Veel: Bagian 3.

32 10 0
                                    

Aku duduk terdiam di meja belajarku. Memikirkan lagi maksud pertanyaan dari Veel yang masih tidak aku mengerti. Sudah hampir satu jam aku di tempat ini dan aku masih berada di kamarku, satu-satunya tempat yang menurutku aman.

Veel juga masih di sini, dia tertidur di kasurku. Aku tidak menyangka akan terjebak selama ini di tempat ini dan itu semua sebenarnya karena Veel. Dia bilang dia tidak akan 'mengembalikan' aku ke tempatku semula jika aku tidak menemukan jawabannya.

Aku memang tidak bisa kembali sekarang. Berapa kali pun aku coba, masih tidak bisa. Aku bahkan sudah mencoba untuk tidur, tetapi aku masih terbangun di tempat ini. Aku yakin aku sedang bermimpi, tapi kenapa aku tidak bisa terbangun?

"Hei! Lama banget sih mikirnya. Aku capek tau tidur di kasur keras ini." Veel menghela napas geram sebelum bangkit dari kasur dan menghampiriku di meja belajar.

Astaga! Bisa-bisanya dia ngeluh capek setelah tidur di kasur orang lain tanpa izin.

Aku menghela napas dan menoleh pada Veel. "Kalo udah bosen nunggu, bantu aku keluar dari sini."

Veel mengangkat bahunya dengan cuek dan membaringkan lagi dirinya ke kasurku. "Daripada itu, mending aku tidur aja."

Alisku menurut di saat bersamaan dengan mengerutnya dahuku. Orang ini pasti sengaja mempermainkanku. Bodohnya aku mengikuti permainannya. Aku pun bangkit dari meja belajarku, menuju ke arah pintu kamarku dan membukanya. Aku lihat lagi pemandangan di sana, tinta ungu itu masih pada tempatnya dan udara masih terasa berat.

"Hei hei, kau mau kemana?" Veel terkekeh. "Jangan bilang kau udah nyerah dan mau adaptasi di sini?" lanjutnya.

Untuk menjawab itu, aku meniru gayanya, mengangkat bahu sembari tersenyum. Aku berjalan menuju dapur rumahku, rada aneh sekarang aku menyebut tempat ini sebagai rumahku karena bagaimanapun tempat ini sudah jauh berbeda dari sebelumnya.

Melihat diriku pergi ke luar kamar, Veel bangkit dari kasur dan mengikutiku dari belakang. "Kau mau ngapain?" tanyanya.

Aku tidak menjawab karena aku harus menarik napas lebih panjang sekarang dan menjaga pasokan oksigenku untuk menghadapi udara yang berat di sekitarmu. Aku menolak untuk membuang-buang tarikan napasku yang berharga untuk menjawabnya.

Tiba di dapur, lekas aku mengambil pisau. Untungnya pisau di dapur ini tidak dilapisi oleh tinta ungu yang aneh karena kalau begitu, aku akan sangat enggan untuk menyentuhnya.

Veel melihatku mengambil satu bilah pisau dari rak dapur, dia pun menyeringai dengan sangar lebar. "Ha! Akhirnya kau nemu juga jawabannya!" katanya.

Jawaban? Jawaban apa? Aku tidak mengambil pisau untuk menjawabnya. Lagipula aku sudah muak mencari jawaban dari pertanyaan bodohnya itu.

Tanpa jawaban apapun dariku, Veel terdiam kikuk. Seringaiannya pudar seraya dia bertanya, "Hei... Kau nemu jawabannya, kan?"

Aku menoleh padanya, menatapnya dengan tajam sebelum aku mengarahkan ujung pisau itu ke dadaku. Aku menusukan pisau itu ke dadaku, dalam menembus tulang igaku. Tak Lama, aku pun terjatuh, tidak terasa sakit tapi aku bisa merasakan darah mengalir dari dadaku. Perlahan lahan, aku kehabisan darah.

Aku memejamkan mataku, meyakinkan diriku sendiri bahwa tempat ini hanyalah mimpi. Meyakinkan diriku sendiri bahwa jika aku mati di dunia mimpi, aku pasti akan terbangun di dunia nyata. Ini adalah pilihan yang sangat beresiko, tetapi paling baik untuk dicoba. Aku akan sepenuhnya yakin kalau aku akan terbangun di dunia nyata dan aku juga tidak akan keberatan jika aku akan benar-benar mati.

Lambat laun, kesadaranku mulai menghilang dan pandanganku mulai samar. Aku masih bisa melihat siluet Veel berseru panik melihatku. Tak lama kesadaranku hilang sepenuhnya.

Little DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang