MLHL || 07

25 6 0
                                    

"Menjadi ramai agar yang lain tak menyadari, bahwa di dalam sini terasa begitu sepi."

~Faiz~

Kring ... kring ... kringg ...

Aku merapatkan bantal di kedua sisi telingaku, berharap suara mengganggu itu tidak lagi terdengar. Namun semakin aku membiarkannya semakin keras suaranya. Dengan mata masih terpejam, aku memutar tubuhku dan menendang jam weker di atas meja itu hingga suara 'prang' terdengar dan dering jam itu berhenti seketika.

Ahh, damai sekali rasanya.

Saat ini kami ber-4 sedang berkumpul bersama setelah pulang sekolah. Kegiatan yang biasa kami lakukan, aku yang tidak pergi ke sekolah pun ikut bergabung—dipaksa ikut lebih tepatnya. Kami mengobrol ria dan beberapa kali diselingi dengan tawa.

Namun, tiba-tiba Satria menunjuk ke suatu arah, dan aku pun melihat ke arah itu. Seorang wanita cantik datang ke arah kami. Sumpah! Seumur-umur aku belum pernah melihat gadis secantik itu. Mataku terus terpaku padanya dan setelah semakin dekat, tahulah aku bahwa gadis cantik itu mengarah padaku, dia juga menatapku.

Sepertinya aku sedang jatuh cinta sekarang, aku terpaku tak bisa bergerak. Gadis itu makin dekat padaku, dan setelah jarak kami tinggal satu langkah gadis itu tersenyum dan mengguncang tubuhku.

Mengguncangku dengan sangat keras.

Tunggu ...

Apa?

"Woyyy!! Faiz kebo! Bangun woy! Sekolah!"

"Iya, iya. Ini gue bangun, astaga," kataku akhirnya karena Bayu tak kunjung menghentikan aktifitasnya mengguncang tubuhku. Sampai mau muntah rasanya.

Lima belas menit kemudian, kami berdua keluar dari kost-ku, aku beberapa kali menguap selama perjalanan. Jarak kost-ku dan sekolah terbilang dekat, cukup dengan sepuluh menit berjalan. Tapi kupastikan Bu Ani tidak mengetahuinya atau beliau akan datang acap kali aku bolos karena masih tidur.

Aku dan Bayu lari terengah-engah menuju kelas, bel berbunyi tepat saat kami melintasi gerbang sekolah. Dan Bayu baru ingat kalau pelajaran pertama hari ini adalah matematika merupakan guru paling *mematikan* disekolah, sangat amat super mega ultra disiplin. Telat sedetik saja, aka siap-siap rapotmu akan berwarna merah. Itu sebabnya aku memilih untuk bolos saja sekalian dan satu lagi, beliau adalah satu-satunya guru yang tidak berani aku usili.

Lalu sialnya dihari pertama aku memutuskan menjadi murid teladan, aku malah harus langsung berhadapan dengan orang itu. Harapanku hanya satu, semoga pak Agus belum datang ke kelas. Lima detik saja, semoga dia terlambat setidaknya lima detik saja.

Astaga. Nyaris saja. Kami masuk ke kelas saat pak Agus tinggal beberapa meter dari jarak kelas kami. Dia menatap tajam aku dan Bayu.

Tatapan itu tetap berlanjut saat pak Agus sudah masuk ke kelas. Aku berfikir dia akan menyuruhku keluar atau apapun, namun beberapa saat menunggu ternyata tidak ada apapun yang terjadi. Pria berusia lima puluh-an itu hanya berjalan lurus menuju tempatnya dan menyiapkan diri untuk memulai pelajaran.

Aku menghela nafas lega, rasanya seolah baru saja berhasil berkelit dari maut.

Seseorang dari belakang menyolek punggungku. "Nyari mati banget lo, Iz. Bisa-bisanya nekat masuk di pelajarannya pak Agus," Satria berbisik lirih dari bangku belakang.

"Gue udah janji sama bu Ani. Lo tau 'kan prinsip nomer satu gue adalah jangan pernah mengingkari janji," aku membalas Satria lirih.

Dia hanya manggut-manggut, tak berani memperpanjang percakapan lalu kembali pada posisi duduk siap sebelum guru *horror* di depan itu menerkamnya.

Singkat cerita, coba tebak apa yang terjadi padaku? Sepanjang pelajaran
matematika tadi, aku jadi sasaran empuk. Pak Agus terus mengarahkan pertanyaan padaku. Aku mengikuti pelajaran beliau tak lebih dari sepuluh kali selama ini. Bagaimana bisa akuenjawab pertanyaan itu, coba.

Dua jam pelajaran itu cukup untuk menghabiskan energiku. Aku bahkan tak ada tenaga untuk mengusili guru-guru yang mengajar setelahnya. Aku hanya diam melamun sambil berpangku tangan seharian, macam anak putus cinta.

Bahkan bel pulang sekolah tak membangkitkan semangatku, aku berjalan gontai sepanjang perjalanan menuju kost. Membayangkan betapa nikmatnya nasi padang dari warung dekat kost. Ahh, ini dia, semangat hidupku bangkit kembali.

"Awassss!"

Teriakkan terdengar dari arah belakang. Aku menoleh dan di belakangku sebuah gerobak meluncur tak terkendali. Untung aku punya refleks yang bagus jadi aku bisa menghindari gerobak itu tanpa terluka. Gerobak itu  meluncur lurus dan menabrak pohon di ujung belokan dan akhirnya ambruk menumpahkan sebagian isinya.

Karena terlalu fokus dengan gerobak itu aku tak menyadari seorang nenek lari tergopoh-gopoh mengejar gerobak yang adalah miliknya.

Dia berlalu melewatiku dengan wajah panik dan peluh bercucuran di dahinya.

Aku yang memahami situasi langsung bergerak dan membantu sang nenek memasukkan kembali barangnya ke gerobak.

"Terimakasih ya, nak. Gerobak nenek hampir mencelakaimu, tapi kamu malah membantu nenek," kata nenek itu setelah selesai.

"Tentu saja, nek. Untung saja tadi saya yang lewat sini. Kalau orang lain sih, saya tidak tahu bagaimana ceritanya," kataku cengengesan.

Nenek itu tersenyum tahu kalau omonganku hanya bercanda dan tidak perlu dianggap serius.

"Oh ya, kamu sudah makan? Kalau belum ayo ikut nenek. Kita makan bersama, sebagai rasa terimakasih nenek buat kamu."

"Eh, nggak usah repot-repot, nek. Saya ikhlas kok nolong nenek," aku menolaknya halus. Mana mungkin aku tega menerima pemberian dari beliau saat aku tahu yang kumasukkan kedalam gerobak tadi adalah kardus hasilnya memulung. Malah aku gatal ingin memberikan beliau sedekah, tapi aku takut itu akan melukai harga diri nenek.

"Sudah, ayo! Nenek memang hanya pemulung. Tapi bukan berarti tidak punya uang," beliau tersenyum lembut. Wow, nenek itu seperti bisa membaca pikiranku, "uang nenek tidak akan habis hanya untuk membelikanmu sebungkus nasi," lanjutnya.

Aku terkekeh, "baiklah kalau begitu. Tapi jangan menyesal setelah memberikannya padaku ya, nek. Takutnya nanti aku sakit perut," candaku.

"Hahaha, dasar kamu ini. Eh, tapi tidak apa 'kan hanya nasi bungkus? Nenek hanya mampu membeli itu."

"Itu sih sudah makanan sehari saya, nek. Jangan khawatir," nenek itu lagi-lagi tertawa dan aku tersenyum. Senang rasanya mampu membuat orang lain tertawa.

Kami berjalan sambil berbincang-bincang ringan. Menanyakan nama, alamat, sekolah, apapun itu untuk meneruskan percakapan. Beliau bercerita tentang kehidupannya yang hanya tinggal dengan cucunya. Cucu laki-laki yang baru berusia delapan tahun harus bekerja menjual bunga selepas pulang sekolah.

Mendengar kisah mereka berdua benar-benar membuatku bersyukur. Aku terkadang mengeluh tak memiliki uang padahal masih mampu membayar sewa kost. Sementara nenek ini, nenek Zahra hanya tinggal di sebuah rumah nyaris rubuh—menurut penuturan beliau.

Not Only Me. Me? No, it's more about usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang