Aku tersenyum pada seorang wanita paruh baya. Wanita itu menggunakan setelan kebaya berwarna biru tua, berdiri bersisian dengan seorang pria yang kutahu adalah suaminya. Dia tampak sangat senang saat melihatku di antara barisan orang yang sedang antri untuk bersalaman dan mengucapkan selamat.
"Reno!" seru Tante Winda. Dia memelukku. "Ya ampun, kamu tambah ganteng aja! Sayang banget Putri nggak sama kamu." Dia tampak kecewa.
"Tante juga tambah cantik." Aku mencoba menghiburnya.
"Kamu bisa aja." Dia kembali tertawa lebar.
"Selamat, ya, Om, Tante. Ini kado dari Mama Papa. Maaf mereka nggak bisa ke sini karena urusan pekerjaan." Aku menyerahkan sebuah tas kertas pada Tante Winda.
Om Bayu menepuk bahuku. "Nggak apa-apa. Kami tahu mereka sibuk. Terima kasih sudah datang, ya."
Aku mengangguk. "Sama-sama."
"Makan dulu sebelum pulang. Nanti kapan-kapan main ke rumah, ya?"
"Iya Tante." Aku bersalaman dengan mereka berdua, lalu kembali berjalan menuju dua sejoli pemilik acara. "Selamat ya, Put." Kali ini aku bersalaman dengan Putri, si mempelai wanita dan juga suaminya.
"Terima kasih." Putri menunjukkan senyumnya.
Lalu, aku kembali berjalan ke arah orang tua mempelai pria, bersalaman dengan mereka, dan turun dari panggung. Aku menghela napas panjang. Tugas yang diberikan kedua orangtuaku sudah selesai kulaksanakan. Sejujurnya, tidak terlalu nyaman datang ke acara resepsi pernikahan sendirian. Tapi, aku hanya ingin menghargai teman kedua orangtuaku.
Sekilas, aku menemukan sosok yang tidak asing di area balkon. Seorang wanita dengan gaun yang cukup terbuka sedang berbincang dengan seorang pria. Aku berjalan mendekat, memastikan wanita itu adalah seseorang yang kupikirkan.
"Bia?" Aku menggapai tangan wanita itu.
Wanita itu berpaling dan tampak terkejut dengan kehadiranku. "Reno?"
Kupandangi wanita itu. Penampilannya sungguh jauh berbeda. Kata cantik saja tidak bisa menggambarkan sosoknya saat ini. Dia benar-benar luar biasa menawan. Balutan gaun yang dipakainya membuatnya tampak anggun sekaligus seksi dengan bagian punggung yang terbuka.
"Sedang apa kamu di sini?" Bia menyadarkanku dengan pertanyaannya.
"Mereka mengundangku," jawabku sekenanya. Tiba-tiba saja pikiranku menjadi tidak fokus setelah mata dan pikiranku mulai menelanjangi tubuh Bia. Aku melepas jas kasual yang kukenakan dan menutup punggung Bia. "Bajumu terlalu terbuka." Aku yakin tidak hanya aku yang mulai berpikiran mesum saat melihatnya.
"Terima kasih." Bia menarik jas itu dan mengenakannya di bahu.
"Bukankah kamu bilang jalan dengan Niken?" tanyaku. Aku tahu aku sekarang terdengar sangat over protektif.
"Dia di sana." Bia menunjuk seorang wanita di ujung ruangan yang sedang berbicara dengan seorang pria.
Setelah mengonfirmasi keberadaan Niken, pandanganku kualihkan ke sosok pria di samping Bia. Dia sedang menatap Bia dengan tatapan yang sering kulakukan, tatapan penuh sayang. Lalu, dia menatapku. Tatapan itu berubah. Dia tersenyum, tapi tidak dengan arti tatapan itu kepadaku.
"Aku Abi." Pria itu memperkenalkan dirinya.
"Aku Reno." Aku menjabat tangannya. Aku tahu ada persaingan di antara kami. Tidak kuduga Bia akan bertemu Abi secepat ini. Pasti ada campur tangan Niken di sini.
Kulirik Bia, dia tampaknya merasakan suasana canggung di sekitarnya. "Senang bertemu kembali denganmu. Sebaiknya aku kembali ke Niken. Kami berdua belum menyapa Putri." Dia tersenyum ke arah Abi.
"Tunggu sebentar." Abi menahan lengan Bia sebelum dia bisa melangkahkan kakinya. Dia merogoh sesuatu dari balik jasnya dan memberikan sebuah dasi biru. "Aku ingin mengembalikannya padamu. Kamu meminjamkannya padaku."
Bia menerima dasi itu. "Aku bahkan tidak ingat pernah meminjamkannya padamu."
Abi hanya tersenyum. "Kurasa sejak saat itu, mata dan hatiku hanya bisa melihatmu."
"Lepaskan." Aku yang sedari tadi hanya diam, akhirnya menjadi tidak sabar. Melihat Abi menyentuh Bia saja sudah membuatku panas, apalagi ditambah dengan pernyataan cinta tersirat yang tiba-tiba. Dengan kasar aku melepaskan tangan Abi di lengan Bia.
"Apa kamu pacar Fabia? Sepertinya bukan. Kalau kamu pacarnya, tidak mungkin dia datang bersama Niken." Abi menatapku seperti menantangku.
"Bukan urusanmu seperti apa hubunganku dengan Bia."
"Hei, kalian berdua kenapa?" Bia tampak kebingungan di situasi ini.
Abi mengabaikan Bia dan tertawa sinis padaku. "Kamu sama sekali nggak punya hak atas Fabia. Kamu bukan siapa-siapa."
"Bi, No, sudah! Dilihatin banyak orang." Bia mencoba menengahi kami.
"Pernyataan cintamu yang kekanak-kanakan itu nggak bakal ngaruh. Perasaanmu itu nggak ada apa-apanya." Aku semakin memanas.
"Walaupun kamu sering bertemu dengan Fabia, kamu tetap bukan pacarnya. Ngapain sok pahlawan seakan hati Fabia milikmu? Bodoh sekali."
Refleks, tanganku menarik kerah baju yang dikenakan Abi. "Jangan ikut campur kalau nggak tahu apa-apa. Bia milikku. Sebanyak apapun pernyataan cintamu padanya, dia akan tetap menjadi milikku. Camkan itu!" Aku mendorongnya, membuat orang di sekitar kami menjadi riuh karena Abi kubuat jatuh ke lantai.
Aku menarik tangan Bia dan menjauhi kerumunan. Aku membawanya ke area parkir.
"No, sakit." Bia beberapa kali mencoba melepaskan tangannya.
"Kamu bilang jalan dengan Niken," protesku dengan amarah yang masih memuncak. "Terus ngapain kamu sama cowok itu?"
"Aku memang bareng sama Niken. Kami satu SMP dengan Putri, nggak mungkin lah nggak ketemu Abi."
"Aku nggak suka sama dia. Harusnya kamu bilang kalau kemungkinan bakalan ketemu dia." Pikiranku kacau. Aku sangat marah. Tidak pernah terpikirkan aku akan bersikap seperti ini di depan Bia. Sikapku seperti anak kecil yang merengek pada ibunya.
Bia menatapku. "Aku berencana hanya bertegur sapa dengannya. Itu saja. Kenapa kamu semarah ini?"
"Aku tuh suka sama kamu!" Suaraku sangat nyaring hingga membuat orang di sekitar area parkir mengalihkan pandangannya ke arah kami. "Bagaimana bisa aku nggak marah lihat kamu sedekat itu dengan pria lain?"
Akhirnya aku mengungkapkan perasaanku. Emosiku yang terkumpul di dalam diriku, kulampiaskan begitu saja pada gadis di depanku. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana akhir hubungan kami ke depannya dengan pernyataan cinta ini. Kali ini aku cukup gegabah.
Bia terdiam dan tampak terkejut. Dia hanya mematung di tempat, menatapku.
"Aku sudah berulang kali memutar skenario di otakku, memikirkan apa yang harus kulakukan jika Abi dan kamu bertemu. Membayangkannya saja sudah membuatku sangat marah."
"Kamu kira aku akan bersamanya setelah kami bertemu?" tanya Bia. "Kamu pikir aku segampang itu? Dari dulu aku tidak pernah punya perasaan apapun padanya." Matanya tampak berkaca-kaca. Sangat terlihat dia mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Emosiku yang sempat meledak-ledak, menyusut seketika. "Bukan itu maksudku." Kuturunkan nada bicaraku.
"Kamu bahkan nggak tahu perasaanku." Suaranya bergetar. "Selama ini cuma kamu. Bahkan saat dengan Vino, di pikiranku cuma kamu."
Apa? Ya Tuhan, apa ini mimpi?
"Kamu juga menyukaiku?" tanyaku tidak percaya.
Bia mengangguk.
"Maafkan aku." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Bia. "Aku pikir sama sekali tidak ada kesempatan untukku. Aku tidak bermaksud membentakmu." Dengan hati-hati kupeluk Bia. Dia sama sekali tidak menolaknya.
Benarkah ini benar-benar terjadi?

KAMU SEDANG MEMBACA
Flirtationship
RomanceFlirtationship, dalam Bahasa Indonesia biasa disebut dengan TTM (Teman Tapi Mesra). Hubungan dimana dua orang lebih dari sahabat namun tidak berstatus "relationship".