Bagian 8

5 1 0
                                    

"Nggak ada, Ser. Kamu ih meuni aneh pisan."

Apa katanya? Aku yang aneh? Dipancing-pancingnya jiwa parbadaku.

[parbada -- jiwa kelahi]

'Tahan, Serli, tahan ... Ya Allah, astagfirullah. Kenapa hamba harus bertemu dengan begu seperti Mila?' Aku membatin.

Lama-lama aku stroke duluan kalau begini. Apakah akan terjadi adu muncung lagi?

"Kalau ada mah ngapain atuh saya capek-capek balik ke sini cuma buat komplen pulsa sepuluh ribu. Ngabis-ngabisin waktu doang. Sampai si Virgo saya titip tetangga. Kamu ih kayaknya sengaja ngibulin si Bagas. Mentang-mentang yang beli cuma bocah, kesempatan banget buat kamu nipu. Tega banget kamu, Ser. Nggak berkah lho, mana jualan kecil-kecilan masih berani kamu main culas."

Mila Karmila begu nggak ada otaknya.

"Coba lihat HP-nya, Gas!" pintaku.

"Yaudahlah atuh, Ma. Kita pulang aja, nanti diisi aja di luar," tolak Bagas.

Tuh, kan! Bagas tidak bersedia HP-nya dicek.

"Sini HP-nya, Gas. Tante tolongin cek riwayat pemakaian dan pengisian pulsa. Kali aja kamu lupa matiin koneksi internet, jadinya pulsa disedot gitu. Mana, sini coba!"

Bagas berubah cemas, menoleh kepada Mbak Mila.

"Mama ... makanya tadi Bagas bilang!" bisiknya, tapi masih bisa kudengar.

"Aya naon, sih? Coba sini HP-nya, Gas." Aku jadi semakin curiga.

"Yaudahlah, lupain aja, Ser." Mbak Mila mencelos.

"Ya nggak bisa dong, Mbak Mila. Tadi bilang-bilang saya penipu. Ini barusan saya intip story WA Mbak Mila. Jelekin saya lagi nggak amanah jualan. Nipu bocah segala macam. Beraninya Mbak Mila fitnah."

Meninggalkan kesopanan untuk sejenak, aku merampas ponsel di tangan Bagas. Keduanya gelagapan. Mbak Mila maju hendak merebut kembali. Aku tepiskan tangannya.

"Saya nggak terima dibilang nipu-nipu!" Aku melotot, geram rasanya.

Menggunakan kode-kode tertentu, aku dial in di HP Bagas. Daaaan jreng, jreng ... terpampanglah riwayat pengisian pulsa. Jelas tertera di sana jam, tanggal, bulan, tahun, kapan pulsa itu diisi. Lalu kemana pulsa Bagas menghilang?

"Aku kalau mau baik, bisa kau lihat selama ini, 'kan? Tengah malam buta kau gedor-gedor pintu rumahku, masih juga aku layani dengan baik. Iya kalau beli, kiranya apa? Sudahlah datang tengah malam mengganggu ketenangan orang, berutang pula. Entah paok, entah pekak benaknya, nggak jelas.

Tapiiiiiiii kalau kau mau kurang ajar, bisa. Lihatlah 'kan! Cemana aku brutal kalau ngamuk, kutelan kau hidup-hidup pun bisa. Jangan kau cari terus celah untuk menjatuhkan aku. Nggak guna kali pekerjaan busuk kau itu.

Ini, kau tengok baik-baik, ya. Si Bagas itu pinjam pulsa darurat beberapa hari lalu. Makanya waktu isi pulsa, langsung ditarik operator. Kalau SMS notifikasi nggak masuk, bisa jadi perpesanan di HP si Bagas itu penuh. Bisa juga karena faktor jaringan.

Mestinya, kau tanya dulu baik-baik. Kita cari solusi sama-sama. Ini enak aja muncung kau bilang aku nipu, ngibulin bocah biar dapat untung gede. Kita nggak sama, Coy. Perangaiku nggak busuk macam kau!"

Mila Karmila begu ganjang hanya bisa diam. Nggak kapoknya dia cari masalah. Padahal, udah berapa kali aku katai pakai bahasa Medan yang keras. Ntahlah, ntah apa yang membuat Mila begitu betah nyari gara-gara sama aku.

"Udah kedapatan pun kayak gini, nggak juga tergerak untuk minta maaf. Ada darah dajjalnya orang ini kurasa!" Aku bersungut-sungut.

"Mama sih nggak percaya!" seru Bagas tiba-tiba.

"Eh, Bagas. Coba kau ceritakan sama Tante semuanya."

"Gas, nggak usah!" sela Mila Karmila begu jahannam.

"Ceritain, Gas. Nanti Tante tambah pulsa gratis."

"Bener, ya?" balas Bagas bersemangat.

"Atuh, jangan, Gas!" Mbak Mila menyeret Bagas dari depan rumahku.

"Lepasin atuh, Ma!" Bagas menepiskan tangan Mbak Mila. "Malu Bagas kalau begini, nanti yang kena marah sama Papa tetap juga Bagas."

Terengah-engah napas Bagas menceritakan ihwal pulsanya bisa raib. Aku menyimak sambil menyunggingkan senyum kemenangan. Kebusukan perangai Mila, dibuka tuntas sama anak sendiri.

Pulsa yang diisi Bagas, sudah masuk sejak awal. Namun, dia lupa kalau beberapa hari meminjam pulsa darurat. Akhirnya, pulsa yang baru diisi langsung raib disedot operator sebagai pembayaran pulsa darurat.

Anak itu meminta uang kembali untuk mengisi pulsa sekali lagi. Mila Karmila begu merasa hal ini menjadi celah untuk menjatuhkan usahaku. Dibuatnya status WhatsApp. Inti dari ocehannya di sana adalah aku telah menipu Bagas. Pulsa tidak dikirim, tapi uangnya tetap kuambil. Berapi-api cuitan Mbak Mila di story WA. Hahaha, dan sekarang dia sendiri kena batunya.

"Bagas, bilang sama bapak kau, ya. Bawa mama kau ini ke psikiater. Tante rasa, adalah urat otaknya yang putus."

"Eh, santai atuh!" sengit Mbak Mila nggak terima.

"Kalau nggak putus urat, apa namanya, heh? Patutnya kau sebagai ibu menjadi madrasah pertama untuk Bagas. Mengajarkan yang baik-baik, kok ini malah diajari yang buruk. Nggak habis pikir pula aku tengok manusia macam kau ini."

Aku mengambil dan menggendong Meisya. Belum puas pun aku kata-katai si Mila.

"Kita nggak ada sangkutan apa pun ya, Mbak Mila. Mulai detik ini, jangan datang lagi membeli jualanku. Masih banyak yang lain pelangganku."

"Dih, sombong pisan." Mbak Mila mencebik.

"Lebih baik memang kita nggak berhubungan."

"Halah, lagu-laguanmu, Ser, Ser. Atuh berapa sih jualan pulsa kayak begini? Nanti deh aku mau jualan pulsa juga, biar kamu ada saingan. Sekarang mah sok atuh merasa paling wah. Gara-gara cuma kamu yang jualan pulsa, kan?"

"Bagas ...." Aku mengabaikan celotehan Mbak Mila.

"Naon, Tante?"

"Tolong kau bawa cepat-cepat mama kau dari sini. Sebelum aku gelitik ginjalnya pakai linggis, sebelum aku setrika bibir mama kau!"

Bagas menyeret tangan mamanya yang masih mengoceh ngalor ngidul. Dahlah, capek kali aku. Rasa-rasa ingin kubenamkan si Mila ini di kali. Recok kali manusia satu ini, Ya Tuhan😌

Dahlah, aku Serli, aku cantik, aku suka indomie. Eh🤭

DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang