Kekisruhan yang hari itu meledak, dampaknya sangat panjang. Namanya hidup, selalu ada pro dan kontra. Orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Mbak Mila kini mendekat kepadaku. Membawa info-info lama 'borok' si Mila.
Aku memang warga baru di sini, belum genap dua tahun. Sebelumnya kami mengontrak di gang sebelah. Berhubung Meisya—anak kedua kami—lahir, rumah lama tidak memadai lagi. Alhasil, kami pindah ke rumah sekarang yang lebih luas meski sewanya juga jauh lebih mahal. Namun, Mas Yanto optimis saja bahwa rezeki pasti sudah ada takarannya.
Sejak awal, memang sudah aku pasang spanduk kecil di depan rumah sebagai tanda bahwa di sini tersedia pulsa dan melayani PPOB. Semakin hari, kian bertambah langganan. Bahkan, jika dibandingkan lebih ramai di sini dari pada di rumah lama. Pertama-tama lancar jaya, ya mungkin karena kami orang baru. Semakin lama, karena mulai dekat, mulailah ada yang berani nge-bon. Mau menolak, namanya mencari pelanggan. Dituruti, tekor bandar. Dahlah, capek aku!
"Eta si Kang Asep kemarin minta pulsa, ya? Ini uangnya dititipin. Lupa semalam ngasih ke kamu," ucap Mas Yanto sambil beres-beres mau berangkat ke bengkel.
"Lah, kok malah nitip, ih? Kunaon nggak diantar sendiri. Lagian ya, eta si Asep teh kumaha? Masih sanggup minta pulsa ke sini. Muda badak pisan suami istri."
"Masih pagi atuh, Neng." Mas Yanto melerai omelanku.
Dulu, ketika pertama kali kenalan dengannya, hampir saja Mas Yanto pingsan. Aku yang baru tamat sekolah, bantu Mamak jualan di Pajak Sambu (Pasar Sambu). Kami berjualan baju bekas obralan. Tiga potong sepuluh ribu. Kualitasnya jangan ragu, impor semua. Masih layak pakai dan pasti dapat yang bagus kalau pintar memilih.
Kala itu, Mas Yanto ikut mamangnya yang kerja sebagai pemborong. Anak muda yang masih coba-coba merantau. Kami berkenalan, semakin dekat, pacaran, dan menikah. Sebab, baik aku atau pun Mas Yanto tidak ada harapan bisa kuliah lagi.
"Kalau orang Sunda teh manggilnya Akang atuh, Neng. Beda sama Medan, panggilnya Abang. Neng Serli teh maunya manggil apa atuh?" tanya Mas Yanto suatu hari.
"Rasa-rasanya lidahku lebih nyaman panggil Mas Yanto," jawabku masih dengan dialek Medan yang pekat.
"Hoalah, Mas itu cocoknya buat orang Jawa atuh, Neng."
"Bah! Cemana pula? Mau Mas, mau Abang, mau apa kek. Terserah akulah, moncong aku pun yang bercakap ... kok kau pula yang ngatur-ngatur!"
Sejak hari itu, kadang-kadang Akang, kadang Mas, kadang Abang, kadang Yanto—kalau lagi naik sasak. Kultur yang berbanding terbalik antara darah Medan dan Sunda ternyata menghadirkan cerita sendiri dalam kehidupan rumah tangga kami. Kerja serabutan, apa pun kami lakoni, tanpa malu sedikit pun. Bertahun-tahun menikah, tidak kunjung diberi momongan. Tidak tahan dengan tekanan di kampung, kami merantau ke Bandung sampai sekarang.
"Neng Serli, aya saldo, teu?" seru seseorang dari pintu.
[Neng Serli, ada saldo, nggak?]
Mas Yanto pamit, aku iringi sampai ke pintu sekaligus menemui si dia yang datang pagi-pagi.
"Mau berangkat ya, Kang?" sapanya pada Mas Yanto.
"Hu'um, Teh. Permisi duluan, ya. Assalamualaikum."
Sesaat kami lepas Mas Yanto. Lalu aku fokus pada si tamu.
"Teh Entin pagi pisan?"
"Anu, si Rahmat teh mau kelas daring. Eh ternyata paket datanya teh habis. Kumaha atuh, Neng ... minta tolong isikan dulu yang dua giga. Nanti sore bapaknya pulang langsung dibayar. Tolong atuh, Neng Serli geulis," rayunya.
Diih, jijik kali aku dengarnya. Kan, Medan mode on pula aku jadinya.
"Punten, Teh Entin. Yang minggu dulu juga belum dibayar, mau nambah lagi. Nanti malah jadi berat kalau ditumpuk. Teteh 'kan tau, jualan juga kecil-kecilan. Untungnya seribuan. Bukannya nggak mau nolong atuh, Teh. Cuma ... saling memahamilah kondisinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSA
HumorCerita ini selengkapnya saya upload di KBM App ya. Yuk download dan ikuti cerita Serli Kang Pulsa🥰