Cahaya matahari mulai menembus, dan hujan telah mereda di luar sana. Sejak tadi, Ara tak henti-hentinya merasakan mual. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan wajahnya pucat seperti mayat hidup. Dengan perlahan, wanita itu berjalan lesu menuju tempat tidurnya.
"Sepertinya kamu sungguh-sungguh ingin bertemu dengan ayahmu, ya? Sampai-sampai, Bundamu ini dibuat lemas," ujar Ara sambil terkekeh, sambil mengusap perutnya.
Tanpa menyadarinya, Ara berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah menuju cermin besar yang berada di kamarnya. Dengan hati-hati, tangan wanita itu menyingkap pakaian yang dipakainya hingga sebatas dada. Dia memandang perutnya melalui cermin, sesekali tangan itu mengusap lembut perut yang terpampang jelas di depan matanya.
"Lihatlah, perut Bunda sudah sedikit membulat, meski belum terlalu mencolok. Kau yang masih kecil di dalam sana membuat bunda tak sabar menantikan perut bunda yang bulat seperti bola," ucap Ara dengan nada gembira.
Setelah puas mengamati, Ara dengan perlahan menutup kembali perutnya. Dengan langkah hati-hati, wanita itu berjalan keluar menuju dapur. Di sana, dia mengambil susu hamil dan mencampurkannya dengan air hangat.
Meskipun rasa mual pada pagi hari telah menguras energinya, Ara berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga kesehatan kandungannya. Sejak mengetahui kehamilannya, Ara dengan penuh kasih sayang menyayangi bayi yang sedang dikandungnya, sebagai buah cinta antara dirinya dan Aksa.
Setelah meminum susu hamil yang hangat, Ara melangkah kembali ke kamarnya dengan tubuh yang sudah sedikit terasa lebih bertenaga.
Wanita itu meraih ponselnya dari meja samping tempat tidurnya, dengan harapan mendapatkan kabar dari Aksa. Namun, begitu nomor dipanggil, tak ada balasan yang datang, hanya suara operator yang monoton mengisi keheningan ruangan.
Rasa cemas dan kekhawatiran mulai menyelinap ke dalam hati Ara, dan dia merasa semakin gelisah dengan setiap detik yang berlalu tanpa jawaban dari kekasihnya.
"Sebaiknya aku mencoba menghubungi asisten Aksa," gumam Ara, menginspirasi dirinya sendiri. Wanita itu kemudian dengan cepat menemukan nomor yang dicari dan segera menekan tombol panggil.
"Halo," sambutan sopan terdengar dari seberang.
"Ah, halo," Ara menjawab dengan spontan, mencoba menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.
"Dengan siapa?" tanya asisten Aksa dengan penuh kehati-hatian.
"Ini Ara, kekasih Aksa. Apakah aku berbicara dengan asisten pribadi Aksa?" Ara bertanya dengan nada yang ramah.
"Iya, saya asisten tuan Aksa. Maaf, ada apa Nona Ara menelpon saya?" kata asisten dengan rasa hormat.
Ara mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, "Aku ingin bertanya."
"Bertanya tentang apa, Nona?" tanya asisten Aksa dengan sikap sigap.
"Sejak kemarin aku mencoba menelepon Aksa, tapi tidak pernah diangkat. Bahkan pesan-pesanku juga tidak mendapatkan balasan. Apakah kau mengetahui penyebabnya?" Ara bertanya dengan nada khawatir.
"Maaf, Nona. Saya ingin memberitahu bahwa minggu lalu tuan Aksa baru saja mengganti nomor ponselnya," jawab asisten dengan sopan.
"Ooh? Ah, kalau begitu, bisakah kau memberi tahuku nomor ponselnya yang baru? Sebentar, saya akan mengambil kertas seben-" Ara berhenti mendadak ketika mendengar jawaban asisten.
"Maaf, Nona, saya tidak bisa memberikannya."
"Kenapa?" Wajah Ara menunjukkan kegelisahan yang tiba-tiba.
"Tuan mengatakan bahwa nomornya tidak boleh disebarluaskan kecuali untuk urusan keluarga dan kantor, dan Nona sendiri tidak termasuk ke pengecualian tersebut."

KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [END]
Romance[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...