Reno's Side

810 61 1
                                    

Setelah berbicara dengan Bia, perempuan bernama Niken itu mendekatiku dan membungkuk ke arahku. Dia berbisik di telingaku. "Kamu mau foto Fabia saat SMP? Aku akan memberikannya padamu secara cuma-cuma. Semoga sukses, ya, kencannya." Dia menyelipkan sebuah kartu nama di tanganku.

Tawaran itu sangat menarik perhatianku. Rasa-rasanya aku seperti fans maniak Bia, yang tergila-gila akan segalanya yang berhubungan dengannya. Aku melirik wanita di depanku. Alisnya mengernyit dan tampak curiga.

"Dia menggodamu, ya?" tanya Bia dengan tatapan menyelidik.

"Mau tahu aja," kataku mengakhiri percakapan.

"Sepertinya kamu tertarik." Bia terus menyerangku.

"Jadi, bagaimana dengan Abi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Bia tertawa. "Aku bahkan sudah lupa dengan wajahnya. Dia nembak aku waktu upacara sekolah tapi kutolak. Setelah itu ya, beberapa orang nggak suka denganku."

"Tapi, dia masih nyariin kamu. Berarti kan dia masih punya perasaan padamu." Aku tidak suka membayangkan pertemuan Bia dengan cowok yang masih mengejar-ngejarnya. Aku sangat yakin, pesona Bia saat ini akan lebih memabukkan dari pada saat SMP dulu.

"Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkannya." Bia tampak santai menanggapinya. "Jadi, kita akan beli jam?"

Aku mengangguk. Pikiranku masih penuh dengan pertanyaan mengenai sosok Abi. Aku melirik kartu nama Niken. Kurasa aku akan bertanya langsung pada orang yang lebih tahu.

"Aku sudah selesai. Aku cuci tangan dulu, ya, No."

-o-o-o-

Beberapa saat lalu, aku sudah mengirim pesan pada Niken. Seperti janjinya, dia langsung mengirimkan foto-foto Bia saat SMP. Di antara begitu banyak siswa, aku bisa mengetahui sosok Bia di dalam foto kelulusan. Dia berdiri di barisan kanan dengan potongan rambut sebahu. Dia belum memakai kacamata seperti sekarang.

Foto lainnya, Bia mengenakan seragam olahraga. Di umurnya yang belia, sudah terlihat tubuh bagian atasnya cukup berbeda dari yang lain. Aku yakin beberapa anak laki-laki memperhatikannya dan membuatnya risih. Mungkin itu salah satu alasan Bia tidak menyukai mata pelajaran olahraga.

Lalu, beberapa foto menunjukkan momen seorang anak laki-laki memberi buket bunga besar pada Bia saat upacara bendera. Anak laki-laki itu bersikap seperti pangeran yang dapat kusimpulkan dialah sosok Abi yang membuatku penasaran.

Sebuah notifikasi muncul di ponselku. Bia mengirimkan foto nasi goreng dan beberapa lauk pauk. 'Aku habis masak ini dan kebanyakan. Kamu mau?'

Tentu saja. Masakan Bia memang sangat enak. Tapi, alasan utamaku adalah untuk bertemu dengan Bia.

"Lihat apaan, sih, serius banget!" seru Edi yang duduk di sampingku.

"Nih!" Aku menunjukkan foto nasi goreng yang sebelumnya dikirim oleh Bia pada Edi. "Aku mau makan gratis dulu."

"Makan gratis apaan? Pacaran kali! Sekampus juga tahu kalau kamu tuh suka sama Fabia." Edi tertawa. "Gebet aja lah! Bodo amat sama pacarnya. Kan belum jadi istrinya."

"Ya, nggak bisa dong, Bro. Kita harus bersaing secara sehat."

Edi mendengus. "Jaman gini bersaing secara sehat? Game aja sekarang bisa langsung pakai cheat, nggak perlu susah-susah naikin level."

Aku menepuk bahu Edi. "Memangnya kamu pernah lihat aku main game pake cheat? Nggak kan?" Aku beranjak dari dudukku. "Aku pergi dulu, ya!"

Aku berjalan ke arah tempat motorku terparkir. Kupacu motorku dengan kecepatan sedang. Jarak kos Edi dengan rumah kontrakan Bia cukup dekat. Hanya perlu sekitar sepuluh menit dan kini aku sudah berdiri di depan pintu kontrakan Bia.

FlirtationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang