Bia's Side

1K 72 1
                                    

Reno mencuci semua peralatan makan.  Aku berdiri di sampingnya, membantu mengeringkan piring dan gelas yang telah dicuci Reno.  Kami tidak saling berbicara untuk beberapa saat.  Hanya dentingan-dentingan kaca yang mengisi kesunyian di antara kami.

Semua makanan yang kuhidangkan benar-benar dimakan Reno hingga habis.  Kupikir dia hanya bercanda agar membuatku merasa senang.  Bahkan salad dingin sisa sarapanku pun dihabiskannya tanpa banyak komentar.  Aku benar-benar senang saat seseorang menyukai masakanku.  Rasanya sudah sangat kenyang ketika aku melihat wajah Reno yang tampak sangat menikmati makanan-makanan itu.

"Bia," panggil Reno setelah menyelesaikan mencuci gelas terakhir.  Dia menatapku.  "Terima kasih untuk makan siangnya. Ada lagi yang perlu kubantu?"

Aku menggeleng pelan sambil mengingat-ngingat apakah aku benar-benar tidak memerlukan bantuan lagi. "Udah mau pulang?"

Reno mengeringkan tangannya dengan sebuah kain serbet di dekat wastafel. "Apa kamu nggak bosan lihat aku tiap hari? Masa sih takut sendirian siang-siang bolong begini?"

Aku bisa merasakan dahiku refleks berkerut. Aku sama sekali tidak bisa menutupi rasa sebalku begitu saja. "Nggak jadi, ah. Pulang sana." Aku berjalan meninggalkan Reno ke arah ruang tengah.

"Gitu aja ngambek." Reno terkekeh. "Jelek tau."

"Memang jelek kok! Udah pulang sana."

"Nggak, nggak." Reno duduk di sofa di ruang tengah. Dia segera menyalakan TV flat besar dengan remote yang ditemukannya di atas meja di hadapannya. "Aku nggak akan pulang selama aku belum tau siapa pemenangnya." Sebuah channel TV menampilkan beberapa motor besar sedang saling balap satu sama lain. "Ayo, sini." Tangan Reno menepuk-nepuk sisi sofa di sampingnya.

Aku mengedikkan bahu. "Nggak mau."

Reno bangkit dan menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. Dia kemudian dengan seenaknya meletakkan kepala di pahaku dengan posisi berbaring.

"Aku jadi ngantuk."

Sejenak aku menatap terpaku wajah Reno yang sedang fokus pada televisi. Wajahnya selalu menarik perhatianku apalagi dengan jarak sedekat ini. Hal ini terkadang membuat pikiranku menjadi sangat kacau tiba-tiba dan sesaat menjadi kosong.

"Besok mau menemaniku?" tanya Reno hampir membuatku terlonjak. Dia memutar kepalanya dan kini wajahnya menghadap ke atas.

"Kemana?"

"Minggu depan adikku ulang tahun. Aku nggak bisa pulang ke rumah saat itu. Jadi, aku mau cari sesuatu hadiah buat dia. Karena aku nggak begitu paham dengan selera cewek, aku minta tolong kamu bantuin aku. Aku traktir makan deh."

Aku mengingat jadwalku besok. Hanya ada kuliah pagi dan tidak ada sesuatu yang harus kukerjakan lagi di siang hari. "Oke. Jam berapa?"

"Aku besok sih ga ada kuliah. Tapi kamu ada kan? Besok kujemput di kampus aja sekalian. Nanti aku kabarin kalau aku udah sampai di kampus."

Kuanggukkan kepalaku pelan sembari berpikir baju apa yang akan kukenakan besok.

"Mikirin apa?" tanya Reno.

"Cuma bingung besok mau pakai baju apa."

"Seperti biasa juga nggak apa-apa. Memangnya mau ngecengin siapa sih mikirin pakai baju apa?"

Ya, ngecengin kamu lah! Memangnya aku tidak boleh tampil cantik di depanmu? Aku nggak mau membuatmu malu jalan bersamaku nanti.

Aku hanya memanyunkan bibirku. Sama sekali tidak ingin mengatakan hal yang terlintas dalam pikiranku. Hubungan ini lebih rumit dari kelihatannya. Tidak seperti kepada Vino, aku tidak bisa mengungkapkan apapun yang akan membuat Reno berpikir dua kali tentang pertemanan kami.

"Kamu pakai apapun cantik kok," kata Reno seperti mengetahui isi pikiranku.

Jantungku rasanya seperti hampir copot karena terkejut. "Apaan sih? Gombal banget." Aku mulai panik dan menjadi salah tingkah seketika. "Sana, sana. Aku mau ke kamar mandi. Berat tau!" Aku mengusir kepala Reno dari pahaku, lalu segera berdiri dan berjalan ke kamar mandi.

Pintu kamar mandi cepat-cepat kukunci. Aku langsung berdiri di hadapan cermin dan menatap wajahku sendiri dengan panik. Wajahku sangat merah dan panas karena malu. Kutepuk-tepuk wajahku dengan air dingin.

"Rasanya kayak mau mati." Aku mengingat-ingat ucapan Reno tadi. "Mengingatnya saja sudah bikin salah tingkah." Aku mendengus. "Kenapa juga aku harus ge-er digombalin begitu?"

Aku kembali menepuk-nepuk wajah dengan lebih keras.

"Sadar, Bia. Nggak mungkin Reno suka sama kamu. Kamu tuh sudah punya pacar buat apa mengharapkan orang lain?" Kembali aku menatap diriku sendiri di pantulan cermin. "Sadarkan dirimu." Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, sedikit membantuku menjadi lebih tenang.

Aku berjalan keluar kamar mandi dan kembali duduk di samping Reno. Reno tampak serius menatap layar televisi. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali.

"Tegang banget nonton orang balapan," kataku mencoba menarik perhatian Reno.

"Lagi seru banget, nih! Tadi sudah ada 2 orang yang jatuh karena saling salip."

Aku melirik Reno. "No," panggilku. "Aku dengar katanya kamu lagi dekat sama adik tingkat. Kenapa nggak pernah cerita?"

Reno mengalihkan pandangannya ke arahku. "Adik tingkat?" Dia tampak berpikir. "Beberapa hari yang lalu ada yang minta tolong buat bantuin ngerjain tugas. Tapi itu kemarin kerja kelompok, jadi ada 4 orang. Kami janjian ketemuan di perpustakaan kota, terus setelah itu makan. Mungkin ada yang lihat aku di situ dan dikira sedang PDKT." Kemudian, mata Reno kembali menatap layar televisi. "Memangnya siapa yang bilang begitu?"

"Si Nadya, katanya lihat kamu jalan sama adik tingkat gitu." Aku ragu. Aku merasa seperti seorang pacar yang sedang cemburu. Padahal bukan hakku untuk mencampuri urusan asmara Reno.

Dia nggak pernah bertanya tentang Vino ataupun kehidupan asmaraku, jadi kenapa aku tanya-tanya beginian ke dia?

Sesekali terbersit harapan Reno akan menunjukkan rasa cemburu jika aku membahas tentang kehidupan asmaraku. Tapi, setiap aku mencurahkan hatiku, dia tetap bersikap santai dan bahkan memberikan saran yang bijaksana. Anehnya, sekarang aku yang merasa cemburu dengan hal kecil seperti ini.

Rasanya sangat bodoh ketika kita menyukai sahabat sendiri. Dia tidak merasakan apa-apa, tapi jantung kita yang berdebar. Entah kenapa seperti alur cerita opera sabun di televisi. Ingin mengungkapkan perasaan pun, aku masih sangat egois untuk melepaskan hubungan persahabatan ini. Sebaiknya, aku harus fokus kepada Vino atau aku akan menyakiti diriku sendiri dengan perasaan ini.

Reno berseru saat dua orang pembalap saling salip. Aku hanya menatapnya dan tersenyum melihat sikapnya. Kuambil bantal sofa dan bersandar.

Tidak apa-apa walaupun hanya seperti ini. Kuharap aku tetap bisa menjaga persahabatan ini. Sudah cukup bagiku melihatnya bahagia.

FlirtationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang