Reno's Side

4.7K 153 5
                                    

Kami baru saja membicarakan kekonyolan Edi di kantin kampus tadi pagi saat sosok Bia muncul dari kejauhan.  Wanita itu sedang berjalan sendirian sambil berbicara dengan seseorang dari telepon genggamnya.  Kemudian dia nampak tersenyum lebar sebelum mengakhiri panggilan itu.

Pasti telepon dari Vino.

Terdengar Bia memanggilku.  Cukup nyaring hingga membuat semua orang di koridor kampus menoleh ke arahnya.  Dia berlari-lari kecil tanpa menyadari giliran payudaranya lah yang menjadi pusat perhatian sekarang.  Kaos dan celana longgar yang dipakainya sama sekali tidak bisa menyembunyikan kemolekan tubuh wanita itu.

Bia menyapa Edi dan Agah yang masih salah fokus.  Mereka hanya tersenyum dan melengos--berpura-pura asyik dengan kegiatan mengobrol mereka sebelumnya.

"Hari ini kelasmu sudah habis ya?" Bia membetulkan letak kacamatanya.  "Mau nolongin aku nggak?"  Kemudian dia ragu-ragu.  "Sebaiknya aku tunggu Lia saja."

"Memangnya mau minta tolong apa?"

Tiba-tiba wajah Bia memerah.  "Tidak, ah.  Aku akan mengajak orang lain saja." Dia mulai melangkah pergi.

Tanganku menggapai lengan Bia.  "Kenapa jadi penuh rahasia begitu?"  Aku menoleh ke arah dua laki-laki di sampingku.  "Aku pergi dulu.  Jangan lupa besok bawakan game yang aku minta." Aku menarik Bia berjalan di sampingku.

"Aku tunggu Lia saja, deh, No!" Bia berusaha melepaskan tanganku dari lengannya.  "No..." rengeknya.

"Mau nunggu Lia sampai kapan? Dia kan baru pulang bulan depan."  Lia adalah satu-satunya sahabat perempuan Bia.  Satu-satunya orang yang mengetahui bahwa aku jatuh hati pada wanita di sampingku.  "Ayo bilang mau apa?"

"Aku bisa sendiri."  Kembali dia mengeluarkan rengekannya ketika putus asa mencoba bebas dari tanganku.

Kulepaskan tanganku dari Bia dan merangkul pinggangnya.  Aku merasa dia lebih kurus dari biasanya.  Matanya pun sering kali dihiasi kantung hitam di bawahnya.  Walaupun begitu, dia tetap terlihat cantik hanya dengan pemulas bibir berwarna nude dan rambut lurusnya yang terurai indah.

"Coba bilang mau minta tolong apa.  Jangan setengah-setengah gitu ngomongnya."

"Itu loh, No.  Keran airku rusak.  Habis itu lampu di kamar mandi juga mati.  Tapi aku ingat kata Lia kamu nggak boleh masuk kalau dia nggak ada di rumah," katanya saat kami tiba di parkiran kampus.

Kupasangkan helm pada Bia.  Lalu, kucubit kedua pipinya dengan lembut.  "Memangnya aku mau ngapain kamu sih, Fabia? Bilangin sama emakmu tuh jangan terlalu over protektif.  Ayo, naik!"

Bia menurut dan duduk di jok belakang motorku.  "Habisnya dia kelihatan serius banget gitu pas ngomong," gumamnya.

-o-o-o-

Motorku berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan sebuah ayunan kayu di halamannya.  Tidak banyak orang yang berlalu lalang di dalam komplek ketika siang seperti ini, hanya seorang pria berjarak satu rumah tampak sedang mencuci mobil.

Bia turun dari motorku dan membuka pagar rumah, mempersilahkanku masuk.

Sudah cukup sering aku bertamu ke rumah kontrakkan Bia dan Lia.  Namun sejak Lia harus magang untuk keperluan skripsinya dua bulan yang lalu, aku tidak berani untuk mampir walaupun di siang hari seperti ini.

Entah apa yang kupikirkan ketika membujuk Bia bahwa tidak akan terjadi sesuatu padanya walaupun tanpa kehadiran Lia.  Aku harus bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk.  Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang membuatku lepas kendali.  Tapi, aku mengakui di sudut hatiku, aku menginginkan Bia untukku sendiri.

"Reno," suara Bia memecah lamunanku.  "Mau kan makan siang di sini? Aku akan memasakkan sesuatu."

Aku tersenyum dan mengangguk padanya.
"Apa kamu sudah beli bohlam lampunya?" Aku mengikuti Bia masuk ke dalam rumahnya.

"Di atas meja di ruang tengah.  Aku ganti baju dulu, ya, No?"  Bia melenggang masuk ke sebuah ruangan di dekat ruang tengah.

Kuletakkan tasku di sofa ruang tengah dan mengambil lampu baru di atas meja.  Tangga dan kotak perkakas masih di tempat yang sama sejak terakhir kali aku membetulkan plapon beberapa bulan yang lalu.  Tampaknya para wanita di sini takut dengan ketinggian.

Aku mengetuk pelan kamar Bia.

"Sebentar," teriaknya dari dalam.  Tak berapa lama dia membuka pintu kamarnya.

Harum semerbak keluar dari arah dalam ruang kamar Bia.  Green tea, pikirku.  Kaos oblong dan celana longgar sudah berganti dengan daster pendek bergambar mickey mouse.  Rambutnya kini diikat kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih.  Leher daster yang berpotongan rendah membuatku harus menelan ludah beberapa kali untuk menyembunyikan kegugupanku.

"Kamar mandimu kan yang lampunya mati? Kerannya juga rusak kan?"  Aku memalingkan wajah dan langsung menerobos masuk kamar mandi Bia.

"Iya," jawab Bia di ambang pintu kamarnya.  "Aku akan masak makan siang dulu." Bia sama sekali tidak menunggu jawabanku dan melenggang pergi.

Aku menyiapkan tangga dan mengganti lampu dengan mudah.  Cahaya yang awalnya remang-remang menjadi jelas saat kunyalakan lampu baru.  Walaupun berkali-kali aku ke rumah ini, aku sama sekali tidak pernah melihat kamar apalagi kamar mandi Bia.  Kamar mandi itu bersih dan hanya aroma Bia yang menyelimuti udara.  Peralatan mandinya tertata rapi di dekat wastafel.  Tampak air terus keluar dari kerannya tanpa berhenti.

Cukup lama aku memperbaiki keran air hingga terdengar suara Bia memanggilku.  Aku cukup terkejut karena dia sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi.  "Bisa?" tanyanya, memperhatikan tanganku yang mengutak atik keran air.

"Sebentar lagi selesai.  Ada apa?"

"Makan siang sudah siap.  Mau makan dulu?"

Aku melirik jam tanganku.  Sudah cukup lama aku memperbaiki keran air rupanya.  "Aku akan menyelesaikan ini.  Setelah itu kita makan."

"Ok."

Bia berjongkok, membereskan peralatan-peralatan tukang yang berhamburan di lantai.  Kulihat dasternya sedikit tersingkap dan memperlihatkan paha putihnya lebih banyak.  Dari sini pun aku bisa melihat sedikit belahan dadanya.  Cahaya lampu baru yang kupasang begitu terang hingga mataku bisa menelanjanginya begitu mudah.  Bahkan aku bisa melihat jelas cetakan gundukan di dada Bia yang dibalut dengan bra berwarna hitam di balik dasternya.

"Kamu makan aja duluan.  Sisanya akan aku bereskan dan menyusul," kataku dengan akal sehat yang mulai menguasai pikiranku.

"Ya sudah, deh... Aku tunggu di ruang makan, ya, No." Bia bangkit dan meninggalkanku kembali sendirian.

Aku menghela napas berat.  Aku mengutuk diriku sendiri karena memikirkan hal-hal vulgar di dekat Bia.  Kenapa juga dia harus pakai daster putih itu? Aku merinding saat membayangkan seisi kampus mengetahui sosok Bia yang satu ini.  Semua lelaki pasti akan menelanjanginya dengan mata mereka seperti yang barusan kulakukan.  Saat ini lah aku benar-benar bersyukur Bia bukan tipe wanita yang suka berbaju ketat seperti wanita lainnya.

Aku membereskan sisa pekerjaanku, serta mengembalikan tangga dan perkakas ke tempat semula.  Kucuci tanganku dan berjalan ke ruang makan.

Bia sudah duduk manis di depan meja makan menungguku.  Dia sudah menyiapkan nasi cukup banyak di piringku, segelas air putih, dan segelas jus jeruk.  Makanan di hadapanku tampak sangat sehat dan dengan cepat mengundang selera makanku.  Sudah cukup lama aku tidak melihat makanan sebanyak ini sejak terakhir kali aku pulang ke rumah.  Walaupun aku tidak kekurangan makanan, sebagai anak kos, aku hanya bisa makan makanan ala warteg dan junk food.

"Sebenarnya, beberapa makanan ini sudah kumasak sejak pagi.  Aku terbiasa memasak agak banyak karena Lia biasanya doyan makan.  Jadi, kusimpan di kulkas untuk kumakan lagi siang ini.  Kalau kamu nggak mau, ambil aja yang baru kubikin."  Bia menunjuk ke arah ayam goreng bacem, sayur bening, dan oseng tahu tempe.

Di sisi lainnya, yang kemungkinan adalah sarapan Bia tadi pagi juga tetap membuatku menelan ludah.  Salad sayur, kentang tumbuk, dan sandwich isi daging asap.  "Aku akan menghabiskan semuanya," kataku yakin.

Bia tertawa kecil.  "Iya.  Aku yakin perutmu cukup besar untuk menampung semuanya."

FlirtationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang