1. Jika Diingat

123 14 3
                                    

Kalau kupikir lagi, semuanya memang akan begini. Yang datang akan pergi, yang bersama akan berpisah. Mungkin, ini yang disebut kehidupan.

Senyawa dari nikotin terus aku hisap hingga akhirnya kukeluarkan kembali asapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Senyawa dari nikotin terus aku hisap hingga akhirnya kukeluarkan kembali asapnya. Rasa yang begitu nikmat, menghabiskan sisa kehidupanku hanya untuk kenikmatan ini. Merusak paru-paru, yang kutahu itu hanyalah bualan untuk membentuk sugesti pada diri dan berhenti pada kenikmatan dunia ini.

Jika kuingat kembali, rasanya sudah lebih dari tiga tahun sejak aku mencoba menghisap benda panjang yang manis ini. Walau beberapa bulan terakhir aku hanya menghisap benda yang jauh lebih mudah dibawa.

Temanku, Hansel yang menyarankannya. Katanya ini lebih enak dari pada batang rokok itu. Umurnya tujuh tahun lebih tua dariku.

"Ini produk yang laku musim ini, Mal. Lo bisa cobain ini. Yang ini rasa anggur, sama kayak rokok E*se yang sering lu hisap," ujarnya sembari menyodorkan benda balok berukuran mini.

Aku menghela napas. "Lu mau ngasih gratis? Gue gada duit."

"Buset, nyicil kali."

Karena kalimatnya yang seperti itu, aku mengambilnya satu, dan melunasinya segera. Aku tidak suka hitung hitungan dengan Hansel. Otak dagang itu bisa membunuhku perlahan.

Mungkin dengan itu, aku sudah terjebak lebih jauh pada teka teki di dunia ini.

Ayahku, aku tidak tahu harus menyebutnya sebagai apa. Dia bukan orang yang jahat, hanya saja dia suka mencari kesalahan. Orang tuaku bercerai beberapa tahun silam, membuatku harus tinggal dengan ayahku berdua saja. Setelah itu, ibu tidak pernah menampakkan batang hidungnya.

"Mal?"

Aku menegakkan kepalaku, tersadar dari lamunanku. Aku menatap Iwan dengan asap yang keluar dari mulutnya.

"Kenapa?"

"Ya ... Kita udah bahas ini. Kita bubar aja, mungkin? Toh kita tinggal bertiga di band ini, rasanya niat buat tampil di panggung itu kagak ada lagi," ujar Iwan kembali.

Aku melenguh pelan, kemudian mengelus tengkukku. "Gamau nyari anggota lagi?"

Angga tersenyum kecut. "Gue, nggak, Mal. Buat apa? Kita gak ada kemajuan dari sembilan bulan lalu. Nyari anggota, keluar lagi, nyari lagi, keluar lagi. Kita juga ga ada rekaman."

"Ga, kita ga punya dana buat rekaman lagu buatan sendiri." Aku membalas Angga.

"Udah, Mal, tenang dulu. Hasil akhir, kita berdua maunya bubar, Mal. Lu kalah jumlah. Jadi gue mohon maaf, sekarang band Night City bubar."

Iwan berdiri, memasukkan stik drum-nya, kemudian memijak batang rokok yang sejak tadi ia hisap.

Angga mengambil tas gitarnya, dan pergi bersama dengan Iwan, meninggalkanku sendirian.

Kalau kupikir lagi, semuanya memang akan begini. Yang datang akan pergi, yang bersama akan berpisah. Mungkin, ini yang disebut kehidupan.

Aku menghela napas panjang, mengeluarkan semua asap yang ada di mulutku, kemudian mengambil tas gitarku, dan kembali ke rumah. Sudah hampir larut, memang seharusnya aku pulang sebelum pria tua itu marah-marah.

Jika kuingat lagi, sebelumnya juga pernah terjadi hal seperti ini. Saat tiga bulan pertama kami membentuk band, vokalis kami keluar. Katanya ingin fokus sekolah. Kami bertengkar akan ini, dan Angga berulang kali ingin menyatakan band ini untuk bubar. Tapi saat itu, Iwan masih dipihakku, dan mencari anggota baru lagi.

Kemudian tiga bulan setelah itu, lagi-lagi vokalis kami keluar, katanya dia tidak bisa serius jika berada di band kami, dan lagi-lagi hal yang sama terjadi. Angga ingin bubar, dan Iwan yang mendukungku u tuk mencari vokalis baru.

Kali ini juga sama, tapi akhirnya Iwan juga merasa jenuh dengan band ini yang tidak memiliki kemajuan. Mau bagaimana pun, menurutku tiga adalah angka yang buruk untuk band Night City ini.

Aku membuka pagar rumah, kemudian memasukkan motorku. Mobil sudah terparkir di halaman, menandakan bahwa ayahku sudah pulang duluan. Aku kembali menutup pagar dan menguncinya.

Setelah mengumpulkan sedikit ketenangan, aku membuka pintu, menatap lampu ruangan tengah yang masih menyala. Aku memasuki rumah, kemudian kembali menutup dan mengunci pintu.

Mataku menangkap ayah yang tengah mengetik di ruangan tengah. Ia menatapku ketika aku mau memasuki kamar.

"Dari mana?"

Aku membalikkan badan, menatap ayah. "Latihan band."

"Sekolah?"

"Masih masuk."

Ayah mengangguk, kemudian kembali fokus pada laptopnya. Sepertinya ada hal baik yang sedang mengunjunginya.

Aku kembali memasuki kamar, dan menguncinya dari dalam. Lampu kembali kuhidupkan, aku meletakkan tas gitarku di sudut kamar dan aku membaringkan badanku di atas kasur.

Jika diingat lagi ayah memang jarang marah, dia hanya hobi mengomel atas apa yang kulakukan. Entah karena dia stress akibat cerai dengan ibu, atau hanya kebiasaan buruknya kembali lagi.

Aku menatap hp ku yang berdering. Nama panggilannya terlihat dengan jelas. Benar, aku belum mengabarinya sedikit pun.

"Halo, Ju," ucapku pelan.

"Halo, Mal. Besok lo ada waktu gak? Kita jalan, yuk." Gadis bernama Ju Hua itu bersuara.

Aku kembali, duduk kemudian menatap dinding kamarku yang dipenuhi dengan poster band tahun sembilan puluhan.

"Kemana, Ju?"

"Ke alam terbuka aja, kita refreshing," balasnya dengan semangat.

"Oke. Besok aku jemput."

"Makasii, Mal!! See you tomorrow! Good night, have a nice dream!"

Panggilan dimatikan secara sepihak, membuatku termangu pada diriku sendiri.

Ju Hua adalah pacarku. Kami sudah berpacaran, dan dalam dua bulan lagi akan mencapai satu tahun. Ia lahir sebagai anak campuran dari negri sebelah. Namanya berarti bunga krisantimum, mungkin karena ibunya yang sangat suka dengan teh itu, sehingga menamainya dengan Ju Hua.

Seingatku, aku suka pada Ju Hua saat ia bernyanyi di bazar sekolah. Suaranya sangat manis, tapi aku tidak ingin ia bergabung dengan band-ku. Seperti, suatu saat kami bisa bertengkar.

Aku mengutarakan perasaanku, dan ia menerimaku sebagai pacarnya. Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur dengan memilikinya sebagai sosok orang yang muncul dalam cerita kehidupan yang tengah aku tempuh. Apakah hal yang baik atau bukan. Kata mereka kehidupanku beruntung.

Aku tidak menganggap itu beruntung. Ayah dan ibuku bercerai, aku tidak bisa mempercayai siapa-siapa. Entah salah siapa sebenarnya aku jadi seperti ini.

Yang kutahu, keberuntunganku sangat sedikit, jadi aku harus memanfaatkannya dengan sangat baik. Ini hidupku, jadi aku yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

 Ini hidupku, jadi aku yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semua Yang Tidak SejalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang