bab 8

3.8K 279 4
                                    

MELEPAS DERITA
Bab 8


“Bagaimana, Mas?” tanyaku memastikan.

“Jangan melawan ibu, lihatlah karena perbuatanmu semuanya menjadi runyam seperti ini!”

Ucapan laki-laki di depanku itu membuatku membelalakkan mata. Jadi menurutnya, aku lagi yang salah? Aku lagi yang harus mengalah, begitu? Tidak hanya ibu mertua, sekarang suamiku juga menyalahkanku.

“Sudahlah, Mas, aku lelah. Kalau menurutmu semua ini salahku, aku bisa apa,” ucapku tanpa melihatnya, tanganku semakin sibuk memasukkan baju dan barang-barangku ke dalam koper.

Bulir bening yang sedari tadi kutahan seketika lolos, sesak sekali rasanya, bukannya mencoba mengerti apa yang kurasakan, Mas Wisnu malah menyalahkanku.

“Hentikan, Vir! Aku tidak mengizinkanmu keluar dari rumah ini, kamu tetap di sini dan tidak akan ke mana-mana!”

“Lagian kamu kenapa, sih, nggak mau ngalah sebentar saja sama Ibu. Padahal kalo kamu diam dan tidak membantah ucapannya, ini semua nggak akan terjadi, Vir.”

“Ini juga masih pagi, Vir, kenapa sih harus membantah Ibu? Malu didengar tetangga, apa kata mereka kalo mereka tau kamu dan Ibuku sedang tak akur. Keluarga kita pasti akan jadi bahan gossip tetangga!“

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan panjang lebar yang keluar dari mulut Mas Wisnu. Suaranya naik beberapa oktaf, apa dia marah? Mungkin dia pikir aku ini benda mati yang tak punya perasaan, harus selalu menahan rasa sakit selama ini?

Ternyata dia sedang memikirkan harga diri keluarganya, kenapa bukan Ibunya saja yang dia nasihati, toh bukannya ibunya yang selalu membanggakan derajat dan status keluarga ini.

Sudahlah, aku sudah lelah. Aku tak mau jadi almarhumah di usia muda hanya karena tiap hari makan hati gara-gara perlakuan mertua yang tak mau menerimaku, juga suami yang tak mengerti bagaimana cara melindungi istrinya.

Aku tahu hidup dan mati sepenuhnya rahasia Allah, tapi setidaknya aku menghindari hal-hal yang memicu seseorang berumur pendek, salah satunya menghindari mulut berbisa mertuaku agar aku tak selalu makan hati.

Masa depanku masih sangat panjang, toh orang tuaku membesarkanku dengan sangat susah payah, tidak hanya dengan kasih sayang yang berlimpah tapi juga materi yang tak sedikit. Lalu kenapa kubiarkan orang lain menghancurkan usaha orang-orang yang menyayangiku tanpa syarat itu. Hmmm, nggak akan.

“Kenapa diam, Vir? Vira!“

“Aw! Sakit, Mas!”

“Maaf ....” Mas Wisnu melonggarkan cengkeraman tangannya dari lenganku.

“Kumohon mengertilah posisiku, Vir. Aku mencintaimu, tapi juga tidak mungkin meninggalkan Ibu. Kamu juga tau, Ibu memang seperti itu. Bukannya biasanya kamu sudah hafal bagaimana Ibu, kenapa sekarang kamu berubah?“ mata lelaki yang kucintai itu menatapku dengan tatapan memohon. Tapi aku sudah terlalu lelah,  tiga tahun di rumah ini bobot badanku juga tak seberisi dulu, malah makin kurus.

Sering kali teman yang lama tak ketemu bertanya tentang badanku yang terlihat makin tipis ini, kujawab saja jika aku sedang program diet. Tak tahu saja mereka bahwa aku kerja keras bagai kuda sampai lupa bahagia. Haaahhhh ... entahlah.

“Tolonglah, Mas, jangan selalu memintaku untuk selalu mengerti kamu dan Ibumu, tapi kamu sama sekali nggak mau ngerti aku. Aku lelah, Mas, setiap hari perlakuan buruk dari Ibumu yang selalu aku terima. Aku ....” Tenggorokan terasa tercekat, hingga rasanya seperti tak sanggup untuk meneruskan kata. Air mata semakin deras saja mengalir, tak mampu lagi kutahan-tahan.

Kuhirup nafas dalam-dalam, meraup oksigen sebanyak mungkin untuk melonggarkan dada yang rasanya terimpit. Menata emosi yang sedari tadi ingin kukeluarkan.

“Aku akan tetap keluar dari rumah ini, Mas. Mungkin ibumu dan aku memang harus hidup terpisah agar ia luluh dan menerimaku,” sahutku pelan.

“Jangan pergi, Nduk. Maafkan perlakuan Ibumu, bapak yakin dia tidak berniat mengusirmu, itu hanya emosinya sesaat,” ucap Bapak Mertua yang tiba-tiba ada di antara kami.

“Benar apa yang dikatakan Bapak, Vir. Jangan pergi, Ibu tak sungguh-sungguh, ia hanya termakan emosi sesaat. Kamu tau sendiri bagaimana watak Ibu, maklumlah, Vir. Aku sangat yakin Ibu tak sungguh-sungguh.” Mas Wisnu menimpali ucapan Bapak.

Bapak dan Mas Wisnu menahanku agar tidak meninggalkan rumah ini, tapi mana mungkin aku hidup satu atap dengan Ibu mertua yang sangat membenciku.

“Tapi Mas, Pak, Vira nggak mungkin hidup satu atap dengan Ibu yang sangat membenci Vira. Apa jadinya nanti, lebih baik Vira pergi dari sini. Mungkin dengan begitu hubungan Vira dan Ibu bisa membaik.” Aku terang saja menolak permintaan Bapak dan Mas Wisnu untuk tetap berada di rumah ini.

Diizinkan atau tidak, aku akan tetap pergi. Sendiri atau bersama Mas Wisnu juga tak mengubah pendirianku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, jika pengabdianku selama tiga tahun ini tak dianggap oleh Ibu, apa harus kuabdikan tenaga dan pikiranku seumur hidup di sini? Mau jadi apa aku di sini, bisa-bisa aku tua sebelum waktunya.

“Sudahlah Wisnu, mungkin apa yang dikatakan Vira ada benarnya. Maaf Vira, Bapak bukannya mau mendukung Ibu yang telah mengusirmu. Tapi Bapak pikir apa yang kamu katakan tadi juga ada benarnya. Bapak minta maaf selama ini Ibu sudah sangat keterlaluan denganmu.” Bapak mertua mendukung keputusanku, ada gurat sedih di wajah ayah kandung suamiku itu. Bagaimana pun bapak lah yang selama ini bersikap baik denganku.

“Kamu pergilah bersama istrimu, Wisnu. Bangun rumah tangga kalian, Bapak tidak bisa membantu banyak, hanya doa Bapak yang mengiringi langkah kalian,” perintah Bapak kepada Mas Wisnu.

“Tapi Ibu bagaimana, Pak?” rupanya suamiku itu sangat takut berjauhan dengan ibunya.

“Sudah jangan pikirkan ibumu, masih ada Bapak dan adik-adikmu di sini. Tanggung jawabmu adalah istrimu, kalian harus saling mendukung satu sama lain. Berkemaslah, nanti beri tahu Bapak di mana keberadaan kalian.” Bapak menepuk pundak anak laki-laki pertamanya itu, menyalurkan kekuatan dan dukungan. Sejurus kemudian, lelaki berusia lima puluh delapan tahun itu berlalu dari hadapan kami.

Hening

“Baiklah, aku pamit ibu dulu, Vir.” Mas Wisnu berjalan ke arah kamar ibu, lalu memasukinya. Tak lama kemudian terdengar raungan tangis Ibu mertuaku itu.

“Vira!!! Bajingan kamu ya, mantu tak tau diuntung! Bisa bisanya kamu menghasut anakku agar jauh denganku!” Dengan mata nyalang dan penuh kebencian Ibu Mertuaku memakiku lagi.

“Kamu benar- benar mantu kurang ajar!” telunjuk Ibu masih menunjukku, nafasnya memburu sedang dadanya terlihat naik turun. Aku menarik nafas panjang, lelah sekali menghadapi kondisi seperti ini.

Kuseret koper meninggalkan rumah menuju garasi, ingin secepatnya pulang ke rumah orang tuaku, tak ada  tempat ternyaman selain dekat dengan ayah bundaku.

“Vira tunggu! Tolong jangan pergi, aku nggak bisa memilih antara kamu dan Ibu. Tetaplah di sini, ucapan ibu jangan terlalu kamu ambil hati. Ibu memang seperti itu, nanti juga baik sendiri,” pinta Mas Wisnu padaku. Ya Tuhan, laki-laki macam apa yang sudah menikah denganku.

“Biarkan istrimu pergi. Jangan coba-coba kamu mengikutinya, kamu mau jadi anak durhaka? Ingat Wisnu, surgamu ada padaku!”

“Kalo kamu masih tetap ingin meninggalkan Ibu demi istrimu itu, jangan harap kamu kuanggap anakku lagi, aku tak punya anak pembangkang dan durhaka demi seorang perempuan!”

“Satu langkahmu keluar dari rumah ini, saat itu juga kamu bukan anakku!“ Masih dengan bersuara lantang, Ibu mengancam Mas Wisnu.


Bersambung. . 
























MELEPAS DERITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang