Hari minggu Toko kelontong hanya buka setengah hari, jujur saja aku senang bisa menghabiskan waktu untuk beristirahat, tapi di sisi lain aku juga tidak suka sendirian tanpa melakukan aktivitas apapun, karena entah kenapa waktu-waktu seperti itu akan membuat kaset lama menanyangkan hal-hal suram dalam benakku.
Jam menunjukan pukul dua siang, aku memutuskan untuk berkeliling keluar sebentar. Aku melihat cafe di sebrang jalan dipadati oleh pengunjung yang didominasi oleh anak muda. Apakah senang jadi mereka? Bisa main dan menikmati hal tanpa memikirkan beban apapun? Ah entahlah, tapi banyak juga yang selalu terlihat baik-baik saja, sebetulnya mereka menutupi banyak luka, walaupun terdengar pengeceut tapi itu pilihan baik dari pada kita berterus terang atas kesedihan atau kesakitan yang kita alami, tapi mereka tidak peduli.
Kakiku menuntun ke salah satu taman kota yang terlihat ramai oleh pengunjung, yang didominasi oleh anak-anak. Aku memilih untuk duduk disalah satu kursi. Tak banyak yang aku lakukan selain mengamati sekitar.
Senyumku tersungging saat melihat interkasi orang tua yang terlihat hangat dan tulus bermain dengan anak-anaknya, lalu tergelak tertawa bersama.
Betapa beruntungnya mereka bisa mendapatkan orang tua yang benar-benar peyanyang. Walaupun orang lain akan mengatakan semua orang tua sayang kepada anaknnya. Aku adalah orang pertama yang akan bersuara lantang menolak itu. Tidak semua orang tua menyangi anaknnya. Lihat berapa banyak berita yang marak tersebar tentang hal-hal biadab yang dilakukan oleh orang tua mereka kepada anaknnya, "Pelecehan sexsual ayah terhadap anak", "Pembunuhan" "Pemerkosaan" dan banyak hal yang tidak moril lainnya terjadi. Jadi aku rasa mereka yang memiliki orang tua utuh, bijak, tegas, sayang sama mereka patut bersyukur dan merasa beruntung.
Aku bukan tidak bersyukur. Sungguh, aku bersyukur dibesarkan oleh seorang ibu sekaligus beliau merangkap menjadi ayah untukku. Beliau sangat luar biasa, tangguh, gigih, dan tidak pernah memperlihatkan kesulitannya kepadaku. Aku rasa semua ibu yang waras akan melakukan hal yang sama spererti ibuku, dan aku bersyukur untuk itu.
Aku menghela napas terasa sesak setiap kali mengingat bagaimana perjuangan ibu untuk merawatku, sedangkan aku belum bisa membayar semua perjuangannya. Ah, bukan belum, tapi memang tidak sempat.
"Bu, nanti Ra beliin makanan enak, kalau Ra sudah kerja ya."
Pagi itu kami sarapan dengan sayur daun kelor yang dipetik di samping rumah. Daun itu sudah menjadi langganan kami untuk disantap setiap kali mau makan, kadang kalau bosan aku hanya makan dengan kuah nya saja. Ibu hanya merespon dengan senyuman. Senyuman yang selalu menghangatkan.
"Bu nanti Ra juga beliin mukena buat ibu."
Malam itu mukena yang ibu kenakan dibagian bawahnya sudah sobek, warna nya sudah luntur, mungkin orang lain sudah tidak akan memakainya lagi. Ibu tersenyum hangat, lalu menggenggam tanganku, matanya menatapku dengan lembut.
"Ra, maafin Ibu ya, ibu gak bisa memenuhi semua kebutuhanmu seperti anak lain. Ibu yakin semua orang tua merawat anaknya tanpa pamrih, tidak berharap dibalas. Ibu berharap masa depan kamu tidak seperti ibu. Ibu berharap kehidupan kamu di masa depan bersinar Nak. Peluk semua rasa sakit hati yang ada di dadamu, jadikan itu sebagai pecut kamu untuk bermimpi. Balaskan semua rasa sakit, perih, kecewa itu untuk meraih mimpimu. Ibu sayang kamu Nak. Ibu tidak tahu apakah ibu akan sekuat sekarang atau tidak tanpa kamu. Terimakasih sudah menjadi anak ibu sayang."
Belir bening merebak begitu saja dari pelupuk mataku. Aku memeluk ibu dengan erat. Isakku pecah, kami menangis malam itu, dengan hujan yang terus mengguyur dan suara hewan menderik.
Sehari-hari ibu bekerja serabutan. Jika musim penghujan tiba, ibu akan jauh lebih sibuk, banyak para tetangga yang menyuruh ibu untuk bekerja di sawah, mulai dari menanam padi, sampai panen tiba. Hujan, panas, bukan halangan ibu untuk menghidupiku. Sering kali setiap matahari sudah terbenam ibu baru pulang dengan tubuh yang kuyu karena kehujanan. Wajahnya lelah, tapi tidak pernah sedikitpun kalimat keluh keluar dari bibirnya.
Pagi itu suhu tubuh ibu panas, dan pusing. Aku mengompres dan menyuapi ibu makan. Beliau tetap bersikeras untuk tetap bekerja hari itu dengan alibi sakit seperti itu bukan apa-apa katanya. Aku jelas menolak, ibu sudah lama tidak istrihat apalagi saat musim panen padi kemarin pasti tubuhnya lelah. Selain bekerja di sawah milik orang lain, ibu juga suka berjualan gorengan milik tetangga.
Jadi hari ini aku memutuskan untuk menggantikan ibu untuk berjualan keliling kampung. Setelah memastikan ibu sudah istirahat dan meminum obat aku segera berangkat.
Jam 10 pagi gorengan yang ku bawa sebanyak 2 box plastik besar habis terjual. Selain banyak yang sudah mengenal gorengan tetangga ku itu, banyak orang yang membeli mungkin karena kasihan melihatku. Aku tidak peduli, walaupun aku adalah orang yang paling tidak suka ditatap kasihan oleh orang lain.
Aku segera pulang, menenteng kresek putih berisi goreng ayam, upah yang aku terima dari tetanggaku tadi aku belikan untuk beli ayam, pasti ibu senang bisa makan enak nanti. Senyumku tersungging senang.
Aku berlari memasuki rumah. Senyum dan rasa senang lenyap seketika saat melihat ibu yang terbaring kejang, suhu tubuhnya semakin panas. Aku panik, tidak tahu harus melakukan apa. Aku mendekat lalu merengkuh tubuh ibu, matanya membeliak. Tangisku pecah. Aku segera berlari menuju rumah tetangga tadi untuk minta tolong.
Namun ternyata pas aku kembali, Tuhan lebih sayang kepada ibu. Ibu sudah dipanggil, tubuhku ambruk tidak berdaya, tangisku menggema diantara ruangan yang sempit itu, memeluk tubuh kaku ibu. Sungguh, aku marah kepada Tuhan kenapa tuhan mengambil satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku. Orang yang menjadi alasana aku kuat dan hidup. Untuk apa aku hidup kalau ibu sudah pergi?
Hari itu seluruh kehidupanku luluh lantah.Aku tersadar dari lamunanku, menepis linang air mata yang baru saja menetes. Aku menatap langit yang biru bersih sore ini. Ibu sudah istirahat dengan tenang di sana, tidak perlu merasakan sakit dan capek lagi, ibu akan bahagia disana. Ya, ibu jauh lebih bahagia sekarang. Aku menghela napas dalam.
"Repot-repot aku pulang ke kampung sialan itu kalau ternyata kau datang kesini Bora!"
Aku membalikkan badan saat mendengar suara itu. Tubuhku mematung, emosiku memburu melihat Pria itu berdiri di belakang tempat aku duduk. Wajahnya terlihat semakin tua, namun tak sedikitpun menghilangkan sangar di wajahnya. Aku mengepalkan tangan mencoba mengontrol diri. Aku tidak menyangka akan secepat ini bertemu kembali dengan pria itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Peace With The Wounds
Teen FictionPerjalanan hidup yang beriringan dengan luka, pedih, kelam, kecewa, dan marah. Namun semuanya berakhir di titik menerima, mengikhlaskan dan berdamai. Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk n...