10. Menghargai

19 4 3
                                    

"Individu tiap orang itu beda, dan aku nggak bisa apa-apa. Jadi aku cuman bisa berharap kalau kamu menyadari betapa pentingnya hidup kamu."
-Cloudy

"-Cloudy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap layar ponselku, SMS yang masuk itu membuatku kaget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap layar ponselku, SMS yang masuk itu membuatku kaget. Aku memang ada niatan untuk ke tempat Hansel belakangan ini, tapi aku merasa akan berada dalam masalah jika menginap lagi di tempatnya, kasihan juga jika tempatnya dibubarkan jika ayah sampai tahu.

Helaan napas perlahan kukeluarkan. Badanku tergeletak di atas kasur. Mataku menatap langit-langit kamar dengan corak di sisinya. Perlahan pikiranku kalut kembali, merasa kekurangan sesuatu. Lantas merasa ada yang hilang dari dalam tubuhku.

Tentu saja. Tidak mungkin aku bisa terlepas dari obat-obatan dalam waktu dua hari. Sel-sel dalam tubuhku meronta, meminta diisi bahan bakar seperti biasanya.

Aku tidak bisa jika harus seperti itu. Aku ingin berubah, tapi, ini benar-benar menyiksaku. Apa saja, aku butuh apa saja untuk menyelamatkanku.

Tanganku kembali meraih ponselku, lantas mencari kontak nama Cloudy. Aku menekan tanda panggilan dan menunggu dari sisi sebrang untuk menjawabnya. Ini sudah sangat larut, aku ragu jika ia menjawabnya

Perlahan keringat dingin mulai mengucuri tubuhku. Bahkan warnanya tidak seperti keringat biasanya, ini sedikit lebih putih. Napasku menderu kencang.

"Hei, kenapa? Kamu gapapa?"

Aku tersenyum tipis, panggilan video dialihkan Cloudy, ia bisa menatapku yang sedang tersiksa. Ini sudah sangat larut, tapi ia terlihat sibuk berkutat dengan buku serta penanya. "Aku memutuskan buat berhenti meminum obat-obatan. Tapi sekarang aku benar-benar tersiksa," ujarku dengan napas tersengal.

"Kalau gitu makan permen aja," balasnya santai. Ia membalikkan kertas yang ada di hadapannya, seperti sedang belajar.

Aku tertawa pelan. "Mana mungkin bisa."

"Jadi kamu mau apa?" tanyanya. Ia kini benar-benar memfokuskan pandangannya padaku.

"Aku mau obat."

"Nggak boleh, Mal."

Semua Yang Tidak SejalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang