Aku ingin mati. Tapi tidak betul betul ingin mati. Hanya saja merasa lelah dan berat menghadapi kehidupan yang pelik serta luka yang tak berkesudahan.
_____________________
Kepalaku terasa pengar, suara berisik terdengar sangat memekakan telinga, entah dari mana suara itu? Aku mencoba untuk berdiri dari tumpukan karung yang berisi bahan-bahan rempah seperti, jahe, kunyit, dan sereh.Tubuhku sedikit limbung karena kepalaku yang terasa nyeri dan pusing. Aku segera berpegangan.
"Hei! Ku kira kau sudah pergi. Segera turun nanti barangku rusak karena kau tiduri!" tanpa disuruh dua kali aku segera turun dari mobil pick up yang mengangkut rempah rempah ini. Bapak-bapak yang meneriakiku mendekat, tubuhnya besar, gagah, serta mukanya sangar. Sepertinya sekarang aku berada di pasar. Sekelilingku ramai oleh orang-orang yang menuruni barang dari mobil. Seperti, sayuran, rempah-rempah dan bahan pokok lainnya.
"Hei cepat pergi kau! Malah melamun." Aish menyebalkan, kenapa tidak sabaran sekali. Aku segera menjauh dari keramaian, setelah mengucapkan terimakasih.
Langit terlihat kelabu, sepertinya hujan akan segera turun. Entah berapa lama perjalananku dari kampung sampai ibu kota ini. Selama perjalanan aku hanya tidur di dalam mobil pick up yang mengangkut rempah rempah tadi.
Aku melihat sekeliling, lampu-lampu dipasar menyala menerangi sekitar, beberapa penjual sudah menutup tokonya, entah jam berapa sekarang?
Pedagang makanan disamping jalan yang tak jauh dari pasar ramai pembeli, di dominasi oleh tukang angkut barang. Sepertinya, mereka sedang makan malam.Aku duduk di bangku panjang depan tukang soto ayam, aroma kuah sotonya menguar tercium harum, membuat perutku berbunyi. Aku sedikit mengintip ke dalam, jam dinding menunjukan pukul 8 malam.
"Hei. Apa kau mau pesan." Ibu pemilik melihatku, lalu menawarkan. Aku menggeleng lemah, "terus kenapa kau berdiri disitu?"
Ekor mataku tak sengaja melihat mangkuk kotor yang menumpuk di belakang, sepertinya pemilik soto ini tidak sempat untuk mencuci. "Bu boleh saya bantu mencuci mangkuk kotor yang di belakang?"
Ibu itu menatapku heran, lalu menyelidik penampilannku, "ah akhir-akhir ini kenapa banyak sekali anak jalanan, apakah mereka tidak punya rumah? Baiklah, sana kau cuci, itu lebih baik daripada meminta-minta tanpa mau berusaha. Aku tau kau mau makan tapi tidak punya duit." walaupun ibu itu terlihat judes dan galak tapi sepertinya dia baik.
Aku segera masuk dan menuju ke belakang untuk mencuci, aku tidak membantah di sebut anak jalanan, mungkin karena penampilanku yang kucel dan kusut ini. Apa mungkin aku akan jadi anak jalanan sekarang? Ah, biar ku pikirkan nanti-nanti saja, yang penting saat ini aku bisa makan malam.
Setelah selesai mencuci aku segera keringkan menggunakan lap, beberapa pembeli terlihat meninggalkan tempat, hanya menyisakan dua orang.
Ibu pemilik itu segera mendekat ke arahku lalu menyimpan kembali mangkuk kotor di ember, tanpa disuruh dua kali aku segera mencucinya.
Jam dinding menunjukan pukul sembilan malam, satu jam aku mencuci mangkuk-mangkuk kotor ini tapi sungguh tidak terasa.
"Hei, kemarilah, ini satu porsi untukmu, segera makan." Aku mengangguk, kursi-kursi terlihat kosong, semua pembeli sudah pergi.
"Terima kasih banyak Bu." Aku segera menyantap soto ayam dihadapanku. Aroma nya menguar begitu nikmat, ditambah dengan perasan jeruk serta sambal.
Setelah selesai dan mencuci bekas mangkuk yang aku pakai, aku segera pamit. "Terima kasih banyak Bu, Pak, semoga ramai terus."
"Hei tunggu sebentar."
Langkahku terhenti dan menunggunya di dekat pintu keluar."Tidak banyak, bawalah. Aku suka pekerjaanmu, bersih dan rapih," beliau menarik telapak tanganku, lalu meletakan uang. Aku segera menggeleng, mengembalikannya.
"Sebelumnya terima kasih Bu, tapi aku rasa makan satu porsi sudah cukup."
"Ah, cepat ambil. Aku sibuk mau beres- beres, aku kasih uang ini karena suka pekerjaanmu. Cepat ambil!" Kali ini aku tidak menolak dan mengambilnya, bentakkannya cukup membuatku menciut. Aku segera pergi setelah mengucapkan terima kasih.
Langit semakin gelap. Kakiku terus melangkah menyusuri trotoar, lampu-lampu menyala terang, bangunan-bangunan tinggi menjulang, kendaraan masih ramai berlalu-lalang, malam seperti ini ibu kota masih hiruk pikuk dengan aktivitas, berbeda dengan kampung yang hanya menyisakan suara-suara hewan.
Aku tidak tau langkah kaki ku akan berhenti dimana. Aku kabur dari rumah, toh mereka tidak akan peduli padaku atau mencariku, mungkin sebaliknya mereka akan senang aku hilang.
Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk nya erat. Takut mengiringi setiap langkahku tapi apa daya berdiam diri jauh lebih menyiksa.
Aku tidak tau hidupku akan seperti apa, apakah akan seperti anak jalanan yang di ucapkan tukang soto ayam tadi? Tidak. Aku tidak tahu. Tapi akan kupastikan aku akan menyembuhkan diriku, menerima, mengikhlaskan, berdamai dan menjalani hidup seperti yang aku impikan.
Biarkan semua berjalan semestinya, semoga ditempat asing aku mendapatkan pelajaran berharga yang akan membentuk diriku lebih tangguh lagi, dan dihargai. Karena aku paham betul seperti apa sakitnya ketika ditempat yang seharusnya memberikanku rasa aman, dan nyaman, justru tempat itu memberikanku luka.
Aku tidak tahu kisah ini akan seperti apa, mungkin akan membosankan membaca proses dari perjalananku. Tapi akan aku pastikan nanti di ujung sana aku akan sembuh.
___________________
Jangan lupa tinggalkan jejak ya biar bisa dikenang hehe.
⭐
⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Peace With The Wounds
Teen FictionPerjalanan hidup yang beriringan dengan luka, pedih, kelam, kecewa, dan marah. Namun semuanya berakhir di titik menerima, mengikhlaskan dan berdamai. Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk n...