aku mengayunkan belati pada sosok monster dengan mantap. 

Monster? Iya, monster. Sekali lagi aku melawan sosok yang tidak masuk akal jika aku gambarkan di dunia nyata. Serangga yang mirip dengan serangga yang pernah aku temui di dunia nyata. Ngengat. Sekarang aku ingat nama serangga itu. Namun, ukurannya jauh berbeda  dengan ngengat yang aku kenali di dunia nyata. Ukuran ngengat yang baru aku lawan itu ukurannya setara dengan manusia dewasa. Ditambah ngengat raksasa di dunia ini memiliki taring besar yang dapat mencabik-cabikku jika aku kalah. Akibat latihanku itu, seluruh sudut di ruangan laboratorium kimia hancur, dengan lubang besar di atapnya sebagai jalur keluar dari si ngengat raksasa. 

"Jika aku berada di dunia nyata sekarang, pasti aku akan dikeluarkan dari sekolah ini karena berhasil menghancurkan laboratorium kimia." Aku tertawa kecil setelah bergumam. Membayangkan bagaimana reaksi Sheila yang akan ketakutan jika hal itu benar terjadi  padaku. Tawaku itu berhenti sesaat, terbayang amarah dari orang tuaku. Aku bisa saja diusir dari rumah! Membayangkan itu, aku kembali tertawa. Lambat laun tawaku berhenti, digantikan dengan keheningan ruang kelas. Aku membuang napasku. 

 Aku kembali menatap langit-langit kelas dengan cara yang sama seseorang melihat bintang, sayangnya aku tidak dapat melakukan itu disini, tidak ada satupun bintang di dunia ini. Bagaikan pengelana yang tidak dapat melihat bintang dimana dirinya biasa menggunakan gemerlap bintang sebagai panduan arah, aku pun merasa demikian, kehilangan arah. Meskipun baju olahragaku menjadi bukti bahwa aku telah melakukan pertarungan dengan serangga aneh dan juga noda kotor setelah banyak berlatih transportasi menjadi tinta ungu di lapangan, aku tetap merasa bingung dan kehilangan tujuan. Apa yang sebenarnya harus aku lakukan di dunia ini?

"...ketahuilah bahwa kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini sampai kau sepenuhnya mengerti." 

Mataku sedikit melebar mengingat kalimat yang datang dari Veel sebelumnya. Rasa amarah masih aku rasakan jika aku mengingat dirinya, akan tetapi aku hanya merebebahkan kepalaku di meja kelas sembari memikirkan lagi makna dari kalimat itu dengan kepala dingin. Namun, tidak ada satupun hal yang dapat aku simpulkan dari kata-katanya. Aku memejamkan mataku, berusaha menggali lebih banyak hal yang pernah dikatakan oleh Veel. 

"...amarah...."

Satu kata dari ucapan Veel muncul di benakku. Aku membuka mataku dan membenarkan posisi dudukku, aku berusaha mengingat-ingat kalimat utuh yang pernah Veel bilang padaku. Satu demi satu kata akhirnya muncul di benakku, membentuk susunan kalimat yang pernah terdengar di telingaku.

"Semakin sering kau kemari, semakin bertambah juga amarah kau."

Aku mengusap wajahku dengan frustasi, berapa kalipun aku mengingat hal yang pernah Veel katakan, aku tidak dapat menarik garis lurus, aku tertahan dengan amarahku yang timbul tiap kali aku mengingatnya. Hal ini benar-benar menggangguku. Aku menarik napasku dengan panjang sebelum kembali berpikir. 

"Semakin sering aku ke dunia ini, semakin bertambah amarahku..." Aku menggumamkan kalimat yang pernah dikatakan Veel. Dia mungkin tidak berbohong saat mengatakannya, aku merasa bahwa aku banyak melakukan hal-hal bodoh semenjak aku terseret ke dalam dunia ini seperti yang aku lakukan pada Gionna. Saat itu amarahku memuncak dengan cepat, tidak seperti diriku biasanya.

Aku bangkit dari posisi dudukku, aku mulai bosan berdiam diri di ruangan kelas ini. Lantas aku berjalan dengan belati di saku celana olahragaku yang masih memiliki bercak hitam dari pertarunganku sebelumnya. Aku membuka pintu kelas kosong itu dan lagi-lagi berhadapan dengan udara berat di luar kelas. Aku berjalan mengelilingi sekolahku, lorong-lorongnya sepi akan tetapi aku dapat mendengar suara gaduh dari kelas seperti suara yang sama seperti yang aku dengarkan sebelumnya saat berjalan bersama Veel. Hal itu mengingatkanku pada sesuatu yang sempat aku sadari sebelumnya, yaitu orang-orang versi dunia ini memiliki tabiat buruk, seperti satpam yang aku temui di dunia ini. Sebelum aku sampai di sekolah pun aku sempat beberapa kali berpapasan dengan orang-orang versi dunia ini yang kebanyakan bersumbu pendek dan bersikap acuh tak acuh.

Apakah mungkin hal itu juga berkaitan dengan amarah yang disampaikan Veel?  Aku memutar otakku berusaha menarik garis lurus dari semua hal yang ada, "...tapi itu tidak mungkin." gumamku seraya kakiku tetap melangkah melewati lorong sepi berhiasi tinta ungu. Lagipula yang dikatakan Veel adalah amarahku bukan milik orang lain.

Sepinya lorong itu membuatku tidak was was karena sesaat setelah aku bergumam, aku mendapati satu sosok perempuan berjalan di sebelahku dengan kepala tertunduk dan sosok itu pun bergumam dengan suara yang sangat parau seolah dia baru saja mengeluarkan beribu liter air mata, "...Benar... Tidak mungkin... Tidak ada yang mungkin." 

Melihat sosok itu aku terperanjat kaget dan beberapa langkah dari sosoknya. Aku memperhatikan sosok itu dengan was was, bersiap jika aku harus berhadapan dengan sosok monster lagi. Namun, sosok perempuan  itu tidak bergerak sedikitpun, rambutnya berwarna coklat menutupi sebagian besar wajahnya. Hal itu sedikit mengingatkanku pada legenda-legenda horor di dunia nyata yang tidak aku percayai seutuhnya, tetapi tentunya sosok di hadapanku ini tidak mungkin sosok seperti itu bukan? Lagipula jika aku perhatikan lagi, sosok itu menggunakan seragam sekolah ini.

Tunggu sebentar, sosok perempuan ini entah bagaimana familiar di benakku. Aku pun mendekat selangkah dari posisiku sebelumnya, dan berusaha mengamati wajah dari sosok itu lebih dekat lagi. 

Astaga! 

Aku kembali terperanjat kaget, tetapi kali ini hal yang mengejutkanku adalah wajah sosok itu. Seperti semua sosok yang aku temui di dunia ini, semuanya entah bagaimana hampir mirip dengan Veel, kulit pucat dan mata hitam legam menjadi ciri khasnya. Begitu pula sosok di hadapanku ini, kembali lagi aku melihat rupa seperti itu di wajah temanku sendiri, Sheila. Sheila di dunia ini nampak sangat amat berantakan. Namun, dia jauh dari kriteria orang-orang bertabiat buruk di dunia ini yang sempat aku temui sebelumnya. Sheila di dunia ini tidak memiliki cemberut amarah maupun wajah cuek seperti kebanyakan orang di sini, alih alih dia memasang wajah datar dengan lesu bak orang kehilangan harapan hidupnya. Apa yang terjadi padanya di sini?



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang