Setelah menikmati es kopi yang telah habis, kami pulang dengan perut kembung.
Aku mengunyah pil energiku. Q-Ra terbang menajam ke arah apertemennya. "Dadah!"
Aku dan D-Te balas melambai. Kami terbang menuju rumah kami masing-masing.
Sampai di atas atap rumahku, D-Te menahan lenganku. Aku menatapnya kesal. Berani-beraninya ia menyentuhku, "Kenapa?"
D-Te merogoh isi sakunya. Satu benda seperti kelereng yang terbuat dari kaca mendarat di tanganku.
"Itu adalah jalan menuju dimensi permainan virtual. Banyak pilihan permainan di dalam sana. Tricky Ball."
"Tricky ball." Benda itu bergetar pelan di telapak tanganku, "Sangat unik."
D-Te bergumam, "Ya. Tricky ball ini sangatlah langka. Hanya ada sebelas bola yang tersebar di seluruh dunia. Dan hanya orang tertentu yang berhak memiliki, memakai, dan menyentuh bola ini." Ia menarik hafas, "Jika salah satu bola pecah, para pemain tidak dapat keluar dari permainan dan terjebak selama-lamanya."
Aku meliriknya iseng, "Aku jatuhkan ya."
"JANGAN!" D-Te berteriak histeris, terlihat tidak nyaman. Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu. "Bagaimana cara memakainya? Dan bagaimana cara memasukinya?"
Sahabatku ini menggaruk kepalanya. Seulas senyum menghiasi wajahnya, "Tricky ball itu tersegel oleh password. Setelah kucoba berkali-kali, berbagai kata yang sudah kucoba tetap saja tidak bisa terbuka. Jadi aku minta tolong mencarikan password itu kepadamu. Setelah kau dapat, berikan kepadaku."
D-Te terlihat memohon. Kukira ia memberikan bola berwarna biru cerah ini untukku.
"Bagaimana cara aku menemukan passwordnya?" Aku masih linglung, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh D-Te.
Wajah D-Te berubah murung, "Pria yang tadi di café 212 memiliki jawabannya. Dia pemain FTG. Sayangnya tadi tidak sempat kutanya."
Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam kepalaku. Lantas sebelum dia pegi aku bertanya satu hal penting.
"Dari mana kau dapatkan ini, D-Te?" bola ini sudah tidak bergetar.
"Dari F-Ra."
"Pacarmu yang sok jago itu?" satu pertanyaan lagi keluar otomatis dari mulutku. D-Te menatapku serius, "Jangan bahas apapun tentang F-Ra."
Setelah mengatakan itu dia pergi. Kecepatannya sangat maksimal sampai aku takut tiba-tiba sepatunya mogok.
D-Te yang aneh.
Aku memasuki rumahku sambil mengucapkan salam. Tidak ada jawaban. Mungkin mama sedang keluar.
Sistem rumah langsung melepas sepatuku ketika aku menapaki kaki ke dasar. Sepatu itu seakan lenyap ke dalam keramik lantai, padahal tersimpan dalam memori internal rumah kami.
"Rumah, naikkan aku ke kamar." Perintahku.
"Perintah dimengerti." Ucap sistem. Salah satu lantai keramik berubah menjadi hoverboard mini. Hoverboard itu mengantarku masuk ke kamar di atas.
Sesampainya di kamar, lampu otomatis menyala. Ranjang mendekatiku dan hoverboard secara otomatis menaikkan aku ke atas ranjang. Saat aku sudah merebahkan diri, hoverboard itu melebur dengan lantai. Itulah salah satu sistem tercanggih di rumah kami. Dan aku sangat senang tinggal di rumah seperti ini.
Bola keramik yang sedari tadi kugenggam menggelinding dari jemariku. Aku memperhatikannya secara seksama.
Bola itu hanya berdiameter dua sentimeter, dengan warna biru yang menyala dari tengahnya bagaikan sinar rembulan yang redup.
Hanya seperti itu rupanya. Bola sederhana yang katanya di terdapat banyak permainan virtual didalamnya.
Aku mendiamkan bola itu bebarapa saat sambil memikirkan password yang memungkinkan agar segera kukembalikan kepada D-Te.
Namun dari mana F-Ra mendapatkan bola langka ini? Bukankah hanya orang tertentu yang memiliki hak untuk memiliki bola seperti ini? Apakah
F-Ra termasuk orang penting yang bisa memasuki bola sekecil kelereng ini?"Future Tricky Games!" bola itu tetap bergeming. Aku memeras otak.
"Tricky Ball!" seruku lagi. Tetap saja tidak ada reaksi. Tiba-tiba ada dering telepon dari ponselku. Aku terduduk melihat siapa yang menghubungiku di ponsel. Saat kulihat, nomor asing yang menelepon. Aku tidak ingin mengangkatnya, maka kubiarkan saja ponselku itu sampai berhenti berdering.
Aku menghembuskan nafas perlahan. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi, dan nomor tidak dikenal itu terpampang pada layar ponsel.
"Diamlah!" gerutuku. Lalu menolak panggilan tersebut. Sangat mengganggu.
Namun, sang penelepon tidak menyerah. Ia meneleponku kembali. Tidak enak hati, aku mengangkat panggilan itu dengan malas.
"Halo, manusia penganggu." Ujar seseorang dalam telepon. Aku mendengus kasar dan memutuskan untuk tidak menjawab.
"Halo? Ada siapa di sana?" suara lembut nan elegan membuat bulu kudukku merinding. Bisa kubayangkan F-Ra tersenyum sinis saat ini.
"Ya. Ada apa?" aku menjawabnya dengan kasar. F-Ra terkikik kecil.
"Huh... Q-Nio. Mau sampai kapan nempel-nempel sama pacar saya, hah?!" bisa kubayangkan ia marah sekarang.
Oke, ini akan menjadi percakapan paling tidak penting sedunia. Aku juga bisa mematikan telepon kapanpun aku mau. Namun aku tidak mau terlihat lemah.
"Sampai pacar kamu ninggalin kamu. Lalu D-Te menikah denganku. Haha."
Oh, tentu saja aku bercanda. Lagi pula, aku tidak ingin menikah dengan
D-Te.F-Ra tidak berkutik. Namun sedetik kemudian ia berteriak.
"KAMU JANGAN SEM-"
Kumatikan teleponnya. Ini hanya membuang-buang waktu saja.
Aku meraih tricky ball dan menaruhnya di tas kecilku.
Sekarang aku ingin ke Café 212 untuk menemui pria misterius yang berlagak seperti robot.