(fiksi sejarah)
Yuda meringis melihat tubuh ringkih kirman tergeletak lemah di atas tanah subur negeri ini. Satu tangannya mengayunkan bambu runcing sekuat tenaga. Cukup satu ayunan, satu nyawa melayang menapaki kematian. Kedua matanya tak kuasa memendam ketakutan. Kedua kakinya gemetar menghadapi kekejaman. Kedua bibirnya tak mampu lagi berteriak menyemangati. Yuda tau, hal ini akan terjadi suatu hari nanti, dan itu adalah hari ini. "Aku akan dengan bangga mati dalam peperangan. Kau harus berani. Ingatlah itu kawan." Yuda ingat kalimat itu, tapi tidak pernah terpikirkan akan secepat ini.
***
Puluhan pemuda dan orang dewasa bahu membahu menyiapkan senjata andalan mereka. Berlatih bersama dalam terik dan dinginnya malam. Yuda bersama kawannya menjadi kelompok pasukan kecil yang dikomandoi seorang ulama gagah berani di kotanya.
"Apakah kemerdekaan itu nyata, Man?" tanya Yuda sembari mengiris tajam ujung-ujung bambu.
Sang kawan tersenyum, menatap Yuda gagah. Itu artinya "iya" sebagai jawaban tak terucap.
"Saat itu terjadi, apakah kita masih hidup? Dan dapat merasakan manisnya kebebasan?" kata Yuda lagi memecah keheningan.
"Tidakkah kau lelah dengan semua ini, Belanda yang licik sudah pergi, tergantikan dengan kekejaman Jepang. Seolah tuhan tega sekali membiarkan kegilaan ini terus terjadi.
"Kenapa kita tidak lari saja ke sebuah tempat tersembunyi di antara deretan pulau-pulau itu. Hidup secara layak tanpa memikirkan kemerdekaan. Biarkan saja penjajah melakukan apa pun asalkan hidup kita tenang dan tidak diketahui."
Tanpa senyuman, tanpa ekspresi apa pun, tanpa menatap Yuda. Kirman memegang golok kuat. Fokus membuat bambu runcingnya agar terlihat mantap untuk menembus jantung para penjajah.
"Kenapa repot-repot bersembunyi, bukankah lebih mudah jika kau menjadi penghianat. Memihak mereka," timpal Kirman kemudian.
"Aku tidak mungkin menghinakan diriku menjadi pengkhianat seperti yang kau ucapkan."
"Dan aku tidak ingin lari bagai pengecut seperti yang kau katakan."
Keduanya terdiam. Fokus pada senjata masing-masing.
Kirman dan Yuda dua pemuda gagah berani. Membela tanah kelahiran mereka sejak masih dini. Yatim piatu sejak lama. Dibesarkan oleh kiyai Hasan seorang ulama hebat sekaligus pemilik pondok pesantren bagi anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Dididik dalam selimut jiwa nasionalis, diterangi cahaya keimanan yang kuat. Menjadi manusia-manusia perkasa membela keadilan.
Terdengar hebat bukan?
Tapi nyatanya, tidak semua orang memiliki keteguhan hati yang sama, tidak semua orang memiliki keinginan yang sama meski hidup dalam keadaan sama-sama menyakitkan.Dua puluh tujuh tahun usia pemuda paling disegani di kelompok mereka. Kirmanto Sugeng Malik, dan Yuda Kasang Tian. Sahabat seperjuangan. Satu dianugerahi kecerdasan satu lagi pemilik kekuatan besar. Saling melengkapi.
Bersama kelompok kecil mereka, sudah puluhan benteng musuh mereka hancurkan, sumber kekuatan musuh seperti markas senjata telah mereka ambil alih. Perlahan tempat-tempat yang semula dikuasai Jepang, satu per satu mereka rebut, menjadi kelompok paling sulit untuk ditaklukan.
Di tahun ketiga kedudukan Jepang atas Indonesia. Banyak peristiwa sejarah telah terjadi. Kisah-kisah perlawanan yang amat membanggakan. Dalam perjalanan cerita Yuda dan Kirman mungkin tidak sebesar itu, tapi cukup mengharukan untuk dikenang. Kisah mereka tentang sebuah manis kemerdekaan.
Malam ini, satu lagi misi berbahaya itu mereka lakukan.
Dalam belantara hutan lebat, diiringi suara hewan malam sebagai musik pengantar. Nafas mereka teratur bersama tetesan peluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAHAN (kumpulan cerpen)
Cerita PendekSemua cerita tidak berlatar pada era globalisasi seperti sekarang. Baru ada tiga cerita. Walikota yang punya ambisi gila, dan kakak adik yang berjuang untuk lepas dari parasit, dan Penulis X yg misterius. • Kumpulan cerita pendek yang semoga ketika...