Sudah lewat tengah malam, ketika pintu rumah kami diketuk dengan gusar. Dari suara yang memanggil-manggil namaku, sudah bisa ditebak siapa gerangan yang datang. Aku bukan belum tidur, si kecil baru saja bangun dan selesai meng-ASI. Suamiku juga masih menonton tayangan streaming motoGP di kanal Youtube.
"Gimana, Mas?"
Aku meminta pendapat pada Mas Yanto—suamiku. Dia menoleh sesaat. Lalu, mengempaskan napas agak kasar. Sementara dari arah pintu, semakin masif suara ketukan dan seruan namaku.
"Dibantu salah, nggak dibantu lebih salah. Yang kemarin, udah?" Tanggapan Mas Yanto datar.
"Belum, Mas."
"Temuilah dulu. Bilang saldomu kosong."
Setelah memastikan si kecil nyaman, aku beranjak. Membuka pintu dan langsung diserbu oleh si tamu.
"Walah, Ser. Nggak lagi 'itu' kan? Maaf lho aku ganggu, hehe." Mbak Mila malah cengengesan.
"Nggak, Mbak. Anakku lagi nga-ASI. Ada apa malam-malam begini, Mbak? Hampir pukul satu, lho."
"Anu, Serli. Tokenku mati, gelap-gelapan. Lilin juga habis. Tolong, ya, isikan dulu. Itu anakku Virgo, udah jerit-jerit ketakutan," paparnya.
"Maaf ya, Mbak Mila ... saldoku lagi habis. Belum pada bayar bon, jadinya nggak bisa top up saldo. Yaaa namanya modal muter, Mbak. Maaf banget, Mbak Mila."
Bukan Mbak Mila namanya kalau nggak memaksa. Segala bujuk rayu kalimat merajuk dia keluarkan. Akhirnya, untuk kesekian kalinya aku luluh. Terpaksa malam itu aku isikan juga meski hanya token nominal dua puluh.
Berhari-hari setelahnya, Mbak Mila tidak menampakkan diri. Mas Yanto juga menyudutkan aku karena terlalu nggak enakan, terlalu mudah kasihan. Jika ditotal, pulsa-token-paket data, hampir mencapai angka tiga ratus ribu. Bagiku, penjual pulsa kecil-kecilan di rumah, nominal segitu bisa banget untuk modal.
Mbak Mila tidak pernah lagi mampir ketika sore seperti biasa. Sebelum-sebelumnya, petang hari saat mengajak Virgo main, dia pasti mampir sekadar basa-basi. Sekarang, tidak pernah sama sekali.
~~~~NE~~~~
Hari itu, himbauan agar menjemput bantuan sembako ke agen terdekat terdengar dari pengeras suara masjid. Aku yang memang penerima PKH langsung semangat bersiap. Biasanya akan dapat tiga karung beras ukuran sepuluh kilo atau bisa diuangkan sekitar tiga ratus ribu.
'Lumayan untuk nambah-nambah modal,' batinku girang.
Pertemuan itu akhirnya terjadi. Mbak Mila sudah lebih dahulu datang. Dari kejauhan, aku lihat senyumnya semringah sambil mengipaskan tiga lembar uang pecahan seratus ribu.
"Mbak Mila!" Aku mempercepat langkah menghampirinya.
"Serli? Kok di sini, ngambil sembako juga?" balasnya tenang.
"Iya, Mbak. Lagi ngantri. Anu, maaf sebelumnya. Yang waktu itu udah ada belum, Mbak? Maaf banget, Mbak, kalau lancang."
"Oh itu, gara-gara lihat aku bawa uang jadi kamu nagih ya, Ser. Berapa sih semua?" Mbak Mila mulai ketus. Aku berusaha tenang.
"Cuma 298.000, Mbak. KaLau mau bayar sebagian juga nggak apa-apa, Mbak. Lumayan buat nambah-nambah modal lagi."
"Bon segitu sampai kamu tagih banget, Ser?" balas Mbak Mila pedas.
Aku dalam hati, 'Sabar, Serli, sabar. Tahan, tahan.'
"Namanya juga jualan kecil-kecilan, Mbak. Untungnya nggak seberapa. Modalnya diputar terus biar jalan. Mana banyak yang bon juga," kataku masih berusaha kalem.
"Makanya kalau nggak ada modal nggak usah sok-sok jualan dong. Yanto kurang ngasih uang dapur sampai bela-belain jualan pulsa begitu? Ser, Ser, kasihan banget ya, kamu. Mana masih muda lagi." Mbak Mila mengoceh bagai kereta api cepat. Tentu dengan ekspresi merendahkan.
Tanganku mengepal menahan geram.
"Apa ini ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak RT menghampiri kami. Cuaca terik menambah panasnya jiwa.
"Ini lho, Serli nagih uang pulsa lantaran saya abis terima bantuan. Orang utangnya nggak banyak kok, sampai segitunya. Makanya saya bilang, kalau mau untung ya jangan jualan pulsa. Miskin itu tahu diri, jangan sok-sok mau bisnis kayak orang, ya." Mbak Mila semakin jemawa.
Ah, mendidih darah medanku kalau begini.
"Woy, pukim*k. Otak kau taik aja isinya? Kau datang tengah malam merengek-rengek minta isikan token, alasan anak kau ketakutan gelap, ha? Lupa kau rupanya. Merayu-rayu minta ngutang pulsa, ngutang paket data buat laki kau itu. Kalau nggak ada duit jangan beli HP, Babi kau!"
Tanpa menunggu lagi, aku yang berubah menjadi preman Pajak Sambu (anak Medan pasti tahu) merampas uang di tangan Mbak Mila.
"Nggak usah kau banyak cerita, jangan sok iya kali lagak kau kalau pulsa aja masih ngutang. Dahlah, utang lunas dan jangan kau datang ke rumahku lagi."
Aku melenggang meninggalkan Mbak Mila. Terserahlah mau dikatakan apa sama orang. Bertahun-tahun coba jadi orang kalem mengimbangi Mas Yanto yang berdarah Sunda. Eh, bangkit pula hantu bar-bar gara-gara si Mila.
Dahlah, capek aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSA
HumorCerita ini selengkapnya saya upload di KBM App ya. Yuk download dan ikuti cerita Serli Kang Pulsa🥰