MELEPAS DERITA
BAB 3POV Ibu Mertua
Namaku Sulis Triyaning Asih, nama yang bagus bukan? Orang-orang sekitar rumah atau yang biasa disebut tetangga memanggilku Bu Sulis, atau Bu Cokro. Aku istri dari Mas Cokro, seorang pensiunan PNS. Aku juga ibu dari tiga anak laki-laki kebanggaanku. Wisnu Wardha Pratama, Bima Arga Kusuma dan Antonio Permana Yaksha.
Anak pertamaku Wisnu Wardha Pratama, jagoan yang kulahirkan 29 tahun lalu itu kini menjadi sosok lelaki gagah yang tampan, pekerjaannya pun sebagai PNS di kantor Pemerintahan. Pekerjaan yang mapan dan menggiurkan, bukan? Pekerjaan yang membuat kaum hawa berbondong-bondong mengantre untuk jadi istrinya.
Tapi sayangnya anakku itu tak pintar cari istri, seharusnya dengan modal pekerjaan yang mapan sebagai abdi negara, dia tak syukur-syukur mencari istri. Sukur perempuan, syukur cantik, tidak bisa begitu.
Dengan semua modal yang luar biasa langka, PNS, ganteng pula. Seharusnya anakku itu bisa menggaet seorang guru, bidan, perawat atau sesama PNS sebagai istrinya. Atau yaaa minimal pegawai BUMN lah ya....
Bukan malah memilih Vira yang hanya pekerja toko, mana punya masa depan dia. Biarpun cantik, tinggi, putih kalau tak punya masa depan buat apa dijadikan istri. Pasti hanya ingin memanfaatkan uang anakku saja untuk menampung hidupnya, berapa sih gaji penjaga toko?
Harusnya Vira itu sering-sering sujud syukur, kalo bisa seribu kali sehari, pekerja toko jarang-jarang dipersunting oleh PNS, itu benar-benar rezeki nomplok untuknya, tapi tidak untuk Wisnu anakku, yang ada anakku malah ketiban apes punya istri seperti Vira, sama sekali tidak bisa dibanggakan.
Ditambah lagi Vira juga tak kunjung beranak sampai sekarang. Padahal sudah tiga tahun menikah tapi tak kunjung memberiku seorang cucu pun. Dasar perempuan berpenyakit, bermasalah, pokoknya tak ada bagus-bagusnya si Vira itu.
Aku malu kalau arisan sering ditanya istrinya Wisnu kerja di mana oleh ibu-ibu pensiunan. Masa harus kujawab kalo istrinya Wisnu alias si Vira itu bekerja di toko? Belum lagi kalo ditanya soal cucu. Haduuhhh ... mau ditaruh mana mukaku? Malu aku malu! Seorang Bu Cokro punya mantu yang tak bonafid sama sekali. Sering aku menyingkir jika teman-temanku itu sudah membicarakan para menantunya, dari pada aku malu, lebih baik aku menjauh.
Benar-benar si Vira itu cari ‘sendenan kayu jati’ kata orang Jawa, dia cari lelaki mapan untuk menampung hidupnya yang sudah pasti masa depannya tak secerah masa depan anakku yang PNS. Di hari tua terjamin dengan adanya uang pensiun, belum lagi pandangan banyak orang yang pasti hormat dan kagum pada PNS. Benar-benar si Vira itu, sudah pasti dia mengincar anakku untuk menaikkan derajatnya.
Apalagi asal usulnya yang hanya anak petani desa, duh kok bisa-bisanya aku kecolongan seperti itu. Padahal dulu Wisnu itu pernah aku kenalkan dengan anak Rusni sahabatku. Lisna namanya, perempuan cantik, ya meskipun tak secantik Vira tapi dia itu perawat, pasti masa depannya cerah kalo Wisnu menikah dengannya.
Bukan hanya Lisna anak sahabatku saja yang kukenalkan dengan Wisnu, tapi masih banyak lagi wanita berkelas dan sepadan yang juga cantik yang sering kukenalkan padanya.
Padahal dulu sudah kusodor-sodorkan, sering kuajak ke rumah juga biar makin kenal dekat, eh masih saja memilih Vira juga rupanya, benar-benar tak habis pikir aku, anak mbarepku itu rupanya sudah kebucinan sama si Vira.
Benar-benar aku tak rela mereka menikah, apalagi dulu sering sekali Vira meminta Wisnu untuk pergi dari rumahku ini dengan alasan ingin mandiri, enak saja dia. Anak laki-laki yang kubesarkan dan kudidik susah payah dari bayi, giliran sudah besar dan punya pekerjaan mapan begini mau dia kuasai. Tidak akan kubiarkan mereka pindah, aku tidak rela gaji anakku dikuasai oleh istrinya yang tak kuinginkan itu.
Kalo mereka pindah siapa yang akan menghandle kebutuhan rumah ini? Ya selama ini memang Wisnu yang memenuhi kebutuhan rumah, dari beli beras, bayar listrik, bayar air, beli sabun dan lain-lain.
Lalu siapa juga yang bersih-bersih rumah ini? Menyapu, mengepel, cuci baju, setrika dan masak biasanya Vira yang mengerjakan semuanya. Kalo mereka pindah mana mungkin kukerjakan sendiri, tenagaku sudah tak sekuat dulu, kalo mau sewa pembantu juga sayang uangnya, belum juga buat beli kebutuhan rumah.
Daripada uang pensiun suamiku terpakai untuk hal-hal yang tidak penting, mending kubelikan emas saja bisa buat pamer ke ibu-ibu kalo arisan PKK atau arisan pensiun kantor suami.
Mau menyuruh Rina istri dari Bima aku tak enak, dia anak dari teman suamiku yang pangkatnya lebih tinggi dari suamiku. Apa kata besanku nanti kalo anaknya kusuruh-suruh mengerjakan segala tugas rumah tangga. Lagian dia itu seorang guru yang harus selalu tampil fresh, pagi-pagi sudah harus sarapan sebelum berangkat mengajar, karena mendidik anak murid itu harus dengan wajah segar, perut kenyang dan hati senang, mana mungkin beban pekerjaan rumah tangga kuserahkan padanya, bisa kelelahan dia nanti di sekolah, kan kasihan.
Beda dengan Vira yang hanya pekerja toko, anak petani desa pula, pasti sudah biasa hidup susah, apa salahnya kalo semua pekerjaan rumah tangga kuserahkan padanya, jangan mentang-mentang sekarang jadi istri PNS dia mau manja enak-enakan, woooohhhh ya tidak bisa. Enak saja!
Hitung-hitung membalas jasa padaku karena sudah mau menerimanya sebagai mantu di rumah ini, juga mengangkat derajatnya yang hanya anak petani menjadi istri PNS.
Aku ini ibu yang telah melahirkannya, tentu saja surga anak lelakiku itu berada di telapak kakiku. Apalagi aku pernah mendengar seorang ustaz berkata bahwa ‘anak laki-laki sampai kapan pun adalah milik ibunya’. Jelas dan sangat gamblang apa yang dikatakan ustaz tersebut tentang kedudukanku sebagai ibu dan kedudukan anak laki-laki sebagai penanggung jawab atas ibunya sampai kapan pun.
Anak laki-laki wajib menjaga ibunya, wajib menafkahi ibunya dan yang pasti anak laki-laki wajib berbakti pada ibu yang telah melahirkannya sampai kapan pun, bahkan sampai dia sudah kakek-kakek, jika ibunya masih ada maka dia wajib berbakti.
Kugunakan saja kata-kata ustaz tadi untuk menahan anakku agar tetap berada di rumahku. Walaupun alasan sebenarnya bukan itu, tapi ya seperti yang kukatakan sebelumnya.
“Biarkanlah anak-anak kita mandiri, Bu.” Begitulah kata Mas Cokro, suamiku jika tahu aku menahan anaknya untuk tetap tinggal bersamaku, terutama Wisnu dan Vira.
Alasan yang kuungkapkan pada suamiku bukanlah alasan sebenarnya, kukatakan saja kalau aku tak bisa jauh dengan anak anakku. Aku ingin melihat anak anakku setiap hari, aku takut anak anakku melupakanku jika mereka memilih hidup mandiri jauh dariku. Itulah alasan-alasan yang sering kukatakan.
Sudah lebih dari lima kali Wisnu memintaku agar mengizinkannya hidup mandiri berdua bersama Vira, istrinya. Pasti itu hanya akal-akalan Vira saja, aku tahu dia keberatan hidup seatap denganku, aku tahu dia selalu mengeluh jika kusuruh ini itu. Apalagi sejak pernikahan Bima, anak keduaku dengan Rina gadis anak dari teman suamiku yang berprofesi sebagai guru honor di Sekolah Dasar. Vira makin terlihat tak nyaman berada di rumahku, aku sering mendengar dia mengeluh pada anakku. Ya apa lagi kalo bukan iri dengan perlakuanku yang berbeda 180° padanya dan pada mantu baruku itu.
Ya jelas berbeda donk, Vira itu anak siapa? Lalu Rina itu anak siapa? Kedua orang tua mantu-mantuku itu saja sudah sangat berbeda asal usulnya.
Yang satu hanya petani desa, yang satunya lagi pensiunan PNS, bahkan jabatannya lebih tinggi dari jabatan suamiku. Ya jelas harus diperlakukan berbeda donk, beda derajat dan beda kedudukan. Hihihi ....
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
MELEPAS DERITA
Fiksi UmumSusah memang jika suami yang kita harapkan ketegasannya masih 'mbok-mboken' dan mengketek di ketiak ibunya. Segala sesuatu yang keluar dari mulut Sang Ibu adalah perintah yang harus dituruti meskipun beresiko menjadi bencana besar untuk keluarga ke...