MELEPAS DERITA
BAB 12POV Bu Cokro
Kukerjapkan mataku perlahan, tampak seluruh ruangan berwarna serba putih, serta selang infus yang terpasang di punggung tangan. Ternyata aku sekarang sedang berada di rumah sakit. Ya, aku ingat, kemarin kepalaku terasa sangat sakit hingga tak sadarkan diri.
“Alhamdulillah Ibu sudah sadar.” Mas Cokro bangkit dari kursi lalu menghampiriku.
“Ibu kenapa, Pak? Kenapa bisa sampai di rumah sakit?“ Kupegang kepalaku yang masih terasa nyut-nyutan.
“Ibu kemarin pingsan, dokter bilang darah tinggi dan kolesterol Ibu tinggi. Makanya Ibu yang tenang, emosinya dikontrol, apa-apa jangan terlalu dibuat besar.”
“Ck, Bapak ini selalu saja nyalahin Ibu.” Kupalingkan wajah ini dari suamiku, berganti posisi memunggunginya. Malas sekali kalau sudah bicara seperti itu.
“Sudah, Bu, istighfar biar hatinya tenang, dan penyakit tak mudah datang.”
Kuputar bola mata, meng-hadeh sekali memang suamiku itu.
“Ibu istirahat, ya ... enggak usah mikir apa-apa dulu.” Mas Cokro membelai rambutku dengan lembut. Mengingatkanku saat kami masih muda dulu, kalau aku merajuk seperti ini, Mas Cokro pasti langsung membujukku, mengelus-elus kepalaku seperti ini. So sweeet ... aku jadi senyum-senyum sendiri.
“Anak-anak ke mana, Pak? Kok enggak ada yang nemenin Bapak jagain Ibu di sini?“
“Anak-anak masih dinas, Bu. Anta ada kuliah pagi. Ibu pingsannya lama, dari sore sampe baru bangun sekarang.”
Ternyata lebih dari semalam aku tak sadarkan diri, pantas saja kepala terasa pening dan nyut-nyutan. Ini pasti gara-gara kemarin kebanyakan makan durian, ditambah lagi tahhu campur Lamongan yang penuh dengan kikil sapi, belum lagi minumnya es campur.
Memang sangat nikmat, tapi membawa petaka. Saking nikmatnya aku sampai lupa kalau aku punya darah tinggi, apalagi yang kumakan juga sangat berkolesterol tinggi. Untungnya enggak sampai stroke, aduuuh ... amit-amit, jangan sampai.
Apa?! Kalian bilang apa tadi jen, deterjen, eh netijen?! Aku rakus? Nggragas? Mulutku kaya jorongan?
Dasar tak sopan menyebut Bu Cokro seperti itu? Kalian mau kena tulah gara-gara menghina aku? Mulutku ini ‘mandhi’ kata orang Jawa, alias ampuh kalo menyumpahi orang. Ati-ati kualat loh, kalian. Huh, sebel!
Aku ini enggak seperti yang kalian kira, mana ada Bu Cokro rakus dan nggragas. Yang ada Bu Cokro itu anggun dan bijaksana. Kemarin itu hanya khilaf yang disengaja, ya sayang donk kalo ditraktir teman terus kita menolak. Itu namanya menolak rezeki, enggak boleh.
Teman-teman arisanku itu mentraktirku karena ingin menghiburku yang sedang bersedih karena ulah mantu yang tak tahu diri itu. Ya beginilah orang baik, selalu dikelilingi orang-orang yang baik pula. Alhamdulillah, yaaa ....
***
“Assalamualaikum ....”
“Waalaikumsalam ....”
Bima dan Rina datang dari arah pintu, tangannya menenteng plastik keresek berwarna hitam, sepertinya berisi buah-buahan. Mantuku yang satu itu memang sangat pengertian, ya maklum, asal usulnya dari keluarga yang sama seperti anakku, keluarga terhormat.
Bima dan Rina meraih tanganku kemudian menciumnya. “Ibu bagaimana kondisinya? Sudah mendingan?” tanya Rina padaku.
“Masih pusing kepala Ibu, Rin. Ini badan Ibu juga masih lemes,” jawabku lirih, agar semua percaya jika aku masih belum sehat betul.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELEPAS DERITA
General FictionSusah memang jika suami yang kita harapkan ketegasannya masih 'mbok-mboken' dan mengketek di ketiak ibunya. Segala sesuatu yang keluar dari mulut Sang Ibu adalah perintah yang harus dituruti meskipun beresiko menjadi bencana besar untuk keluarga ke...