6. Hansel [1]

17 5 9
                                    

⚠️Bab kali ini mengandung prespektif yang bisa membahayakan pemikiran para pembaca. Diharapkan tidak berkomentar buruk atas penyampaian ini. Jika merasa tidak kuat akan pendirian, mohon maaf atas sebesarnya, silahkan meninggalkan lapak ini. Terima kasih. ⚠️

Aku tahu jika kehidupan itu tidak akan bertahan lama, jadi aku juga tidak akan berusaha sangat keras untuk kehidupan yang aku sendiri sudah tahu akhirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tahu jika kehidupan itu tidak akan bertahan lama, jadi aku juga tidak akan berusaha sangat keras untuk kehidupan yang aku sendiri sudah tahu akhirnya.

Rasanya seperti ini, aku sudah tahu jika aku akan mati, lantas untuk apa aku bertahan hidup? Lebih baik mati saja, kan?

Aku jadi ingat pada sebuah acara tv animasi yang mengatakan, bahwa manusia itu takut akan kematian, mereka juga tahu bahwa mereka akan mati, lantas kenapa mereka berusaha sangat keras untuk hidup?

Mungkin saat ini pikiranku sangat kacau, sampai-sampai aku berpikiran hal seperti ini lagi.

Pertama-tama aku kehilangan ibuku. Bukan secara verbal maksudku. Ya, dia memang meninggalkanku, dalam artian membiarkanku hidup berdua dengan ayah.

Lantas aku kehilangan Ju Hua sebagai pacarku, dan kini ia menjadi adikku. Aku tidak bisa senang.

Lantas sekarang, aku hidup untuk apa? Tidak ada orang yang harus kusenangi atau bahkan tidak ada orang yang membuatku ingin menetap di dunia ini. Rasanya aku tenggelam terlalu jauh.

"Mal?"

Aku mengedipkan mataku beberapa kali, lantas menegakkan kepalaku, menatap ayah yang sudah menatapku kebingungan.

"Ya? Kenapa, Yah?" tanyaku, karena aku memang tidak mendengar ucapannya.

Ayah menghela napas sejenak. "Ayah ada urusan kantor di luar kota. Lusa baru pulang. Kamu jaga Ju Hua sama Ibu kamu, ya?"

Aku mengangguk pelan. "Iya."

Ayah mendekatkan dirinya, kemudian berbisik di dekat telingaku. "Bangunlah chemistry Ibu dan anak laki-laki, Mal, Nyonya Ling sangat ingin punya anak laki-laki."

Aku tidak membalas. Ayah membawa tasnya, lantas pergi meninggalkanku berdua dengan Ju Hua. Nyonya Ling sedang tidak di rumah, ia tengah berada di studionya menyelesaikan pekerjaan katanya.

"Mal, jalan-jalan, yuk?"

Aku menoleh, melihat Ju Hua dengan senyumannya yang lebar. Andalannya sejak dulu saat mengajakku ke tempat yang ramai.

"Mandi dulu, ya," balasku, kemudian melewatinya.

Aku tidak keberatan mengajaknya pergi, atau bahkan diajaknya pergi, selama itu tidak di masa aku sibuk, aku mau saja.

Sepuluh puluh menit aku habiskan untuk bersiap. Kaki-kakiku kembali bergerak menuju ruang tengah, tempat Ju Hua berada.

Ia sudah menggunakan kemeja berwarna putih dengan celana panjang berwarna biru. Di rambutnya sudah ada jepit rambut berwarna putih bergambar bunga.

Semua Yang Tidak SejalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang