bab 6

3.6K 247 3
                                    

MELEPAS DERITA
BAB 6


POV Vira

Azan subuh terdengar berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah, kulirik Mas Wisnu yang masih terlelap di sampingku. Entah jam berapa dia datang, lembur akhir tahun mengerjakan SPJ tahunan memang sering membuatnya pulang hingga larut malam.

Kubangunkan suamiku itu pelan-pelan, aku tepuk lembut wajahnya. Sekali, dua kali, tiga kali. Mas Wisnu enggan membuka matanya, mungkin dia sangat kelelahan hingga tak mampu membuka mata saat kubangunkan. Ya sudah nanti saja kucoba membangunkannya lagi.

Gegas aku turun dari ranjang lalu mengambil air wudu untuk melaksanakan kewajiban kepada Sang Khalik.

Setelah salat subuh kubaringkan lagi badanku di atas kasur sambil memainkan ponsel pintar, kucoba untuk membangunkan Mas Wisnu lagi, tapi tetap saja matanya rapat terpejam, sekali sampai tiga kali tetap tak mau bangun, nyenyak sekali tidurnya. Hhhhh ... kuhela nafas panjang. Ya sudahlah ....

Hari ini sengaja aku tidak melakukan rutinitas bersih-bersih dan masak. Biar kuwujudkan ucapan Ibu mertua yang selalu menyebutku sebagai mantu pemalas. Biar Ibu bisa menilai sendiri bedanya malas dengan rajin. Kutarik selimut tebal menutupi separuh badanku, entah berapa menit aku tertidur, tiba-tiba suara keras dari arah pintu mengagetkanku.

Brakkk

Brakkk

Brakkk

“Vira bangun!” Terdengar suara ibu mertua menggedor pintu kamar dan memanggil namaku.

Duk

Duk

Duk

Terdengar lagi pintu kamar seperti ditendang berkali kali.

“Vira jam berapa ini!”

“Bangun cepat! Dasar mantu pemalas!” Lagi, ibu mertua menyebutku mantu pemalas.

Baiklah Bu, kuwujudkan ucapan Ibu, batinku berkata demikian. Aku tahu ini tak sopan, tapi bagaimana lagi, tiga tahun aku diam tapi Ibu mertuaku semakin semena-mena denganku, menyuruhku melakukan semua tugas rumah tangga tanpa mau mengerti kondisiku. Bahkan mungkin seorang pembantu saja lebih dihargai daripada keberadaanku di rumah ini.

Aku pernah dua kali hamil, tapi dua kali pula aku keguguran kehilangan calon bayiku. Dokter bilang aku kelelahan, ya memang aku kelelahan. Menjadi ibu hamil tidak menjadikan pekerjaanku lebih ringan di rumah ini, tapi tetap saja harus kulakukan semua seperti biasa. Belum lagi omelan Ibu yang selalu mengatakan aku manja dan malas dengan kehamilanku hanya karena aku sering terlihat kelelahan, padahal tak ada niat sedikit pun untuk aku bermalas-malasan. Morning sickness yang aku alami selama hamil pertama dan kedua itulah yang membuat kondisi badanku agak lemas, tapi tak pernah kulalaikan tugasku mengerjakan semua pekerjaan rumah.

“Viraaaaaaa!”

Brakkk

Brakkk

Brakkk

“Vira bangun cepaaaattt, sudah siang ini cepat bangun!”

Ibu mertuaku masih belum menyerah rupanya. Layar di ponsel pintarku menunjuk pukul enam kurang lima belas menit. Di jam seperti ini biasanya aku sudah sibuk dengan peralatan masak di dapur setelah membersihkan halaman dan menyapu seluruh rumah.

Mas Wisnu terlihat menggeliat lalu membuka matanya. Suara teriakan dan gedoran pintu Ibunya berhasil membangunkannya.

Suamiku itu beranjak dari ranjang dan berjalan sempoyongan membuka pintu kamar.

“Apa sih, Bu pagi-pagi sudah bikin gaduh?kecilin suaranya, Bu. Kepalaku sakit dengarnya,” gerutu Mas Wisnu. Biarpun aku pura-pura tidur, tapi telingaku masih bisa mendengar jelas.

“Mana istrimu? Jam segini bukannya masak dan bersih-bersih rumah, malah masih enak-enakan tidur. Dasar pemalas!” sungut ibu dengan suara lantang.

“Vira? Vira bukannya jam segini biasanya sudah di dapur ya, Bu?“ Suamiku itu menjawab asal, sepertinya nyawanya belum terkumpul sepenuhnya hingga tak menyadari kalo sedari tadi aku berbaring di sampingnya.

“Astaga Wisnuuuuu ... mata dipakek Wisnuuuu, matamu itu dipakeeeekkk! Tuh lihat siapa yang lagi goleran di atas kasur! Lihat itu istrimu jam segini masih enak-enakan tidur! Benar-benar pemalas tak tahu diri ya!” Telunjuk tangan kiri Ibu mertua menunjuk ke arahku, sedang tangan kanannya berkacak pinggang.

Mas wisnu menoleh ke arahku, melihatku yang masih bergelung dengan selimut, ia menggaruk kepalanya lalu nyengir tak jelas. Suamiku itu berjalan ke arahku, lalu melepas selimut yang menutup separuh badanku.

“Vira bangun! Kenapa kamu nggak masak? Sudah jam berapa ini masih saja tidur. Kamu sakit?” Mas Wisnu memegang keningku, memastikan kondisiku baik-baik saja atau tidak.

“Aku nggak sakit, Mas. Aku cuma M,” jawabku santai sambil tetap bergelung di dalam selimut. ‘M’ yang aku maksud di sini bukan menstruasi tapi malas. Ya,  aku memang sedang malas sekarang.

“Halah alesan saja! Enak saja ya kamu mau malas-malasan di rumahku, ingat kamu itu numpang di rumahku ini, jangan belagak sok jadi nyonya, ya! Jangan mentang-mentang kamu ini istrinya anakku yang PNS lalu kamu bisa seenaknya mau ongkang-ongkang kaki di rumahku!” Ibu mertuaku yang kini berdiri di dekat ranjangku menunjuk wajahku dengan telunjuknya.

“Kamu itu jangan tertipu dengan muka cantik istrimu ini, Wisnu. Lihat kenyataannya, dengar sendiri. Dia ini pemalas, dia mau enak-enakan ongkang ongkang kaki bak nyonya besar di rumah ini mengeruk hartamu. Makanya Ibu tidak setuju kamu dulu menikahinya, sudah cuma anak petani desa, penjaga toko, pemalas pula. Apa yang bisa dibanggakan dari istrimu ini, Wisnuuu ... Ibu malu setiap ditanya tentang pekerjaan istrimu oleh teman-teman arisan ibu. Mau ditaruh mana muka ibu kalo mereka tau mantu Ibu cuma penjaga toko rendahan?” Ibu mertua berkata dengan penuh emosi sambil telunjuknya menunjuk wajahku, matanya melotot sedang mulutnya terlihat meleyot ke kanan dan ke kiri.

Astaghfirullah haladziim ... kuteguk ludah saat mendengar ucapan Ibu. Ada rasa nyeri yang menghunus mendengar ucapan tajam Ibu mertua tentangku, kalo dulu ucapan itu mampu mengalirkan bulir bening dari mataku, sekarang aku bisa mengendalikannya, karena sudah sering dia berkata seperti itu padaku, jadi aku tak terlalu kaget. Mungkin kalo hatiku itu serupa kulit, bisa saja jadi kapalan, istilah kulit yang menebal dan mati rasa jika disentuh. Kuhela nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan.

“Sudahlah, Bu. Ibu jangan marah-marah seperti itu, mungkin Vira memang nggak enak badan, biarkan Vira istirahat tidak mengerjakan pekerjaan rumah hari ini saja. Untuk sarapan kan bisa beli dulu di warung Bu Yuli, Bu.” Mas Wisnu mencoba menenangkan Ibunya yang tengah tersulut emosi sepagi ini. Hanya karena aku tak mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, Ibu marah seakan akan aku hanya ongkang-ongkang kaki saja.

“Huh, enak saja! Itu namanya pemborosan, Wisnu! Istrimu ini memang pemalas, dia itu nggak ikhlas ngerjain kerjaan rumah selama ini. Pake alesan M segala, nggak enak badan segala. Kalo pemalas ya pemalas saja!” Ibu tak terima dengan pembelaan Mas Wisnu terhadapku.

Mas Wisnu menggaruk-garuk kepalanya, sebentar melihatku, sebentar melihat Ibu. Sepertinya dia bingung harus memilih membela siapa. Mau ditengahi pun juga percuma, Ibu bukan orang yang suka dibantah dan dimentahkan omongannya.

“Maaf, Bu. Bukannya selama ini Ibu selalu bilang kalo Vira ini mantu pemalas? Ya sudah, mulai sekarang Vira jadikan ucapan Ibu kenyataan. Vira akan jadi mantu pemalas seperti yang selalu ibu katakan.” Sahutku acuh tak beranjak sedikit pun dari kasur empuk yang menopang seluruh bobot tubuhku.

“Dasar mantu kurang ajaaaaaaarrrrr!!!”


Bersambung....

MELEPAS DERITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang