bab 9

3.9K 289 6
                                    

MELEPAS DERITA
BAB 9


“Satu langkahmu keluar dari rumah ini, saat itu juga kamu bukan anakku!“ masih dengan bersuara lantang, ibu mengancam mas Wisnu.

“Bu, istigfar! Biarkan anak-anak kita menentukan jalan untuk rumah tangga mereka, Ibu jangan terus terusan mengekang mereka, Bu!”

“Sudahlah Bapak diam saja, keputusanku sudah bulat. Satu langkah saja Wisnu keluar dari rumah ini mengikuti istrinya, itu artinya dia sudah bukan lagi anakku.”

Mas Wisnu terlihat menyugar rambutnya berkali kali, sedang aku hanya diam terpaku dengan gagang koper di tanganku, mendengar perdebatan mereka tak ada habisnya, apalagi ibu mertuaku bukan tipe orang yang mau mengalah.

Tak mau ambil pusing, aku segera menyeret koper ke garasi, tak kuhiraukan teriakan Mas Wisnu yang melarangku pergi, sedang Ibu Mertua berteriak mengusirku.

Aku pikir Mas Wisnu akan mengejar dan mengikutiku ke mana pun aku pergi, ternyata tidak. Dia hanya diam di tempat dan berteriak melarangku pergi. Baiklah, itu sudah cukup menjelaskan semuanya padaku. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan yang menurutku terbaik saat ini.

Tak kuhiraukan banyak mata tetangga yang melihat ke arah rumah Ibu, mereka sedang di depan rumah mereka masing-masing. Perseteruan aku dan Ibu Mertua pagi ini pasti akan jadi gosip hangat menuju panas. Sungguh sangat memalukan, apalagi banyak tatapan sinis yang mengarah kepadaku. Sudahlah, itu bukan urusanku. Perihal penilaian mereka terhadapku itu urusan mereka masing-masing.

Bismillah, semoga Allah tak marah atas langkah yang kuambil saat ini. Kuhela nafas panjang guna sedikit mengurangi beban yang mengimpit dada. Kuhidupkan kuda besi yang selalu mengantarku pergi ke mana pun.

Dengan kemantapan hati, kutinggalkan rumah mertua yang sudah tiga tahun belakangan aku tempati, sudah cukup sabarku, aku lelah selalu diperlakukan seenaknya. Dimaki, dihina hanya karena keluargaku tak sepadan dengannya.

Kulajukan motorku ke rumah ayah bunda, tinggal di sisi mereka sepertinya pilihan terbaik saat ini. Alasan apa yang akan kukatakan pada ayah bunda biar kupikirkan nanti, yang penting aku tenang dulu.

Air mata sudah mengering sedari tadi, sudah bukan saatnya bersedih. Tidak ada penyesalan meninggalkan rumah mertua yang sudah tiga tahun kutinggali, yang aku inginkan sekarang hanya ketenangan.

***

“Astaghfirullah ....” Kalimat istigfar terdengar lirih dari bibir Bunda saat aku menceritakan kondisi rumah tanggaku pada wanita yang melahirkanku itu. Mata teduhnya berkaca-kaca menatapku. Aku tahu beliau terluka atas kondisiku, ya Allah ampuni aku.

Tangan ayah terlihat mengepal dengan wajah memerah, sedang matanya juga ikut mengembun. Cinta pertamaku itu menatap sedih kepadaku.

“Vira minta maaf sudah mengecewakan Bunda juga Ayah, Vira benar-benar sudah lelah.” Aku tergugu di pelukan Bunda, sedang tangannya membelai kepalaku pelan. Sesak yang selama ini aku tahan sendiri, kini kukeluarkan semua, agar hati ini merasa sedikit lebih lega.

“Kenapa kamu nggak pernah cerita sama bunda, Vir? Kenapa harus disimpan sendiri? Kalau suamimu mau ngerti kondisimu ngga apa-apa, lah ini suamimu lembek begitu, masih mengketek sama emaknya. Laki-laki kok gak tegas sama sekali. Sudah rumah tangga masih saja disetir orang tua.” Bunda menggerutu geram. Sebenarnya ada kata-kata bunda yang membuatku ingin tertawa di sela tangisku, ‘mengketek’ – kata dari mana itu? Wkwkwk hiks hiks ... argh bengek!

“Sudah, Bun, jangan malah mengompori begini. Kasihan Vira!“

“Memang ayah nggak sakit hati tahu anak kita diperlakukan begitu sama besan? Bunda nggak terima, Yah! Kalo nggak mau sama Vira balikin ke kita baik-baik, jangan main usir. Jangan mentang-mentang kita petani lalu anak kita diperlakukan seenaknya. Biarpun kita ini petani, tapi bukan petani miskin. Jangankan buat beli rumah besan sombong kita itu, buat beli mulutnya yang pedas juga kita mampu! Lu jual gue beli!“ omel Bunda semangat sambil mengangkat kepalan tangannya ke atas.

Aku tertegun melihat tingkah bunda. Ya Allah.. aku yang sedari tadi menangis sedih sekarang malah ingin tertawa keras. Semakin kueratkan pelukan pada malaikat tanpa sayapku itu. Terima kasih Allah, aku masih mempunyai orang-orang yang mencintaiku tanpa syarat, yang selalu siap membelaku kapan dan di mana pun.

***

Azan subuh terdengar berkumandang dari pengeras masjid. Bergegas aku bangun mengambil wudu ke kamar mandi, bersiap melaksanakan dua rakaat wajib.

Kuambil gawai yang sedari kemarin kuletakkan di atas meja dekat ranjang, memeriksa barang kali ada pesan atau panggilan dari Mas Wisnu yang terlewat olehku.

Kosong, tak ada  notifikasi apa pun dari suamiku. Hanya pesan permintaan maaf yang dia kirim di aplikasi hijau, itu pun kemarin siang.

Lagi, rasa perih hadir di dalam hati. Bagaimana bisa Mas Wisnu mengabaikanku. Dia sama sekali tidak meneleponku, meminta maaf atas ketidak-tegasan sikap terhadap Ibunya.

Tak mau berlama-lama bergelung dengan rasa yang semakin perih, kuletakkan gawai dan berlalu keluar kamar.

“Sudah bangun, Nak?” sapa bunda yang sedang mencuci beras di wastafel. Di atas kompor sudah teronggok sepanci kuah hitam khas Jawa timur yang sedang dipanaskan. Rawon daging, makannya nanti pakai sambal bawang dan kecambah kecil, hmmm ... pasti enak.

“Ke pasar yuk, Bun. Vira pengin beli bubur sumsum yang ada di pasar.” Ajakku pada Bunda. Tangannya dengan cekatan  menekan tombol ‘cook’ pada penanak nasi.

“Tumben, yaudah, Bunda ganti baju sama pamit ayahmu dulu, ya.”

***

Satu tas belanja sudah penuh dengan aneka sayur, ikan, daging, juga ayam. Aku berjalan mengekor Bunda yang sedari tadi sibuk membeli ini itu, sekalian untuk masak tiga hari ke depan katanya.

“Vir, bunda beli minyak goreng dulu di toko depan sana, nanti langsung bunda tunggu di parkiran ya.”

“Oke, Bun,” jawabku, lalu menuju lapak penjual aneka bubur.

“Mbak Vira, ya?“ sapa seorang ibu-ibu yang tiba-tiba mencolek pundakku dari belakang saat aku mengantre di lapak penjual bubur.

“Iya, saya Vira, Bu,” jawabku meng-iyakan. Perempuan paruh baya yang wajahnya tampak asing ini tersenyum dengan kepala mangut-mangut.

“Saya Bu Rudi, teman arisan Bu Cokro alias Jeng Sulis, mertuanya Mbak Vira,” ucapnya memperkenalkan diri, lalu kusambut uluran tangannya dengan senyum dan kepala mengangguk tanda mengerti.

“Jadi bener ya, Mbak Vira kemarin minggat dari rumah Jeng Sulis? Padahal sudah enak-enak di sana ikut sama Jeng Sulis. Nggak pernah bebersih rumah, makan tinggal makan, yang biasa ke pasar juga Jeng Sulis sendiri. Eh kok malah minggat dari rumah kembali ke rumah orang tuamu yang petani itu. Sengsara deh sekarang,” seloroh si ibu tiba-tiba menghakimiku tanpa tahu kenyataan sebenarnya. Pandangan matanya menatapku sinis, dengan bibir melengkung ke bawah, merendahkan. Tak bersahabat sama sekali.

“Makanya, Mbak, kalo asalnya dari keluarga miskin terus dapat suami dari keluarga terpandang harusnya Mbak Vira ini bersyukur. Jangan kufur nikmat dan nggak tahu diri sama mertua, apa-apa minta dilayani. Masa perkara Jeng Sulis minta tolong buat bikin sarapan aja, Mbak Vira langsung minggat dari rumah. Harusnya Mbak itu pengertian, mertuanya lagi nggak enak badan, ya gantian, donk ngerjain pekerjaan rumahnya. Bukan malah ngamuk-ngamuk ngga terima terus minggat dari rumah!” cerocos mulutnya lagi tanpa rem.

“Maaf ya, Bu ... kalau Ibu hanya mendengar dari satu pihak, sebaiknya Ibu jangan menghakimi pihak lain sebelum mendengar cerita yang sebenarnya,” sahutku dengan suara yang sengaja kupelankan karena menahan amarah di dada. Biar bagaimana pun yang kuhadapi adalah orang yang usianya jauh lebih tua di atasku.

“Halah-halah, Mbak ... mana ada maling ngaku. Kalau maling pada ngaku, penjara penuh!“ ucapnya dengan suara meninggi. Membuat banyak mata di sekitar menoleh ke arah kami dan menjadi pusat perhatian saat itu juga.

“Lagi pula, saya itu tahu dan kenal banget bagaimana lembut dan baiknya Jeng Sulis. Buktinya, mantunya yang satu lagi baik-baik aja, nggak kaya Mbak Vira. Beda derajat, beda pula kelakuan. Sudah syukur karyawan toko kayak Mbak Vira ini dinikahi anaknya Jeng Sulis yang  PNS, bukannya ngebaikin mertua, eh ini malah semena-mena sama mertua. Baru tahu rasa kalo nanti dice-”

Tak perlu menunggu si Ibu yang mengaku namanya Bu Rudi itu menyelesaikan kalimat cacian terhadapku, aku memilih berlalu meninggalkannya setelah membayar bubur sumsum yang aku pesan.

Teriakan cacian terhadapku yang menganggapku tak sopan karena pergi sebelum dia selesai bicara terdengar tajam di telinga. Membuat semakin banyak pasang mata menoleh ke arahku dan si Ibu dengan tatapan heran dan ingin tahu. Tak sedikit juga yang menatapku dengan sorot mata kasihan.

Teringat nasihat Ali Bin Abi Thalib. Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu.

Begitu juga denganku, tak perlu menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada orang yang memang tak mau mendengarkannya.


Bersambung...

MELEPAS DERITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang