Bagian 2

1 1 0
                                    

Si Mila itu nggak tahu kalau anak medan itu disenggol, nggak segan mecahin ginjal. Eh, astaghfirullah. Citra kalem, adem-ayem yang susah-susah aku bangun, runtuh juga akhirnya. Dahlah, capek aku!

"Neng Serli, tunggu! Neng Serli ... tunggu dulu atuhlah."

Aku entah-entahan menoleh. Pak RT melambaikan tangan. Orang-orang juga menatap ke arahku. Meski nggak rame banget, tapi banyak orang.

"Apa lagi, lho?"

Tuh, kan ... susah kalau udah bangkit hantu bar-bar ini. Pak RT setengah berlari ke arahku. Andai dia bujuk untuk mengembalikan uang Mbak Mila, demi apa pun aku nggak mau.

"Mau ke mana atuh, Neng?"

"Ya pulanglah, ke mana lagi?"

Duh, 'kan ... sampai Pak RT pun kena repet mulutku jadinya.

"Maaf, maaf, Pak RT. Mau pulang ke rumah." Aku ulang menjawab dengan mode kalem.

"Anunya belum Neng Serli ambil atuh," ujar Pak RT.

Alamakjang, memanglah pekok kali kepala otakku. Eeh eeh, kan kelepasan lagi. Maksudnya begini, gara-gara memberi paham Mbak Mila jadi lupa ambil PKH. Sesaat kemudian, aku ikut mengantri (lagi). Berusaha 'sabodo teuing' dengan bisik-bisik yang mulai terdengar. Sekali menoleh ke belakang, Mbak Mila sudak tidak kelihatan.

Kegaduhan seperti ini menyebar sangat cepat di lingkungan tempatku tinggal. Kecepatan informasi bagai angin puting beliung yang menyapu setiap telinga warga. Neng Serli bakulan pulsa viral seketika. Tanpa menunggu lama, sudah pasti sampai ke bengkel Mas Yanto.

Ketika sore tiba, Mas Yanto pulang dari bengkel, aku sudah bersiaga menerima tausiyah.

"Malu atuh, Neng. Ribut-ribut tempat rame, duitnya juga nggak seberapa." Mas Yanto berkata dingin. Sedingin puncak Berastagi, eh.

Sekian belas tahun menjadi istri Mas Yanto, belum sekali pun dia nge-gas. Sampai kata-kata kasar keluar pun, nadanya tetap mendayu. Beda denganku yang naik nada satu tingkat saja, seperti orang mau tawuran.

"Bukan ribut-ribut, Mas. Dia yang mulai duluan, masa bawa-bawa nafkah suami segala. Wajar kalau aku naik sasak. Ibaratnya dia itu membangunkan singa tidur."

Baru akan melanjutkan pembelaan diri, seseorang berseru-seru di depan. Singa tadi baru selonjoran, belum tidur lagi. Apa harus mengaum lagi? Eh.

"Diam ya, Neng. Duduk di sini, biar mas yang ke depan." Mas Yanto seakan paham pikiranku.

"Nah, kebetulan ada Kang Yanto. Atuh istrinya diajarin adab, Kang. Masa gara-gara pulsa segitu istri saya dipermalukan di tempat ramai? Eh, Kang ... dapat bantuan juga buat beli kebutuhan. Kan Akang tahu gimana keadaan sekarang."

Suami-istri memang sebelas dua belas. Bocor halus, tapi keliling. Anak Medan paham kali peribahasa ini. Eh, kok jadi logat medan kita?

"Kumaha atuh Kang Asep, datang-datang langsung nyerang. Duduk dululah sakedap."

Aku mengintip dari balik kain pintu. Jiwa betumbukku menggelegak melihat lagak si Asep.

"Maaf, Kang Asep. Jangan bahas-bahas adab. Maaf atuh, ya ... kira-kira gedor pintu orang tengah malam itu beradab? Apalagi sudah ditolak tapi masih maksa, adab kah?"

"Jangan mengungkit-ungkit yang sudah-sudah dong, Kang," kilah Kang Asep.

Sementara obrolan itu alot. Mas Yanto entah sudah berapa ratus kali bilang "Maaf atuh." Manusia-manusia tipe Asep dan Mila memang tidak bisa dikasih hati.

Makin berlanjut, Kang Asep semakin memojokkan Mas Yanto. Hal yang dia tekankan adalah adab, adab, adab, adab, adab. Seakan-akan dia orang paling beradab.

Oii Mak, mendidih aku.

"Halah, lama kali basa-basinya, We. Kang Asep, kau dengarlah baik-baik, ya. Si Mila itu ngutang pulsa nggak sekali dua kali. Bertumpuk-tumpuk terus. Giliran ditagih, ngilang terus kek hantu. Aku lho, udah nelpon, nge-WA, dari yang halus sampai ngajak duel pun ada. Muka bini kau itu nggak ada, ngelak terus. Tadi dia bawa-bawa suamiku, wajar kalau aku naik darah.

Lagian, itu bini kau ngutang tengah malam buta, we. Adab cemana lagi itu? Adab kuntilanak bolong kurasa. Bini kau, kau pula,  sama aja paokny. Kelen yang salah kok merasa terzalimi kali?

Pandai pula si Mila bilang orang miskin sok-sokan bisnis pulsa. Memanglah bodat, apa bedanya? Udah tahu nggak ada duit beli pulsa, ngapa pula sok-sok pakai HP."

"Udahan atuh, Neng!" tegur Mas Yanto.

"Udahan apa, lho? Belum selesai, masih banyak isi perutku." Aku menepis teguran itu.

"Aku kalau baik, bisa baik kali, Kang Asep. Sekalinya bangun hantu blawu-ku, bisa ribak-ribak dunia ini kubuat. Jadi jangan coba-coba senggol. Selama ini, cemana lagi aku baik sama Mbak Mila? Tanyalah istri Kang Asep, ya. Jangan salah orang aja yang nampak.

Cuma sama aku kan bisa bon? Coba beli pulsa di konter di luar, mana bisa ngutang. Udah syukur dikasih pertolongan, malah dihina pula. Kepala itu dikasih otak biar mikir, Kang."

"Neng, udah!"

Kali ini, Mas Yanto mendelik. Artinya serius. Baiklah, aku Serli, aku cantik, aku diam.

Kang Asep akhirnya pamit. Kalau boleh jujur, aku belum puas merepet. Dahlah, capek aku!

Kira-kira masih sanggup dia ngutang?

DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang