Veel: Bagian 10.

11 1 0
                                    

Aku sampai di rumahku. Berdasarkan jam dinding di rumahku, sekarang sudah pukul 7:30 malam dan seperti biasanya, hanya ada ayahku di rumah.

Menyadari kedatanganku yang cukup larut, ayah melontarkan satu pertanyaan padaku. "Kenapa baru pulang?" tanyanya sembari menatapku dengan tajam.

Aku menatap balik matanya. Dengan pandangan serius, aku menjawab, "Aku pingsan di sekolah, Sheila menjagaku sampai aku siuman." jawabku.

Tak bisa aku pungkiri, aku merasa sedikit bangga saat menyebut nama Sheila dihadapannya. Apalagi yang akan dia bahas untuk menjelekkan Sheila kali ini? Aku prediksi, dia tidak akan menjawab apa-apa lagi dan kembali menyatukan fokusnya pada koran di hadapannya.

Benar saja. Semua hal yang aku prediksi dilakukan olehnya. Kini dia kembali pada korannya, tidak lagi mempertanyakan atau bahkan mengkhawatirkanku. Namun, aku tidak ambil pusing. Aku beranjak dari ruang tengah menuju kamarku dan menjatuhkan diriku untuk beristirahat di kasur.

Aku hanya tertidur dan pingsan setengah hari ini, tetapi entah kenapa rasanya tubuhku sangat berat. Rasanya aku butuh banyak istirahat. Berada di kasur yang nyaman, membuatku semakin tergoda untuk beristirahat. Namun, aku mengurungkan niatku. Aku... Masih tidak ingin kembali ke dunia itu.

Jika aku tertidur sekarang, aku bisa saja kembali ke tempat itu. Aku masih tidak ingin kembali ke sana, bahkan jika aku benar-benar bisa, aku tidak ingin kembali ke sana lagi. Kalaupun aku tetap memilih untuk tidur, aku yakin energiku tidak akan bertambah. Saat aku tertidur, aku hanya akan berkeliaran di tempat itu. Saat terbangun, aku tidak yakin batinku akan merasa segar.

Aku menghela napasku dengan berat. Memperhatikan pintu di kamarku. Kalaupun aku tidak ingin tidur, bisa saja di luar pintu itu kini sudah berubah menjadi tinta ungu. Mengingat aku selalu melupakan hal-hal yang terjadi sebelum aku tertidur.

Melihat adanya kemungkinan itu, aku memutuskan untuk bangkit dari kasurku dan membuka pintu kamarku untuk melihat keadaan di luar. Setelah melihat keadaan di luar sana, aku menghembuskan napas lega. Tempat itu masih sama, tidak ada tinta ungu yang menempel di mana-mana. Aku lantas menutup kembali pintu kamarku.

Mungkin aku telah gila. Semua itu pasti hanya mimpi saat aku sedang pingsan. Pasti aku hanya melupakan segala hal yang terjadi karena aku terlalu lelah. Pasti itu.

"Aku pasti sudah gil–" Belum selesai aku bergumam, aku dikejutkan oleh suatu hal.

Sebuah belati perak seketika muncul di hadapanku. Belati perak itu sama persis... Tidak, belati itu adalah belati yang aku gunakan sebelumnya.

 Kenapa... Benda itu ada di sini...? 

Aku mengambil belati perak tersebut.

"Jangan-jangan...." Aku beranjak bangkit dan sekali lagi membuka pintu kamarku.

.

.

.

.

.

Apa...?

Lagi-lagi, pandangan yang aku kenali muncul di hadapanku. Semua tempat di luar kamarku kini kembali diselimuti oleh tinta ungu. Berapa kalipun aku berada di dunia ini, aku tetap masih belum bisa membiasakan diriku dengan beratnya udara di tempat ini. Makanya, aku hanya berdiam diri membelalakkan mataku melihat tinta ungu menyelimuti seisi rumahku seraya mengatur napasku dengan berat.

Kenapa terjadi lagi...?

Dengan sigap aku kembali menutup pintu kamarku, menguncinya dengan benar. Aku berusaha menenangkan diriku. Pintu kamarku yang kini tertutup rapat membuat perhatianku beralih pada belati perak yang berada di tanganku. Aku dapat mengkonfirmasi dengan jelas bahwasanya belati ini adalah belati yang sebelumnya aku gunakan, karena terdapat darahku di ujung belati itu.

Bagaimana bisa belati yang seharusnya berada di jurang itu kini berada di sini? 

Berapa kali pun aku berpikir, tentunya aku tidak dapat menjawab hal itu dengan logika manusia normal. Bicara soal manusia normal, aku menoleh ke sekitarku. Tidak ada. Aku tidak melihat kehadiran Veel di sini. 

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Aku menatap langit-langit kamarku dengan penuh kebingungan. Terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti di tempat ini. Aku tidak dapat berpikir dengan lurus.

Apa yang harus aku lakukan?

.

.

.

.

.

Di tengah kesunyian kamar tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras dari luar kamarku. Suara yang keras itu sudah cukup untuk membuatku terlompat kaget saat mendengarnya.

Aku yang sebelumnya membelakangi pintu, kini berbalik dan menatap pintu kamarku dengan tajam. Tanpa aku sadari, aku sudah membuat kuda kuda bertahan dengan belati perak di tanganku.

Lenggang. Tidak ada lagi suara yang keras seperti sebelumnya. Aku menghela napas, dengan hati-hati aku meraih kenop pintu dan membukanya secara perlahan-lahan. Di balik pintu itu aku mendapatkan sosok yang aku kenali.

"Ayah?" panggiku. 

Sosok itu adalah ayahku, dalam bentuk seperti Veel. Kulitnya jauh lebih pucat dan seluruh bola matanya berwarna hitam pekat. Ayah menatapku dengan tatapan penuh amarah dan menghampiriku. Melihatnya berjalan mendekatiku, perlahan aku melangkah mundur. Namun, berapa kalipun aku melangkah, aku tidak akan bisa melangkah keluar kamarku karena sosok ayahku telah sampai di pintu kamarku dan memblokade satu-satunya pintu keluar masuk kamar.

Di depan pintu itu dia terdiam, masih menatapku dengan tatapan penuh amarah yang cukup mengerikan. Aku juga terdiam, menatapnya dengan sedikit rasa tidak nyaman.

Tak lama setelah kontes saling tatap kami, sosok ayahku itu akhirnya angkat bicara, "SIAPA KAMU?! BERANI-BERANINYA MEMASUKI RUMAHKU TANPA IZIN!" hardiknya.

Mendengar hal tersebut membuatku takut dan kebingungan di saat yang bersamaan.

Apa yang terjadi? Dia tidak mengenaliku?

Aku masih terdiam, kebingungan akan jawaban yang harus aku keluarkan dari lisanku. Namun, sosok ayahku itu tidak membiarkanku berpikir lebih lama dan kembali melangkahkan kakinya lebih dekat padaku.

Dengan panik aku akhirnya mengeluarkan suaraku. "Aku Nichole!" seruku.

Tepat setelah aku mengatakan hal itu, sosok ayahku berhenti melangkahkan kakinya.  Menyadari bahwa langkahnya berhenti, aku memperhatikannya sekali lagi. Aku membelalakan mataku setelah melihat apa yang terjadi padanya, tidak lagi terlihat sosok ayahku dengan kulit pucat dan mata hitam legam, yang terlihat di hadapanku adalah sosok tinta ungu dengan sosok tubuh yang besar dan mengerikan, matanya yang berwarna hitam pekat digantikan cahaya merah.

Melihat sosok itu aku terpanjat kaget dan menggenggam belati perak di tanganku dengan lebih erat, sekali lagi menyiapkan kuda kuda untuk bertahan. Aku tidak bisa lagi membohongi diriku, seluruh tubuhku bergetar ketakutan, detak jantungku berdetak dengan cepat, disusul dengan napasku yang berderu dengan cepat. Sosok mengerikan itu bagaikan monster besar yang biasa terdapat di cerita legenda. 

Mengerikan... Apa yang terjadi padanya...?

Otakku tidak dapat lagi berpikir dengan baik. Di tengah rasa takut dan bingungku, sosok mengerikan melangkah mendekatiku. Langkahnya bukanlah langkah yang besar ataupun cepat, langkahnya berat dan perlahan. Setiap langkah yang sosok itu ambil, semakin bertambah rasa takut yang kurasakan. 

Apa... Apa yang harus aku lakukan?

Semakin lama aku berdiam diri kebingungan, sosok itu kini sudah satu langkah di hadapanku. Mata merah terangnya itu mentapku dengan tajam. Tubuh tinta ungunya yang tinggi dan besar itu kini sekali mendekat padaku. Tanpa keraguan lagi dalam diriku, aku menghunuskan belati perak digenggaman tanganku tepat di dada sosok itu. 

Little DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang