Jam istirahat berbunyi memenuhi gedung sekolah yang berbentuk pohon ini. Aku dan Q-Ra menuju ruang kesehatan siswa.
Ia membersihkan wajahku terlebih dahulu dengan menyemprotkan cairan alkohol lembut yang bisa melembapkan wajah juga.
Itu tidak terasa sakit sama sekali. Lalu Q-Ra meneteskanku sebuah cairan yang aku tidak tahu apa. Tetapi kata Q-Ra, ibunya yang membuat.
"Ibuku membuat ini memakai teknik lama. Yaitu ditumbuk di sebuah tempat yang terbuat dari batu." Dia menjelaskan sambil meratakan cairan itu pada luka, memar, dan benjolan di wajahku. Aku meringis, "Bagaimana bentuknya?"
"Bulat seperti piring. Namun lebih tebal." Q-Ra meniup-niup lukaku, "Kalau tidak salah namanya cobek."
Aku menggumam, "Nama yang unik."
Setelah Q-Ra mengobatiku, kami terbang menuju kafetaria di dahan paling atas.
Di kafetaria sudah banyak manusia yang memakan makanan mereka. Aku dan Q-Ra menuju kursi tempat kami biasa duduk, di samping D-Te dan
V-Io.Aku menduduki kursiku. Di sekolah kami, meja kafetaria sudah di atur untuk menyiapkan makanan masing-masing siswa. Makanan kami terasa cukup menggiurkan. Aku menatap D-Te dan V-Io. Seperti yang tidak peduli denganku, mereka tetap melanjutkan makan sambil diam.
Q-Ra sudah melahap makanannya dengan rakus. Mulutnya penuh sekali.
Aku membaca doa. Lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutku. Makanan ini memulihkan energi. Aku merasa sangat senang ketika makanan itu turun ke dalam perut.
Tiba-tiba D-Te berdiri, begitupun V-Io, "Kami duluan."
Aku mengangguk heran.
Q-Ra memandangku dengan pipinya yang gembung, "Mwereka kenwapa swih?"
Dahiku mengernyit bingung, "Tidak tahu. Semejak kejadian kemarin dia berubah."
Setelah menelan makanannya, mata Q-Ra membulat, "Kemarin ada apa? Kok kamu tidak cerita ke aku? Lagian tumben banget D-Te moodnya jelek. Biasanya dia paling semangat deh."
Akupun menceritakan kejadian yang kemarin aku alami. Lagipula, sejak pagi tadi Q-Ra tidak ada inisiatif untuk menanyakan mengapa wajahku bonyok.
Tiba di akhir cerita, Q-Ra mulai mengolok-olok F-Ra. "Sok asik banget tuh F-Ra. Mana nyantel-nyantel ke D-Te. D-Te sudah gak suci."
Aku terdiam. Lagipula aku baru tahu D-Te memiliki seorang pacar saat kemarin. Q-Ra melanjutkan ocehannya, "Aku gak pernah liat D-Te seperti ini. Apalagi dari ceritamu itu, D-Te seperti yang bukan D-Te. Tidak mungkin sahabat kita seperti itu. Dia juga selalu jaga jarak dengan wanita."
Memang benar, D-Te selalu menjaga dirinya dari para wanita, kecuali aku dan Q-Ra. Karena kami adalah teman dekat semejak enam tahun yang lalu. Kami tahu apa yang D-Te suka dan tidak suka. Kami pun hafal kebiasaan sehari-harinya.
Bel masuk berbunyi lagi. Aku dan Q-Ra terbang menuju lorong 106. Setelah kami sampai di kelas kami yang bersinarkan sinar matahari pagi, seorang guru matematika kami memasuki kelas kami. Kurasa hari ini adalah hari paling tidak menyenangkan sedunia.
Saat pulang sekolah, D-Te mendekati mejaku dan Q-Ra. Ia mengajak pulang bersama.
Lengan Q-Ra menyenggolku. Aku mengiakan, "Ayo pulang."
Kami bertiga mengganti seragam kami di loker, lalu pulang dengan tampilan awal kami sebelum kami mengganti seragam saat tadi pagi.
"Di mana V-Io?" tanyaku pada D-Te. Ia bilang V-Io pulang duluan karena ada acara bersama keluarganya. Aku dan Q-Ra mengangguk mengerti.
Sebelum terbang pulang, aku mengikat rambut sebahuku, begitupun Q-Ra. D-Te menunggu kami di pintu keluar. Setelah itu kami melesat menuju langit.
Matahari siang ini sangat terik. Karena itu, Q-Ra mengajak kami menuju salah satu kedai kopi di dekat sekolah.
"Selamat siang di Café 212."
Satu drone persegi kecil mengambang di depan kami. Warnanya silver, dengan garis-garis emas tipis pada jari-jarinya. Drone itu mengantar kami pada tempat duduk tiga kursi.
"Terimakasih, drone." Ucapku. Drone itu mendesing. Sepertinya dia senang.
"Untuk menu bisa di akses langsung pada website Café 212. Jika perlu bantuan, tinggal lambaikan tangan ke udara."
Drone itu pergi. Aku mengeluarkan ponsel transparanku. lalu membuka website.
D-Te membuka suara, "Aku ingin es kopi saja."
"Sama." Q-Ra menimpali. Aku juga memesan es kopi, lalu memencet tombol pesan pada layar ponselku. Kami harus berhemat karena harga SDA sangatlah mahal kali ini. Tumbuhan dan tanaman sudah mulai punah. Makanan dan minuman yang masih memiliki fisik seperti zaman dahulu hanya untuk manusia kalangan atas. Selain itu, kebanyakan manusia mengonsumsi pil energi setiap hari.
Café 212 ini juga sangatlah sederhana. Bangunannya berbentuk kubus. Hanya ada beberapa tempat duduk tingkat sederhana. Dengan alunan musik lofi, café ini terasa sangat damai.
Tidak sampai semenit, seorang pria menghampiri kami sambil membawa nampan berisi tiga es kopi di atasnya. Pria itu meletakkan kopi kami. Saat dia hendak berbalik pergi, dia menatapku tajam.
Aku tidak mengerti. Ia seperti memakai pakaian petarung. Pakaian yang ketat dengan alat perlindungan diri pada dadanya. Wajahnya tertutup oleh topeng, mata kelabunya bagai serigala di bawah gelapnya malam.
"Selamat menikmati." Ujarnya dingin, meninggalkan kami yang menatapnya aneh.
"Seperti bukan barista." Q-Ra mengaduk es kopinya. D-Te mengangguk, "Dia adalah petarung Tricky Games."
"Apa itu Tricky Games?" tanyaku. D-Te melirik ke arah pria itu yang baru masuk ke ruangan dapur. "Itu adalah sebuah permainan. Kata mereka permainan itu rumit dan sangat berbahaya."
Q-Ra meminum kopinya, "Kenapa aku baru tahu di dunia ini ada yang namanya Tricky Games, ya?"
Aku menaikkan bahu, "Entahlah. Aku juga baru tahu."
D-Te menjelaskan lagi. "Permainan itu pada awalnya adalah permainan private khusus untuk anak-anak raja. Namun lama kelamaan mereka menjadikannya sebagai permainan publik."
Aku mengangguk. Q-Ra penasaran, "Kenapa tiba-tiba dijadikan publik? Bukankah katamu tadi Tricky Games itu berbahaya?"
D-Te terdiam. Lalu menggeleng pelan. "Entahlah. Aku hanya mengetahui sedikit tentang permainan itu. Satu lagi yang kuketahui, untuk memasuki tim Tricky Games publik sangatlah mahal."
"Berapa?" Tanyaku.
"Tujuh ratus juta kredit."
Q-Ra tersedak mendengarnya. Aku tertawa, "Ada-ada saja permainan zaman sekarang."