Bagi sebagian orang, nominal lima juta mungkin tidak ada apa-apanya. Tetapi, untukku yang masih missqueen ini, nominal segitu sungguh sangat berarti. Bisa digunakan untuk perpanjang kontrak rumah, sisanya bisa juga menambah modal jualan.
Ceu Romlah datang tepat di hari yang aku minta, yaitu seminggu pasca mereka mengeluarkan aku dari arisan. Ketika Ceu Romlah tiba, aku sedang melayani pembeli pulsa yang tidak lain tidak bukan adalah Ibu RT—Bu Marnis. Secara kebetulan, Pak RT juga lewat dan mampir, mungkin karena melihat istrinya.
"Jadi berapa, Neng?" Bu Marnis minta totalan. Aku mencetak struk beberapa lembar dengan printer bluetooth portable. Menyerahkan kepada Bu Marnis dan menyebutkan total keseluruhan.
Tagihan air, token listrik, paket data, pulsa, tagihan speedy, dan tidak lupa tagihan TV berlangganan. Semuanya mendekati angka sembilan ratus ribu. Bu Marnis menyerahkan uang pecahan seratus ribu yang masih licin sebanyak sembilan lembar.
"Sisanya ambil aja, Neng. Buat beli teh gelas."
Dalam hatiku, 'Masya Allah, Alhamdulillah, sering-sering kasih pelanggan kayak gini, Ya Allah.'
"Atuh, Ibu ... ini mah meuni banyak sisanya, enam ribuan, Bu."
"Dikit atuh, Neng. Kamunya repot dari tadi bolak-balik cek, ngeprint, segala macem. Ya nggak apa-apa atuh buat beli cilok sama si geulis Meisya."
Masih dalam hati, 'Meisya mana mungkin jajan cilok atuh, emaknya Meisya baru iya, hehehe.'
"Bu, ibu, ini bapak ada lima ribuan, atuhlah kasih juga ke si Meisya. Beli kerupuk."
"Nah, rezeki Neng Geulis," ucap Bu Marnis menjawil pipi Meisya.
"Ya Allah, Ibu, Bapak ...," seruku.
"Nggak apa-apa atuh, Neng."
"Haturnuhun pisan Pak, Bu."
[Terima kasih banyak.]
Bu Marnis bersama suaminya pamit. Tinggal Ceu Romlah yang senyam-senyum tidak jelas.
"Luar biasa teh, Neng Serli. Sekali kedip, sembilan ratus ribu duitnya."
"Tapi kan bukan keuntungan itu, Ceu. Labanya mah nggak seberapa. Harus top up lagi saldonya biar bisa jualan terus. Makanya Mbak Mila bilang, mana mungkin kami sanggup bayar arisan. Orang sekalu transaksi aja cuma sembilan ratus ribu kok."
"Cuma sembilan ratus ribu? Jangan sombong atuh, Neng."
"Sombong dari mana? Kan faktanya atuh, Ceu. Barusan kan Ceceu lihat sendiri."
Ceu Romlah tersenyum pahit. Ya silakan remehin aja terus, orang cuma jualan pulsa kok. Mana ada duitnya. Mereka—yang suka menghina—nggak tahu kalau di musim orang bayar PPOB (Payment Point Online Banking—yang merupakan suatu mekanisme tagihan pembayaran yang bekerja sama dengan perbankkan yang terkoneksi secara online real time sehingga rekonsiliasi data terjadi sangat cepat dengan akurasi data yang sangat akurat), bisa ludes sepuluh juta saldoku dalam seminggu. Keuntungannya? Ya nggak banyak-banyak yang terlalu, tapi bisalah untuk nambah-nambah tabungan beli tanah.
Ceu Romlah dan gerombolannya selalu bilang bisnis receh. Ya memang, benar kok, ini memang bisnis receh. Hal yang mereka soroti itu untung jualan yang cuma seribuan. Ya nggak salah juga, memang untungnya cuma seribu dua ribu. Paling di pembayaran tagihan bulanan bisa dongkrak ambil keuntungan sekitar lima ribu. Tapi, kan untung pasti. Jualan juga nggak mudah basi. Selalu dicari dan dibutuhkan oleh semua orang. Andai nggak ada yang pakai nge-bon, jualan pulsa itu 'gurih-gurih enyoi' asli.
"Jadi kumaha, Ceu?" Aku tidak ingin berlama-lama membahas yang lain.
"Neng ...."
"Iya, kumaha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSA
HumorCerita ini selengkapnya saya upload di KBM App ya. Yuk download dan ikuti cerita Serli Kang Pulsa🥰