MLHL || 02

52 12 2
                                    

2. Vanecia Redup

"Kadang kala aku hanya ingin didengarkan dan diberi sebuah pelukan, agar tenang."

~ Vanecia Redup ~

•••

Mungkin bagi sebagian orang perjalanan menuju arti dewasa melelahkan, namun siapa sangka ada beberapa orang yang bahkan sudah merasa lelah menghadapi kehidupan sedari kecil. Salah satunya, Vanecia Redup. Gadis dengan bola mata coklat, dan memiliki mata yang sayup. Memilih memendam karena sedari dulu diajarkan untuk tidak memberitahu bagaimana perasaan yang sesungguhnya.

"Tuhan, kali ini aku tak ingin menampakkan apapun yang aku rasakan." Gadis itu berjanji sambil menatap rembulan malam.

Matanya terpejam sesaat, sesekali ia menghela napas lelah. Beberapa menit mata itu kembali terbuka, ia melihat sekitar lalu memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar. Ia menatap remang-remang dirinya dalam pantulan cermin.

"Apakah aku terlalu tak bisa bahagia cermin?" tanyanya pada cermin di depan.

Air mata yang tak bisa ia tahan akhirnya terjatuh juga. Luruh sudah banteng kekuatan yang sudah berusaha ia tahan, pada akhirnya ia tetap gadis rapuh yang terlihat menyedihkan.

"Dimana letak kebahagiaan itu?"

"Mengapa aku tak mendapatkannya bahkan di waktu usia kecilku?"

"Mengapa?"

Beberapa pertanyaan itu menyerbunya namun tak memiliki jawaban. Ia memilih menangis dalam bungkam, sambil menenangkan dirinya sendiri dalam kekalutan.

"Aku hanya butuh pelukan, bukan ujaran kebencian," ucapnya lalu terduduk lemas di sudut kamar. Ia memeluk dirinya sendiri di tengah dinginnya malam.

"Kenapa setiap kali aku berusaha menentang garis lingkaran ini, aku selalu terjatuh dalam kekecewaan."

"Aku memberikan kepercayaan ku sepenuhnya, namun dihancurkan. Dan dengan bodohnya aku memberi kepercayaan lagi, dan di hancurkan lagi, Tuhan." lirihnya sambil mengusap air mata.

"Aku memberinya cinta, ku pikir dengan dia aku akan bahagia, namun ternyata aku terjebak dalam luka trauma," lanjutnya lagi. Tangan kurus itu ia gunakan untuk membungkam mulutnya, agar tak ada siapapun yang dapat mendengar tangisannya.

"Oh Tuhan ... Aku tak lagi dapat memberi cinta atau bahkan ingin percaya," ucapnya pelan.

"Tidak, aku tak ingin lagi," lanjutnya lalu kembali berdiri dan menatap cermin.

Kali ini semua ringkasan penderitaan yang pernah ia alami kembali menghantui, ia memukul kepalanya lagi. Rasa sakit ini kembali, ia tak tahan dengan semua ini.

"AAAAA!" teriaknya kalut. Ia meneriaki dirinya di hadapan cermin.

Ia tak peduli lagi bila suaranya akan terdengar, ia tak peduli jika semua orang akan sadar. Betapa menyedihkannya dirinya ini, yang dirundung kecewa hingga saat ini.

"Kenapa?" lirihnya gemetar, tak sanggup menahan hingga terduduk lemas.

"Kenapa ceritaku di hakimi?"

Not Only Me. Me? No, it's more about usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang