Reno's Side

1K 78 1
                                    

"Menang!" seruku saat seorang pembalap tiba pertama kali di garis finish. "Ya, ampun. Seru banget kan, Bi?" Aku menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingku.

Bia tertidur sambil memeluk sebuah bantal. Kerah dasternya turun, memperlihatkan tali bra berwarna hitam. Garis lehernya terlihat sangat cantik dengan kulitnya yang berwarna putih. Bagian bawah dasternya pun tersingkap, memperlihatkan paha indah Bia.

Aku hanya menghela napas. Kuangkat kerah daster dan menurunkan bagian daster Bia yang tersingkap. "Aku juga cowok, Bi. Gimana kalau aku gelap mata?" gumamku sendiri.

Kuambil bantal yang dipeluk Bia dan menggendong Bia ke kamarnya. Kunyalakan pendingin ruangan dan menutupi tubuh Bia dengan selimut.

Aku duduk di tepi kasur dan memandang wajah gadis itu. "Apa sikapmu pada Vino sama seperti saat bersamaku? Kuharap kamu tetap bisa menjaga diri walapun bersama Vino."

Sejujurnya, ketakutan terbesarku bukan terhadap Vino atau pria lain, tapi pada diriku sendiri. Aku tahu Bia tidak mungkin tertidur begitu saja bahkan saat sedang bersama Vino. Aku juga tahu, apapun yang terjadi dengan dia dan Vino, dia akan selalu menceritakannya secara rinci. Karena itu, aku tidak pernah keberatan jika Bia memintaku mendengarkan curahan hatinya.

Cemburu? Tentu saja. Tapi, aku masih bisa menahannya selama Vino tidak melakukan hal yang lebih intim dari sekedar bergandengan tangan.

Aku hanya takut, jika aku yang akan menyakiti Bia. Di saat seperti ini, aku mungkin saja berbuat seperti pria kebanyakan di luar sana. Tentu saja aku bisa memilikinya, membuatnya hanya untuk diriku sendiri. Tapi, untuk apa jika hal itu membuatnya sedih. Itu bukan cinta.

Kulirik jam tanganku. Sudah sangat sore dan aku harus pulang. Kutinggalkan sebuah catatan di meja kecil di sisi ranjang Bia dan bersiap pulang.

Tidak sampai seratus meter dari rumah Bia, aku melihat begitu banyak orang berkumpul di belakang garis polisi. Aku berhenti dan bertanya kepada salah satu orang warga. "Ada kejadian apa, Pak?"

"Tadi malam ada perampokan, Mas. Satu keluarga dibunuh semua. Baru ketahuan pas tadi ada mertua si suami datang," kata salah satu warga. "Masnya tinggal di dekat sini? Tadi polisi suruh hati-hati, karena perampoknya belum ketangkep."

Aku hanya mengangguk. "Terima kasih informasinya, Pak." Aku memutar arah sepeda motor kembali ke rumah Bia. Aku tidak mungkin meninggalkan gadis itu dengan situasi seperti ini.

Setelah memarkir sepeda motor di garasi, serta mengunci pagar, aku menelepon Rama, teman satu kontrakanku. "Ma, aku malam ini tidur di luar, jadi nggak usah ditungguin."

"Di luar mana? Jangan-jangan di rumah Fabia, ya! Cie, cie. Berani juga." Rama meledekku.

"Sok tahu banget. Besok kuceritain." Aku menutup telepon.

Aku mengeluarkan kunci cadangan rumah Bia yang kuambil dari bawah pot bunga tepat di sisi rak sepatu. Kunci cadangan itu biasa digunakan Bia jika dia lupa meletakkan kunci aslinya. Tentu saja aku pun sering menggunakannya jika ada urusan mendadak seperti ini.

Setelah mengunci pintu kembali, kupastikan semua jendela dan pintu di rumah Bia sudah terkunci rapat. Aku pun mengambil bantal dan selimut dari lemari besar di ruang tengah, lalu mengatur tempat tidurku untuk malam ini di sofa panjang di depan televisi.

Jam menunjukkan pukul sepuluh ketika aku memutuskan untuk mematikan televisi dan berencana untuk tidur. Kumatikan semua lampu yang tidak terpakai. Kemudian, aku berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih.

Aku berbalik dan menemukan Bia sedang memegang sapu dengan tangan gemetar di pintu dapur. Gadis itu tiba-tiba terduduk lemas. Dia menangis tersedu-sedu.

"Kenapa, Bi?" tanyaku khawatir. "Kenapa kamu bawa sapu malam-malam?"

"Kukira kamu udah pulang. Kukira kamu rampok," katanya di tengah tangisnya yang terisak-isak. "Kukira aku bakalan diperkosa terus mati." Tangis Bia semakin menjadi.

Aku memeluknya. "Maaf, maaf. Aku lupa tadi sudah nulis catatan ke kamu. Aku khawatir kamu di rumah sendiri, jadi aku balik lagi ke sini." Aku mengelus rambutnya. "Maaf, ya. Kamu nggak bakalan kenapa-kenapa, kok."

Bia masih terisak. Tubuhnya masih sedikit gemetar dan kulitnya terasa dingin.

"Nggak ada apa-apa, Bi." Kulepas pelukanku dan menatap wajahnya. Kusentuh lembut pipi Bia dan menyeka air matanya yang mengalir. "Aku akan selalu melindungimu."

Gadis di depanku hanya mengangguk. Dia masih terdiam dan tampak mencoba mengatur napas. Diteguknya segelas air putih yang kuberikan padanya dengan cepat.

"Ayo, temani aku nonton TV." Aku membimbing Bia untuk duduk di sofa. Aku menyalakan televisi dan mengubah salurannya, menampilkan sebuah film barat. "Sini sambil tiduran." Aku meletakkan kepala Bia di pahaku. Gadis itu hanya diam dan menurut.

"No," panggil Bia. "Jangan tinggalin aku sendiri, ya."

Aku memberanikan diri untuk menyentuh rambut Bia. "Iya." Aku mengusap lembut rambut Bia sambil menatap kosong ke layar televisi.

Entah kenapa jantungku berdegup dengan cepat. Gadis itu selalu melakukan hal ini padaku, memberikanku harapan yang terlalu tinggi. Rasanya semakin lama bersama Bia, semakin aku terseret ke dalam perasaanku. Bisakah aku benar-benar memilikimu?

"I love you." Suara pria di dalam film mengejutkanku. Sebuah adegan romantis mengalihkanku dari pikiranku. Pria itu mencium bibir lawan mainnya dengan agresif. Si wanita tampak menikmatinya dan membimbing si pria untuk bertindak lebih jauh.

Aku mengalihkan pandangan ke arah Bia. Film itu tampaknya agak kurang pantas untuk kami tonton berdua. Tapi, tak ada reaksi dari gadis itu. Tampaknya Bia melanjutkan tidurnya yang belum rampung. Aku pun menghela napas lega.

Tatapanku kembali ke layar televisi. Film itu menampilkan adegan dewasa. Cepat-cepat aku mengganti saluran televisi. Aku tidak ingin tubuhku bereaksi di saat seperti ini.

Berita malam mengabarkan kondisi politik negara saat ini. Beberapa peristiwa bencana alam yang terjadi di beberapa tempat pun tak lupa dikabarkan oleh pembawa berita. Mataku sudah terasa sangat berat saat pembawa berita meingformasikan tentang kriminalitas. Aku menyandarkan diri, mencoba memejamkan mata untuk beberapa menit.

-o-o-o-

Sinar matahari yang baru saja terbit, menerobos masuk melewati kaca jendela yang telah terbuka. Aku membuka mata, terganggu dengan sinar tersebut. Posisi tidurku sudah berubah sejak terakhir kali aku memejamkan mata. Sebuah selimut berwarna abu pun sudah menutupi tubuhku. Tampaknya aku tertidur cukup lama.

Mataku teralihkan ke arah sosok seorang wanita berpakaian ketat di depan televisi. Wanita itu sedang melakukan gerakan yoga yang aku ketahui merupakan back pain pose. Tentu saja gerakan ini membuatku salah fokus ke arah bagian dada wanita itu.

"Sejak kapan latihan yoga?" Aku bangkit dan memosisikan diri untuk duduk.

"Sudah bangun?" Wanita itu tampak sedikit terkejut. "Kan aku sudah pernah bilang kalau aku olahraga setiap pagi. Mau ikut?"

Aku menggeleng. "Aku lebih suka lari."

"Lari dari kenyataan, ya?" Bia tertawa kecil. "Aku pernah coba lari. Dilihatin banyak orang. Aku nggak suka. Risih banget."

Tapi kamu nggak risih olahraga di depanku?

Lagi-lagi, mataku teralihkan ke arah bagian dada Bia. Tampaknya dia hanya mengenakan sport bra tipis, karena aku bisa melihat bentuk samar puting payudaranya. Aku juga nggak akan suka kamu dilihatin banyak orang, apalagi dengan berpakaian ketat seperti itu.

"Sepertinya aku harus mendinginkan kepalaku," gumamku.

"Mau mandi?" tanya Bia.

"Nggak. Aku harus pulang." Aku melihat jam tanganku. "Aku baru ingat Agah mau ke kontrakanku. Nanti aku jemput kamu di kampus, ya."

FlirtationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang