Bagian 3

2 1 0
                                    

Kang Asep sudah pergi. Aku berharap dia mencret sampai di rumahnya. Eh, astaghfirullah ... kata Mas Yanto tidak boleh mendoakan keburukan, nanti berbalik ke diri sendiri.

"Ditahan atuh, Neng. Kumaha kalau ditiru sama Teguh, ditiru sama Meisya. Neng itu seorang ibu, madrasah pertama untuk anak-anak. Contohkan yang baik-baik. Maaf atuh, Neng ... jangan bersikap seperti preman kitu, teh." Mas Yanto berkata serius.

Dalam hatiku, 'tolong hantu blawu, hantu aru-aru, iblis apa pun kalian, tidurlah, wahai. Jangan meledak lagi kalian ya, We. Ngertilah dikit.'

"Aku juga minta maaf, Mas. Memangnya siapa yang terima sampai bawa-bawa nafkah suami begitu? Selama ini udah dibaikin, eta si Mila gelo malah ngelunjak, ih."

"Huss, Neng. Jangan sembarangan ngomongin orang."

Hiih, hiih, hiih, rasanya ingin aku kruwes-kruwes Mas Yanto ini. Gumush (ciee gumush)

"Dahlah, capek aku. Pokoknya aku nggak mau masak kalau begini. Udah nggak mood, pasti nggak enak masakannya nanti. Tolong, tolong, Ya Allah, capek Serli rasanya. Serli cantik, Serli baik, lelah pisan, Ya Gusti nu Agung."

"Halah, modus. Nanti beli, Mas mandi dulu." Mas Yanto beranjak. Aku salto tujuh putaran, girang. Dalam khayalan saltonya.

~~~NE~~~

Setelah mengantar Teguh ke sekolah, aku sambil menggendong Meisya menyongsong tukang sayur di depan gang. Namanya tinggal di komplek perumahan petak, jalanan sempit. Belanja sayur adalah momen terbaik untuk meng-update informasi terkini, terbaru, teraktual, dan terpercaya.

"Neng Serli belanja juga, teh," sambut Bu Riris pertama kali.

"He'eh, Bu Riris."

"Neng Serli teh lagi viral. Sekomplek lagi diomongin. Eh, meuni nggak nyangka ibu mah. Selama ini teh ibu tahunya Neng Serli orangnya ramah, lembut, geulis. Nggak tahunya kalau meledak bisa galak pisan," papar beliau.

Pasti Si Mila begu (hantu) mengarang cerita lagi. Ubi yang aku kasih, kolak yang dia ceritakan. Ada yang baca ini pakai logat Medan? Fix kalian kesayangan Neng Serli.

"Aya naon, Bu?" Heleh, Mamang sayur kepo.

Bu Dewi yang bergabung langsung menimpali, "Eta si Neng Serli nagih utang pulsa sama si Mila. Malah dikata-katain miskin, dihina-hina. Kalau saya jadi Neng Serli juga pasti ngamuk atuhlah. Dia yang punya hutang, kok dia yang galakkeun. Gelo pisan."

"Eleuh-eleuh, kan sudah menjadi rahasia umum, Buibu. Kalau belanja sama saya kan juga kitu. Bayar belanjaan kemaren, hutang baru lagi belanjaan hari ini. Coba kalau diminta, meuni masam wajahnya."

Aku memilih diam wae. Dah atuhlah, lelah pisan sama si Mila. Habis belanja, sampai di rumah Meisya tidur lagi. Aku buru masak bekal makan siang Mas Yanto.

Baru selesai masak sayur, ada yang manggil-manggil. Ternyata Teteh sebelah mau isi token. Alhamdulillah, penglaris. Rezeki pertama hari ini.

Lanjut masak lauk, goreng ikan nila balado. Mumpung Meisya masih tidur. Bisa kebut kerjaan. Satu per satu beres, akhirnya bisa selonjoran.

Cek-cek saldo, mulai menipis. Hitung duit di dompet, masih jauh. Banyak berserakan. Aku mulai gerilya mengecek pesan tagihan bon pada orang-orang yang ngutang. Ada yang udah dibaca, tapi nggak direspon. Ada yang nggak dibaca, tapi update story lancar jaya.

"Wah mesti pakai mantra ini mah."

Aku langsung menuliskan status di WhatsApp. Biar dibaca sama mereka sekalian.

[Akang-akang, eceu-eceu, bapak-bapak, ibu-ibu yang rasanya punya sangkutan sama Neng Serli ... MOHON SEGERA DILUNASI. Pulsanya, paketnya, tokennya, PPOBnya. Tolong, lontong, tongtong.]

DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang