06

13 3 2
                                    

Aku membuka jendela kamar, cahaya matahari dengan lembut menyapa wajahku, burung mengepakkan sayap menikmati udara segar dipagi hari. Yeah, walaupun udara ibukota tak sesegar dikampung yang masih asri. Aroma tanah yang disiram hujan semalam menyeruak penciumanku, hanya aroma nya saja tapi mampu membuat banyak kenangan melintas di benak. Entah mengapa hujan dan aroma mampu menghadirkan banyak kenangan?

Aku melongokkan wajah ke bawah. Jalanan masih terlihat lenggang, terlihat ibu-ibu sedang membeli sayur, dengan wajah penuh ekspresi. Ekspresi yang mudah ditebak bahwa mereka sedang membicarakan orang lain. Tukang bubur baru datang, mendorong gerobaknya siap untuk memuaskan perut-perut manusia dipagi hari yang suka berdebat saat makan, antara team bubur di aduk atau tidak. Padahal apa bedanya?

Apapun yang terjadi, pagi adalah awal kita untuk menjalani hari ini, jadi niatkan yang baik.
Aku segera turun ke bawah, untuk membuka pintu dan menyapu halaman depan toko. Di dalam toko semuanya sudah rapih, karena kemarin setelah toko tutup aku langsung meberesakannya, menyapu, mengepel, dan tentu saja Fajar membereskan dus-dus yang berantakan.

Aku membuka pintu roling dor, hanya sebagian. Biasanya toko akan buka jam tujuh pagi, jadi menunggu dulu Koh Hongli datang, baru dibuka sepenuhnya.

Aku menyapu halaman depan, plastik dan sampah berceceran, kemungkinan terbawa angin, saat malam hujan.
"Hei."
Aku mengangkat kepala melihat siapa yang memanggilku. Rupanya bapak-bapak pemilik rumah nasi padang yang  berada disamping toko.

"Kau menjemur baju diatas?" tanyanya menyelidikku, wajahnya sedikit masam. Aku rasa tidak ada yang salah dengan jemuranku, kenapa dia bertanya seperti itu?

"Iya kenapa Pak?"

"Apakah kau kemarin mengangkat kolor merah milikku?"

Hey, apa maksudnya?

Aku menggeleng "tidak ada Pak, jemuran punya saya dan bapak kan berbeda? Kenapa bapak tanya saya?"

"Hey apa kau tidak lihat hah," ucapnya sambil menunjuk lantai atas "jemuran kita dekatan bisa saja kau tidak sengaja mengambilnya, atau kolor milikku terbang kejemuran milikmu."

Hey ayolah, kenapa pagi ku harus membahas kolor. Menyebalkan ,sungguh tidak masuk akal. Meskipun baju yang kubawa tak banyak, tidak mungkin aku mengambil kolor merah bapak-bapak.

"Maaf Pak, tapi aku tidak mengambilnya. Ayolah bahkan lantai atas tempat menjemur pakain itu terpisah, walaupun terbang gara-gara angin bisa saja kolor bapak mungkin terbang ke arah lain. Aku juga tidak melihat kolor bapak di lantai atas toko ini."

"Ada apa ini?" Suara Koh Hongli menyela diantara percakapan kami.

"Kolorku hilang dari jemuran Hongli."

"Terus apa hubungannya dengan pegawaiku?"

"Hei, bisa saja dia tidak sengaja mengambil kolor milikku dari jemuran, makanya aku bertanya padanya."

Koh Hongli beralih mentapaku, menunggu jawabanku. Aku menggeleng dengan mantap.

"Dia tidak mengambilnya, dan aku yakin tidak ada orang yang berminat mengambil kolor milikmu. Jadi cari saja sana! jangan ganggu pegawaiku."

Bapak pemilik rumah nasi padang itu balik kanan, dengan wajah masam. Koh Hongli segera masuk kedalam toko. Aku melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.

Aku baru ingat, kenapa Fajar belum datang. Jangan sampai dia beralasan gara-gara jatuh kemarin tertimpa oleh ku saat jatuh dari rak.

"Bora, Fajar belum datang?"
Koh Hongli berdiri didaun pintu, menatap sekitar.

"Beluu-"

"Datang Koh." seru Fajar  dengan suara ngos-ngosan, wajah panik,ditambah keringat yang membanjiri tubuhnya.

Make Peace With The WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang