"Selalu berbuat baik Nak, jika suatu saat kamu dalam situasi kesulitan, semoga kebaikan yang kamu tebarkan akan menjadi penolongmu."
_____________________________Aku membuka mata perlahan, cahaya terlihat remang. Suara aktivitas sudah mulai terdengar, jam berapa sekarang?
Aku segera membereskan dus bekas aku tidur. Semalam setelah kakiku berkeliling tanpa tujuan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke pasar dan tidur di depan ruko.
Sepertinya sekarang baru subuh, langit masih sedikit gelap dengan siluet jingga dari arah timur. Terlihat para pejual sudah berdatangan dan mempersiapkan barang dagangan mereka.
Aku mengamati sekitar, mungkin inilah salah satu yang teman sekolahku dulu banggakan tatkala menceritakan ayah mereka. Saat mereka masih bergelung selimut terlelap dalam kehangatan, seorang ayah saat fajar terbit sudah melangkahkan kaki untuk mencari nafkah, menghidupkan keluarga, dan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Cih, sebetulnya aku selalu tidak suka membicarakan sosok Ayah. Karena, aku tidak pernah merasakan sosok itu, aku hanya punya sosok Ibu yang merangkap sebagai Ayah untuk menghidupiku. Mungkin bagi sebagian anak perempuan, ayah adalah sosok laki-laki hebat bagi mereka, panutan, dan cinta pertamanya. Ya tentu saja, sudah seharusnya seperti itu karena ayah mereka memerankan sosok ayah yang sesungguhnya.
Seseorang menarik perhatianku di depan sana, aku berlaru kecil mendekati bapak-bapak tua yang menarik gerobak berisi ubi-ubian. Jalan yang dilewatinya sedikit menanjak, aku membantu mendorongnya dari belakang. Mungkin bapak ini usianya sudah 60 tahunan, rambut putihnya terhalang topi, tersampir handuk kecil dilehar.
Gerobak tehenti setelah sampai dipermukaan tanah yang datar."Hei, terimakasih Nak." Aku mengangguk sekilas.
"Kemari sebentar."
Aku mengikuti langkah Bapak di depanku. Sepertinya ini tempat dia berjualan, atasnya ditutupi terpal.
"Makanlah, ini ubi dengan kualitas baik, istriku tadi merebusnya untuk kami sarapan. Anggap saja ini sebagai ucapan terimakasihku." Dia tersenyum mempersilahkanku duduk. Kami menikmati ubi sambil memperhatikan orang-orang berlalu lalang.
"Istriku belum datang, padahal aku selalu mencegahnya untuk tidak ikut berjualan, tapi dia keras kepala selalu ingin ikut menemaniku."
Sepertinya bapak-bapak ini mudah akrab dengan orang yang baru dia kenali. Aku hanya mengangguk sebagai respon. Setelah bapak itu menghabiskan satu potong ubi, dia bergegas menggelar terpal untuk menaruh dagangan. Matahari mulai naik, keramaian semakin hidup, pedagang-pedagang lain juga sudah menggelar dagangan mereka.
Aku juga ikut membantu bapak itu menurunkan ubi, singkong dan menata nya di atas terpal.
"Terima kasih Pak Ubi-nya."
"Terima kasih juga Nak, sudah membantu Bapak Tua ini. Maafkan Nak, aku belum punya uang."
Aku menggeleng cepat, "Aku memang berniat untuk membantu Bapak."
Beliau tersenyum, "selalu berbuat baik Nak, jika suatu saat kamu dalam situasi kesulitan, semoga kebaikan yang kamu tebarkan akan menjadi penolongmu."
Aku tersenyum sekilas, lalu mengangguk, setelah berpamitan aku segera masuk lebih dalam ke pasar. Matahari terus naik, keramain pasar semakin sesak, riuh penjual menawarkan dagangan saling bersahutan. Langkah kakiku telah sampai di arah keluar pasar, tukang ojek, becak, terparkir disana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Make Peace With The Wounds
Novela JuvenilPerjalanan hidup yang beriringan dengan luka, pedih, kelam, kecewa, dan marah. Namun semuanya berakhir di titik menerima, mengikhlaskan dan berdamai. Namaku Bora, bocah berusia 18 tahun yang kabur dari rumah, pergi membawa luka, trauma dan memeluk n...