"Besok?" Gumam Dika kepada smartphonenya yang tergeletak dengan speaker aktif, tangannya masih sibuk mengenakan seragam didalam kamar.
"Iya" jawab gadis lawan bicaranya.
"Tapi.. besok aku ada ekskul basket ra"
"Ohh, ga bisa ya, oke" suara antusiasnya terdengar menurun dan kecewa.
"Hmm gimana kalo abis aku ekskul aja?" Katanya berusaha mencari cara lain.
"Gapapa, lain kali aja"
"Maaf ya, lain kali pasti bisa" kata Dika dengan perasaan yang campur aduk.
Gadis itu hanya bergumam tanpa menjawabnya dengan kata kata.
Tangan Dika berhenti kemudian memikirkan sesuatu, mengenai apa yang harus dilakukannya.
"Hari Minggu aku traktir kebioskop aja gimana? Buat ganti besok?" Hiburnya, namun kata kata itu tampaknya kurang efektif membuatnya menjadi bersemangat kembali.
Hal seperti ini, berkat tragedi itu membuat mereka terpisah, Dika yang menomor satukan sekolah dan ekskulnya membuat jarak antara mereka semakin renggang dan ambigu.
Pagi itu benar benar bukan pagi yang sempurna bagi Dika, dia menarik napas dan pergi untuk sarapan dengan orang tuanya.
"Gimana sekolah kamu?" Ayahnya bertanya saat mulutnya masih penuh dengan makanan yang baru disuapnya.
"Ya, begitulah" Dika, rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah teman temannya disekolah, namun untuk anak seorang pengacara kota tidak membuatnya menuntut kehidupan yang lebih baik.
Hidupnya sempurna, sang ibu dan ayah yang berjuang demi kehidupan mereka, tumbuh dikeluarga yang harmonis memberinya alasan dia selalu tersenyum disegala kondisi.
"Yura apa kabar? Dia jadi jarang kesini semenjak kenaikkan kelas" ibunya bertanya mengenai Yura secara tiba-tiba.
"Dia baik, kemaren dia kesekolah" katanya tak menatap lawan bicara.
"Hmm ajak dia kerumah lagi, ibu pengen ngobrol lagi, dikelilingi cowok cowok haaahhh membosankan" keluh kesah seorang ibu rumah tangga yang hidup dengan 2 pria kaku selama puluhan tahun.
"Hmm? Ibu kesepian? Kenapa ga main aja sama temen temen ibu?"
"Ibu ga cocok sama mereka, mereka itu banyak ngomongin orang, dan itu bukan style ibu, kamu tau" perkataan ibunya membuat tawa diatas meja makan membuatnya semakin membaik dan terasa sangat hangat, tak ada yang dibutuhkan Dika saat ini, semua sudah terjadi didalam hidupnya.
Tak ada...
Kecuali satu, kekosongan ini... Terasa hampa.. tapi dia tak tahu apa itu....
--
"Dingin.." ujar William memegangi tangan putih itu, dia mendengar suara panik dan guncangan yang diberikan orang itu. Namun, dia tak dapat mendengarnya dengan jelas.
Hingga beberapa jam setelahnya, dia baru bisa bangun dan tersadar, dirinya sudah terbaring didalam ruang kesehatan.
Ditemani seseorang yang tertidur dipahanya, inilah sebab lain kakinya terasa sakit.
William tak tahu siapa yang berbaring diatas tubuhnya itu, dia mengingat genggaman tangan yang memegang dahinya, kemudian menatap tangan si pria yang tertidur dan memegangnya, menempelkannya pada dahinya sendiri.
"Gue.. ngapain?" Wajahnya memerah ketika mengingat apa yang tengah dia lakukan, gerakan itu membuat si laki laki terbangun, menatap William yang tengah memegangi tangannya.
"Ehh?!!" Tentu Juan menarik tangannya spontan, menatap William dengan pandangan yang aneh.
"Lo berat, kaki gue mati rasa" wajah datar itu menyembunyikan sesuatu.
"Ahh, sorry lagian Lo ga bangun bangun, jadinya gue yang ketiduran" katanya dengan wajah kesal.
"Ngapain Lo disini?" Sinisnya menatap Juan yang dia sendiri juga terlihat tidak nyaman.
"Lo pikir gue yang mau? Kata perawat harus ada yang nunggu, dan gaada, gaada satuuu orangpun yang mau" katanya dengan kesal.
"Terus, kenapa Lo mau?"
"Udah gue bilang, gue ga mau, cuman karna gue yang ngelaporin kalo Lo sakit, bukan berarti gue mau! Ini pemaksaan" lagi, wajah kesalnya benar benar memerah ditambah dengan dirinya yang langsung berdiri melengos kesal menuju arah pintu.
Wajah Juan seketika berubah dari ekspresi kesal yang menggemaskan menjadi ekspresi suram, membeku menatap wajah William yang menampilkan smirk untuk kedua kalinya pada dirinya.
"Lo udah bangun? Pulang sekolah ada pertemuan sama anak anak inter dan Hallyu, Lo bisa?" Suara yang tak asing masuk ke telinganya, berpaling menatap 2 orang yang ada diambang pintu.
Arthur masuk dengan memasukkan tangannya kedalam saku celana, percaya diri masuk tanpa ragu.
Sedangkan Austin, terdiam menatap Juan dengan terkejut, tak menyangka keberadaannya sama sekali.
Tak hanya Austin, Juan memberikan reaksi serupa, rasa tidak percaya dan terkejut, lebih terkejut daripada Austin yang membeku.
"Apa kabar? Udah lama.." katanya menghampiri Juan yang menampik wajah terkejut dengan wajah masamnya itu.
Tak menghiraukan sapaannya, Juan melengos tanpa kata.
Tatapan itu, tatapan yang dirasakan dua kali dalam sehari, membuat Austin merasa semakin tertekan dengan keadaan.
"Lo kenal sama anak itu? Itu anak baru kan?" Ujar Arthur kepada Austin yang menarik napas panjang.
William melihatnya begitu aneh, seorang Austin yang menyapa seseorang itu diluar dugaan, ada satu hal yang membuatnya curiga.
Masa lalu Austin yang membuat William menaruh curiga yang serupa pada Juan.
- End -
Hint unlock!
"Tersebut sebuah kelompok yang memisahkan mereka dan berhasil memecah kepercayaan menjadi sebuah derajat kekejaman"-------
Annyeong!
Gila! Ceritanya kok makin rame setelah Jen baca ulang 😭😭😭
Plis otak cepet up lagi!
Gue penasaran sama bagian selanjutnya 😭 wkwkwkBITCH GUE SIBUK BANGETTT SORRY KLO JARANG UPDATEEE,
JEN Mau mencoba pertukaran pelajar ke South Korea makannya Jen jadi jarang up 😭😭 doain ya guys semoga diterima 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE ROSE
Romance"Selalu ingat 4 kasta" S berarti Penguasa A berarti Pemerintah B berarti Keberuntungan C berarti Jelata "Ikutlah denganku, jadi bagian dari golongan S sebagai pasanganku" "Kamu akan selalu aman dibawah pengawasanku, jadi peganglah tanganku erat erat...