Karena udah lama gak update, boleh baca ulang yang bab sebelumnya yah hehe. Maafkeun kalau ada bahasa yang kurang nyaman.
Selamat membaca guys😘
____________________________Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, mencoba mengontrol diri, rasa sesak itu kembali menghimpit dadaku setiap kali melihat wajahnya. Dulu aku pernah mendengar kalimat yang tidak tahu siapa yang mengatakannya.
"Lebih baik dia meninggal setidaknya kita tidak akan melihatnya lagi, daripada dia hidup tapi tidak melakukan perannya sebagai ayah! Itu jauh lebih menyiksa!" Aku sungguh setuju dengan kalimat itu. Mungkin rasa sakit, marah, benci, dan kecewa yang ada dalam diriku tidak akan terus tumbuh jika aku benar-benar sudah tidak melihat nya."Heh! Ikut denganku!" Suara beratnya memerintahku.
Aku berdecih, "Anda pikir saya anak bodoh dan mau saja ikut dengan orang yang tidak bertanggung jawab seperti anda? Saya datang kesini bukan untuk bertemu anda!"
Dia berjalan mendekat ke arahku. Tatapan matanya tajam, badannya tetap gagah walaupun keriput sudah jelas di wajahnya, brewok panjang, serta rambut gondrongnya sudah menutupi sebagian alisnya. "Dasar anak kurang ajar! Ayahmu ini mengajak baik-baik, sikap mu malah seperti itu! Apakah kamu tidak di ajarkan sopan santun hah!"
Aku tertawa mendengar ucapannya, "sopan santun?" tanyaku dengan wajah sinis, "tentu saja ibuku selalu mengajarkan sopan santun. Tapi untuk apa aku harus bersikap sopan santun kepada orang yang tidak bersopan santun seperti anda!"
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipiku. Terasa pedas dan panas, aku yakin wajahku sudah memerah. Mataku juga perlahan memburam! Sialan bajingan gila! Sudah lama rasanya aku tidak meraskaan tamparan ini.
"Aku ini Ayahmu, harusnya kau menghormatiku HEH! Ikut denganku cepat!" Teriakan dan bentakan yang di lontarkan mampu membuat perhatian orang yang berada di taman teralihkan dan mereka memperhatikan kearah kami.
Aku mengusap pipi, serta bulir bening yang keluar begitu saja dari mataku. Sialan! Aku benci menangis di depan banyak orang!
Aku menatap tajam orang yang menamparku barusan. Emosiku sudah tidak bisa dikontrol, "AYAH?" tanyaku sinis diiringi kekehan, "anda menyebut diri anda seorang Ayah hah? Ayah macam apa yang akan memperkosa anaknya, menyiksa istri dan anaknya setiap hari, mabuk-mabukan, judi, tidak menafkahi keluarga, dan pergi begitu saja tidak bertanggung jawab lalu meninggalkan hutang kepada kami! Dan sekarang anda meminta saya untuk ikut dengan anda, dan akan menjual saya supaya hutang anda lunas?" Aku berdecih dengan emosi memburu, rasa sesak yang menjalar, dan air mata yang sejak tadi menetes begitu saja. Persetan dengan orang lain yang sedang menonton kami sekarang, bahkan ada beberapa yang sedang merekam kami. Biarkan, aku akan meluapkan semua apa yang aku rasakan selama ini! Dulu aku hanya bocah ingusan yang hanya bisa bungkam, menangis dipojokan dan diam setiap kali melihat ibunya dianiyaya oleh keparat gila ini.
"Jangan pernah menyebut diri anda seorang Ayah! Anda lebih cocok keparat gila!"
PLAK!
Tamparan itu kembali mendarat dengan manis di pipiku, aku merasakan darah segar disudut bibir. Aku meludahkannya. Orang-orang disekitar berseru ngilu, bahkan ada beberapa ibu-ibu langsung menutup mata anaknya supaya tidak melihatku di tampar.
"Lihatlah, ayah macam apa yang berani menampar anaknya di depan umum, ah ayah gila yang akan melakukan semua itu. Saya pastikan ini terakhir kalinya anda melakukan ini kepada saya!" Aku melihat rahang pria dihadapanku mengeras, wajahnya memerah, terlihat kalau dia marah dengan ucapanku. Aku juga segera berlari menjauh dari sana sebelum pria itu mengejarku.
Aku tidak tahu kemana arahku berlari, aku hanya terus berlari dengan mata yang memburam, matahari mulai pamit, digantikan dengan cahaya lampu jalanan dan lampu dari bangunan yang menerangi jalan dari gelap malam. Perlahan gerimis mulai turun menyiram bumi.
![](https://img.wattpad.com/cover/292583505-288-k897309.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Peace With The Wounds
Novela JuvenilPerjalanan hidup yang beriringan dengan luka, pedih, kelam, kecewa, dan marah. Namun semuanya berakhir di titik menerima, mengikhlaskan dan berdamai. Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk n...