Kadang aku merasa kehidupanku paling sulit, masalah yang aku hadapi terasa berat. Tapi aku keliru, semua orang memiliki masalah dan beban kehidupan masing-masing, tuhan sudah merancangnya sesuai kemampuan kita.
_____________________________Aku sempat di omeli oleh ibu-ibu tukang soto karena kelamaan, tapi beliau marah tidak berlangsung lama karena minyak yang beliau butuhkan aku bawa. Ya, aku beli dari toko yang lain, peduli amat mahal atau tidaknya.
Setelah selesai urusanku dan sarapan disana aku kembali ke pasar, matahari semakin terik di langit sana, kesibukan terlihat, orang-orang hilir mudik medorong roda berisi sayuran, jahe, kunyit dan barang lainnya.
Aku bolak balik memperhatikan sekitar, melihat pekerjaan apa yang sekiranya cocok aku lakukan.
"Hei, pusing kali aku lihat kau mundar-mandir hah? Kau mau cari apa?"
Aku berbalik ke arah suara dengan logat yang khas itu. Rupanya Bapak penjual rempah-rempah.
"Apa Bapak butuh bantuan?"
Beliau mengerenyitkan dahi bingung, "apa maksudmu heh?"
Aku sedikit kikuk menggaruk tengkuk, "maksudku, aku sedang butuh pekerjaan Pak. Pekerjaan apapun tidak masalah, yang penting halal,"
"Lucu kali ya Kau ini, tubuhmu kurus begitu, apa yang bisa kau lakukan. Ini pekerjaan berat, mengangkut barang."
"Oh tidak masalah Pak, saya sudah biasa, mengerjakan hal berat. Kehidupan saya juga berat tapi saya bisa bertahan Pak."
"Malah curhat kau! Aku tidak akan tanggung jawab kalau nanti pinggangmu patah ya!"
Aku mengangguk, tubuhku memang kurus, rambutku juga pendek dan kriting, tapi jangan keliru soal tenaga. Aku lahir di kampung, sudah biasa membawa barang berat, mengangkut kayu bakar, mengambil air dari sumur menggunakan jerigen 20 liter dengan melewati jalan yang naik turun. Itu sudah menjadi hal biasa bagiku.
"Malah melamun kau! Ikuti aku hei!"
Aku segera mengikuti langkah Bapak di depanku. Sepertinya beliau membawaku ke gudang. Terlihat karung-karung besar berjejer rapih.
"Hei, tolong ambilkan roda itu."
Aku segera bergegas mengambil roda yang ditunjuknya. Roda itu tidak besar, tidak juga kecil, sedang saja.
"Naikan karung ini di atas nya terus kau ikat pake tali tambang, nanti dorong bawa ke toko ku yang tadi."
Aku dengan sigap melaksanakan sesuai yang diperintahkan, Bapak itu sudah duluan pergi setelah mengunci pintu gudang.Setelah selesai, aku perlahan mendorong roda tersebut, lumayan berat, karungnya memang sedang tapi isinya jelas penuh. Sekuat tenaga aku mendorong.
"Hei! Minggir dulu biarkan aku lewat," aku segera menyingkir ke samping, saat tukang angkut barang melewat, tubuhnya gagah, serta keringat yang mengalir dimana mana.
Aku segera melanjutkan pekerjaanku.
"Cepat juga, apa punggungmu tidak patah heh! " ucap bapak tadi yang menyuruhku. Aku menyeringai, menggeleng.
"Sekalian, kau pisahkan, takutnya ada jahe yang busuk." Aku mengangguk, lantas menggelar terpal dan mengekuarkan jahe dari karung.
Aku merasa apa yang aku lalukan hari ini membuatku lebih waras, dibanding sebulan lalu saat aku di kampung. Aku akan lebih memilih cape fisik daripada batin. Tidak apa jika seharian kelelahan, karena ada malam untuk kita rehat. Tapi jika batin tersiksa baik malam ataupun siang, sungguh rasanya sangat berat dan menyakitkan.
Perihal jahe mengingatkanku kepda ibu dulu, beliau selalu suka cita saat akan pergi ke kebun jahe milik kami. Beliau selalu semangat menyiapkan bekal untuk kami makan, nasi yang dibungkus daun pisang, sambal terasi dan teri, itu adalah makannan kesukaanku. Dulu saat aku SD, sepulang sekolah aku selalu menemani dan membantu ibu di kebun, membersihkan kebun jahe, ataupun hanya sekedar mundar-mandir membuat daun jahe layu karena terkena gesekan bajuku. Kami akan pulang ketika semburat jingga terlihat. Aku masih ingat ibu dulu pernah bilang "Entah kenapa ibu selalu merasa nyaman saat di kebun Nak. Hening, jauh dari segala keramaian, setidaknya ibu selalu merasa aman disini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Make Peace With The Wounds
Novela JuvenilPerjalanan hidup yang beriringan dengan luka, pedih, kelam, kecewa, dan marah. Namun semuanya berakhir di titik menerima, mengikhlaskan dan berdamai. Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk n...